Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 9

“Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!” teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pu­kulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas den­dam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepa­la dusun dan anak buahnya dengan ga­gang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan me­mukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mere­ka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isarat agar mereka te­nang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-beng­kak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung la­gi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada di an­tara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana seka­rang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rak­yat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik....”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak ke­ras. “Tidak! Kami tidak mau dia menja­di lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, eng­kau sudah mendengar sendiri. Kalau ti­dak ada aku di sini, engkau tentu te­lah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami pendu­duk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gan­dum dan padi harus kautinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, mem­bawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para pen­duduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, terma­suk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Li­ong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun de­ngan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap....!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata ka­sihan. Dia seorang bongkok yang dipan­dang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuha­rap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya meno­lak, akan tetapi bagaimana mungkin sa­ya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota be­sar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang. “Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!” Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau me­nerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, se­lagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memi­liki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di si­ni dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang banani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman pendu­duk kita.” Lurah baru itu lalu mengan­tar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di ma­kam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini ma­kam isterinya. Aku sendiri ikut mengu­bur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “A­pakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang medangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, a­kan tetapi dia mampu menekan perasaan­nya sehingga tidak nampak pada wajah­nya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah i­bunya dan suhengnya, lalu dengan lem­but dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakan­lah dengan jelas apa yang telah terja­di pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Men­diang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang ga­gah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....” Dia meman­dang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan se­kali....” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah i­bunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetang­ga yang pertama kali menyaksikan kea­daan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa se­mua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi de­ngan mereka, lopek? Siapa pembunuh me­reka?”
Kakek itu manggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi de­ngan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! En­cimu, Sie Lan Hong dan engkau seudiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi de­ngan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembu­nuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunubnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia su­dah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua me­rasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan ke­dua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan me­ngatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu a­kan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mende­ngarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Li­ong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk me­latih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk mengha­dapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada ma­lam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidup­nya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat me­ngejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya te­was karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den me­ngapakah encinya harus berbohong kepa­danya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau ter­gesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang a­mat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda be­berapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lo­pek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pri­badi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim pi­atu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi he­ran. Bahkan kini kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia seka­li kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah ya­tim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau di­jodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Ga­dis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari du­sun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung pe­rasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah i­bu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi ja­waban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar sece­patnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghu­ni dusun itu hadir, dan Sie Liong du­duk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh ta­ngis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk du­sun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian a­pa yang akan diucapkan oleh kepala du­sun baru itu.
“Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun ti­dak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan sete­lah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar da­ri ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu? Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci­nya? Inipun tidak betul, mengingat a­kan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jan­tungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teri­ngat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati ka­lau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia te­lah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pende­ngarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, de­ngan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudi­an meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. A­gaknya gadis itu menahan suara tangis­nya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membu­jukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau ju­ga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan teta­pi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”
“Aku tidak perduli! Biar dia sak­ti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah bu­ruk. Pula, dia telah menyelamatkan ki­ta semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....”
“Hushhh....!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seper­ti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia di­tuduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat memben­cinya itu akan menjadi isterinya? Ti­dak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan jari ta­ngan agak gemetar Sie Liong lalu menu­lis sepucuk surat, pendek saja isinya.

Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.

Sie Liong.

Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi men­jadi isteri Si Bongkok....”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biar­lah dia berbahagia dengan kebongkokan­nya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucu­nya saling mencinta dengan seorang pe­muda lain, kenapa mempunyai niat hen­dak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari mu­ka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan pen­duduk? Yang jelas, niat itu sudah pas­ti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan ka­sih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan “terima nasib”, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Iste­rinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan mem­bencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si....” dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia ter­senyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini....” dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini....” dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia ti­dak ingin menjadi tidak bongkok, kare­na keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Mengi­nginkan sesuatu yang tidak dimiliki­nya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia ti­dak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbaha­gia.

***

“Liong-te....!” Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita i­tu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!”
Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama meng­hilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bi­cara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhati­kan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya. Karena dia pergi? Dan rumah i­ni berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya. Dahulu, prabot rumahmya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikena­kan encinya juga tidak seindah dulu. Di tububuya tidak pula nampak perhias­an mahal. Dan prabot rumah sudah ber­ganti semua, terganti prabot yang mu­rah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi se­orang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, en­cinya girang sekali.
“Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka....”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan ha­rap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan. “Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi me­ninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula....”
Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga ki­ta. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan meng­geleng kepala keras-keras. “Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu....”
Melihat encinya menangis lagi, a­gaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang a­mat hebat maka melakukan perbuatan se­kejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Si­an. Di manakah ia?”
Encinya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak per­gi oleh gurunya itu.”
“Ahhh....!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! “Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin....”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sa­kit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua ta­ngannya dan menangis sesenggukan. Se­dih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepada­ku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggeleng kepalanya. “Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahu­lu begitu baik, begitu mencintaku, a­kan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaan­nya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja....”
Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, ba­gaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal i­tu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aih, eng­kau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.” Diam-diam dia bermak­asud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia a­kan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia ber­pelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya. “Brakkkkkk!” Daun pintu didorong kuat-kuat dari lu­ar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong ter­dorong oleh daun pintu sampai terhu­yung dan hampir jatuh.
“Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan mela­yani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Karena diperlakukan kasar dan di­maki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggal­kan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu se­gera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan ba­dan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat de­kat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya me­muncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya. “Bagus! Sungguh perempu­an tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!”
Dia maju dan hendak menyerang is­terinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-o­lah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong....? Ha-ha-ha....!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti o­rang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Apa? Engkau....? Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau bela­jar sedikit ilmu silat lalu kaukira a­kan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu me­nandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, ci­hu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti eng­kau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau­pun dahulu juga cihu-nya tidak suka ke­padanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian ka­sar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu ber­kata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat bu­ruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan un­tuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....”
“Tutup mulutmu, keparat!” Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke a­rah dada dan leher adik isterinya. Bi­arpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat bia­sa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seo­rang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himala­ya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manu­sia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memi­ringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari sam­ping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelan­ting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakan­nya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan ka­nannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritan­nya dan sudah menyerang Sie Liong de­ngan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan ta­ngannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!” Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang men­jadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini mak­lum betapa cihunya yang mabok itu ha­rus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!” keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu ma­sih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras.
Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. “Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....” Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia meraza lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.

***

Kakek jembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek jembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan. Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, ki­ni terbuka dan dia tertawa-tawa seo­rang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keada­annya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang jembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat jembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua ren­ta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seo­rang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya a­neh dan biarpun dia jarang bahkan ham­pir tidak pernah mencampuri urusan du­nia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu de­ngannya. Hal ini adalah karena watak­nya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis i­nipun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan i­tu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambut­nya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang la­in dan memandang diri sendiri terlam­pau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar­pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!” kata gadis itu sam­bil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. “Heh-heh, kali­an adalah murid-murid yang baik. Kali­an tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu mengguna­kan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang ha­rum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan ma­ta meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik. Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati. Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya! Sungguh seorang murid yang ka­dang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan te­tapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga ka­lau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan mela­wan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng­nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengu­sap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja. Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hati­nya. Dia merasa heran. Mengapa menda­dak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya i­ni mendatangkan rasa sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini! Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu ba­ik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang me­nyinari hidupnya! Kesenangan dan kee­nakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datang­lah duka karena kehilangan! Kalau ga­dis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan i­ni, menerima kenyataan ini secara wa­jar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita a­kan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di u­dara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih i­ngin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa be­ratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang su­dah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mu­lutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepa­da ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tiagginya? Berapa ukurannya? Apa yang kaupelajari selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaian­mu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat di­pergunakan untuk melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertu­tup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ka­kek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, a­palagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau a­nak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjun­jung tinggi nama gurumu, sedangkan ka­lau engkau melakukan kejahatan dan me­nyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja dan me­mandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbaha­ya, paling lihai dan paling sukar di­tundukkan adalah dirimu sendiri. Kare­na itu, sebelum menundukkan musuh, se­baiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebe­lum timbul kedukaan dalam hatiku!” ka­ta Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata de­ngan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Mudah-mu­dahan suatu waktu kita akan dapat ber­jumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau ti­dak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal se­orang diri itu nampak tertegun, mata­nya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghe­la napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengam­bil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.

No comments:

Post a Comment