Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 11

Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman! Hampir tidak ada orang berani memasuki, apalagi memasuki kuil, bahkan masuk ke halamannyapun jarang ada yang berani, setelah hari mulai gelap. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, seringkali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, lalu membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu? Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, sudah pasti siluman yang mereka bayangi itu! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil. Dari atas, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, ia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting, kembali ke tengah kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
"Hi-hik," ia tertawa lirih dan berbisik-bisik, "biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman.... hi-hik, siluman aseli....!" Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu! Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah muda, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal. Dan di kamar itu terdapat pula lima buah kursi dan sebuah meja dan di atas meja itu terdapat guci arak dan cawan lengkap, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering! Sebuah kamar yang menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus, mereka menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah berahi, dan dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Ketika wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu, ia tertawa cekikikan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan. Ketiganya sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi setelah bermain-main dengan mereka, berenang di dalam lautan kemesraan sampai lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan! Tujuh tahun yang lalu, ketika ia berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panari dan nafsu berahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad. Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biarpun baru berusia tiga belas tahun namun sudah cukup besar, ia merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, melihat hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apapun! Maka bagi Pek Lan, tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya dan ia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu berahinya semakin menjadi-jadi! Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas dan kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subonya. Subonya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Go-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan, dan selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka. Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlumba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, amat mudah bagi Pek Lan yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subonya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya! Dan ketika ia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalaran. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah kepada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu. Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati mereka, dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah bosan, baru ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila kepada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
"Sudahlah, aku malam ini tidak dapat main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...." Ia tertawa cekikikan seperti siluman dan tiga orang pemuda itupun tertawa gembira. Mereka tidak perduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, lalu sekali berkelebat iapun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangan telah berada di atas genteng rumah gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu. Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman, ia berhenti dan memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini, tidak banyak perubahan nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya. Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara ia membalas dendam, dan kini ia tersenyum sendiri. Senyum itu membuka sepasang bibirnya yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong dan wajah yang cantik itu seperti wajah seorang siluman tulen!
Ia masih ingat di mana adanya kamar-kamar dari para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling. Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
"Apa.... siapa kau....?" tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. "Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...."
"Pek Lan....! Kau.... Pek Lan....?" selir itu berseru kaget akan tetapi pada saat itu, Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali. Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak dipergunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Namun, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu dan melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan. Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi ia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak perduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu agar jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Iapun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tidak perduli, dan seperti yang dilakukan kepada para selir tadi, iapun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga. Isteri seorang di antara tiga pelayan pria itupun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik maupun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan prla itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka itu tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berterak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas pembaringan, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak amat menyeramkan, menyeringai sepertl iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu membuat gaduh.
Sebentar saja, semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendanger kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka cepat memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
"Pondok Merah kebakaran!" demikian teriakan mereka dan semua orang lalu berusaha memadankan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali! Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tak tahu malu sekali telah mengadakan perjinaan dengan tiga orang pelayan pria dan agaknya mereka demikian asyiknya sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan ketakutan. Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tidak perduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat itu mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah mempunyai anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya menyeleweng dengan para pelayan, melainkan karena nama baiknya tercemar dan seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang amat memalukan itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya karena dia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu telah rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
"Kau.... kau.... Pek Lan?" Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut. Biarpun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik daripada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis! "Aih, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!"
"Tentu saja aku masih ingat!" Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. "Siang melam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...."
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak. "Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa tangkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjina, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!"
Hartawan Coa menghela napas panjang. "Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan.... engkau begini cantik jelita.... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis daripada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, akan kuangkat menjadi isteri yang sah!" Kembali hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengannya yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur. Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
"Pek Lan....!"
"Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!"
"Pek Lan....!"
"Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal. Padahal, aku telah menyerahkan diri kepadamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang permainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang, engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua hartamu yang kausimpan di dalam almari tebal ini!" Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut. Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi terkejut dan lenyaplah sudah nafsu berahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
"Pek Lan, apa yang kaulakukan itu?" bentaknya marah. Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Diapun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tgngan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
"Plakk! Dukk!" Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.
"Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!" kata Pek Lan. "Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!"
Kini hartawan itu ketakutan dan dia lari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak memperdulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walaupun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
"Tolong....! Perampok...., pembunuh....!" Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit. Pek Lan tidak perduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe. Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
"Maaf, loya, di mana perampoknya?"
"Mana ada pembunuh?"
Coo-wangwe menuding ke arah Pek Lan. "Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia telah memukulku!" Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan. "Bukankah.... bukankah engkau nona Pek Lan....?"
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. "Hemm, engkau masih mengenalku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!"
Coa-wangwe menjadi marah. "Untuk apa bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!"
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
"Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tidak perlu kami mempergunakan kekerasan," kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biarpun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong dan dengan kain sutera yang sudah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, lalu ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
"Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!"
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dahulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja tidak menakutkan! Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu, maka merekapun menyerbu dan seperti hendak berebut dulu menerkam Pek Lan. Wanita ini tersenyum, tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan lima orang penjaga itupun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak dapat dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasa dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat mereka terjengkang. Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
"Tangkap ia! Bunuh!" Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan. Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Dalam segebrakan mereka telah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. "Kalau kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!"
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, walaupun mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, merekapun menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya. Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan diapun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan!
Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka. Akan tetapi, Pek Lan menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya dan terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai. Pek Lan memandang kepada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya dengan tendangan dan dirampas goloknya dan iapun tersenyum.
"Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!" katanya, akan tetapi goloknya bergerak dan orang itupun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapapun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
"Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!" Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan kedua tangan.
Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa. Bukan hanya orang suka sekali membicarakan malapetaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, dan yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras. Tak seorangpun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan, juga tewas di tangan Pek Lan, dan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang amat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biarpun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit. Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya.
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bakerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat, pinggangnya ramping pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biarpun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus. Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lina tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan caugkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan. Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan kedua tangannya bergerak dengan cekatan, bantuk tubuhnya indah ketika membungkuk dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga iapun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatarbelakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa amat tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indah sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu. Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luasnya, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya di kejauhan nampak beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu. Hawa udara amat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada encinya, pertemuannya dengan encinya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu! Bahkan encinya sendiripun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suhengnya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiripun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada encinya, Sie Lan Hong.
"Enci Hong, sungguh kasihan engkau...." Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan encinya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka encinya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, encinya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan diapun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh kalau encinya menuduh dia yang telah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apalagi di sana ada Bi Sian yang dengan sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudidn topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya, untuk menjatuhkan fitnah kepadanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali.... cihunya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk dapat membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui encinya, Sie Lan Hong, encinya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, diapun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan diapun tahu bahwa Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka diapun melarikann diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira. Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Sian-su, supek dan gurunya yang juga menjadi gurunya sendiri. Dia harus dapat menunaikan kewajiban ini dengan berhasil, mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya. Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah bersuami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ah, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya! Sie Liong meraza heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan sebenarnya berada dalam diri apa saja, setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apabila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain. Apabila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apabila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan naspak bahwa hidup ini sesungguhnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Babkan bernapaspun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain. Duduk melamun di bawah pohon itupun mengandung kenikmatan tersendiri!
"Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...." Sie Liong berbisik dan wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan encinya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia lupa akan bongkoknya! Semua begitu indah kalau pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan "aku".
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani, dan melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka. Jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu. Kecuali wanita yang tadi membangkitkan kekaguman hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tidak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi dia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, dia memang agak terserabunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun, dia memandang penuh perhatian. Kini, tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!"
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori paknian wanita itu yang agaknya baru sadar dan iapun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci kalau ditangkapnya. Liar ketakutan!
"Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali, dan perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!" Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
"Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Mari engkau ikut dengan kami, ha-ha-ha!"
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggeleng kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
"Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!" Enam orang lainnya yang menunggu di tepi jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Si brewok kini membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa? Engkau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?" Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. "Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati daripada melayani kami dangan manis?"
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tidak manpu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
"Ampunkan saya.... saya sudah bersuami...., ampunkan saya...."
"Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!" Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
"Tidak.... tidak.... tidak!" Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. "Turun dan seret ia ke mari!"
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu. Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya. Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
"Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya...."
"Enci yang baik, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka." kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
"Heiii, siapa engkau?"
Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. "Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!" Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
"Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?" tanya si brewok untuk mengejek.
"Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!"
"Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"
Si brewok melangkah maju selangkah. "Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!"
Sie Liong tersenyum. "Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."
"Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!" kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil. Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
"Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?" tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. "Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!"
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah.
"Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!" Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
"Wuuuuuttt....!" Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
"Desss...! Aughhhh....!" Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
"Auhh.... auhh.... auhhh....!" Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh" karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
"Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!" Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
"Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau." kata Sie Liong dengan sikap tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!" bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
"Tukkk!" Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
"Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!"
Tentu saja ucapannya ini membuat raksas muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
"Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...." ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa, "Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?"
"Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."
"Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!" kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang me­rasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok i­tu! Tamparan yang hanya sekali itu sa­ja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan ta­ngan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!”
“Hemm, aku tidak membutuhkan pe­ngakuan kalah darimu! Aku tidak membu­tuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelaku­an jahat kalian dan bertobat!”
“Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!”
“Hemm, siapa percaya omongan o­rang jahat macam engkau?”
“Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yai­tu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan....”
“Benar, engkau bertobat dan hen­dak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memper­lihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.” Dia lalu mengger­tak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?”
Kini dia melepaskan cengkeraman­nya dan seketika si brewok tidak mera­sa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap, kami bersumpah dan ini­lah buktinya!” Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membun­tunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil senja­ta masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki ki­ri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki. Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyeri­an jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi ke­ring. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan. Hal ini sebetulnya tidak­lah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi. “Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Sela­in itu, aku akan membangkitkan sema­ngat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, ka­lau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!”
Diam-diam si brewok dan teman-te­mannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau be­nar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena me­reka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakut­an lebih dulu, melarikan diri bersem­bunyi daripada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di de­kat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wa­jah masih diliputi ketegangan itu.
“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci....” katanya.
Wanita iru mengangkat muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis! Pemu­da bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu mena­ngis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.
Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu lirih. “Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih....” Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan nge­rinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.”
Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah ma­sih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, da­tang berlari-larian banyak sekali pen­duduk dusun ke tempat itu. Dan di ta­ngan mereka terpegang segala macam a­lat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.
“Taihiap, untuk apakah kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan menguburnya, enci.” kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tong­kat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. “Aku.... aku hampir saja celaka....!” serunya sambil menangis dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa.... apa maksudmu....?” tanyanya dangan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dangan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
“Maksudku kautanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?” Suaminya itu dangan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka ditunduk­kan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.
“Suamiku, apakah engkau tidak mendangar dari para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.

No comments:

Post a Comment