Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 5

Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah, kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti te­lah pulas dalam samadhi. Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada lima orang pendeta Lama itu. Biarpun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua go­longan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima o­rang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang la­in. Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang juga membuatnya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu me­miliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan ke­ras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang ja­hat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami pen­deritaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba Sie Liong memandang de­ngan mata terbelalak. Ia mengejap-nge­japkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong beri­si udara yang amat ringan!
“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu me­mandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup menga­pung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu di­bandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata ka­lian pandai terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan ke­pandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gun­dul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan beta­pa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”
Tiga orang tosu itu terkejut bu­kan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendali­kan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang lain yang hanya “meminjam” mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang pendeta Lama itu demi­kian kaget, marah den malu mendengar teguran yang keluar dari mulut kanak-kanak itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun.
Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit me­mang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh a­nak bongkok itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lem­but namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah ba­dut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka ada­lah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak ke­ras berdisiplin dan jujur.
Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat o­rang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himala­ya Sam Lojin dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk me­nentang kami Lima Harimau Tibet?”
“Siancai....” Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Hari­mau Tibet ini.”
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”
Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan de­ngan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun­-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi ro­bohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang le­bih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hor­mat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kamipun akan melu­pakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu ber­nada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau mene­gur, melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi kesalahpahaman. Karena sikap­nya yang lembut ini, kemarahan lima o­rang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormat­an ketua Kun-lun-pai dan diapun berka­ta dengan suara yang tegas, namun ti­dak kasar.
“Pai-cu (ketua), kami mengerti a­pa yang kaumaknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran ke­pada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.
“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua o­rang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kauhadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”
“Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”
Thian Khi Toou yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!”
“Omitohud....!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi ti­ba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu, “Harap suhu ja­ngan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu (guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid uta­ma itu maju. Kalau lima belas orang mu­rid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suheng­nya sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama. Me­reka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka , yaitu ilmu dalam bentuk barisan yans dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun). Dengan barisan pedang i­ni, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang dan di situ mereka memben­tuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.
“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi ke­pala barisan pedang itu, berdiri di u­jung kanan.
Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, de­ngan borjajar. Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti a­ba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang. Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri, karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling me­lingungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendek­nya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak baha­yanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pan­dai. Mereka tidak berani memandang ri­ngan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepan­daian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihat­kan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak! Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini mereka bukan hanya me­ngandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat oleh kerapian ba­risan yang teratur sehingga begitu me­nyerang, kekuatan mereka terpadu, ba­gaikan gelombang samudera yang mener­jang ke depan dengan dahsyatnya!
Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing, Thay Ku Lama si muka codet sudah meme­gang sebatang golok tipis yang tadinya disembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang se­batang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan caha­ya kehijauan. Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, se­dangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian dan diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjang­nya sama dengan tubuhnya.
Dalam penyerangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis. Terdengar suara nyaring berden­ting-denting disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata ketika lima ­belas batang pedang itu tertangkis o­leh senjata lima orang pandeta Lama. Karena memang tenaga sin-kang dari pa­ra pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar he­bat! Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang baberapa kali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang tera­khir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdo­rong ke belakang bahkan ada yang ham­pir jatuh setelah terhuyung-huyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serang­an pihak lawan yang jumlahnya tiga ka­li lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memu­tar goloknya den golok itu seperti ki­lat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat. Thay Si Lama, si muka bopeng, juga meng­gerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang beru­bah menjadi dua gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya dan senjata istimewa ini menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya dan terdengar­lah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki tenaga raksasa.
Biarpun lima belas orang murid utama Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak pertempuran yang tidak seimbang sama sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh ter­kena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa merekapun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan terdengar bentakan nyaring.
“Tahan senjata!” Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang gu­ru mereka, maka merekapun berloncatan ke belakang dan sebagian segera meno­long lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan kini me­reka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang ber­tubuh besar itu dengan garang.
Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud....! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Tadi, mereka membi­arkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”
Wajah Thian Khi Tosu menjadi ma­rah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute, harap tenangkan hatimu!” Tiba-tiba Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua Kun-lun-pai ini melang­kah maju dan memberi hormat kepada li­ma orang Lama dari Tibet itu. “Siancai.... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lan­cang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanya­lah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah ka­mi berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan sa­tu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak lagi akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi.”
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, ju­ga teguran, disamping janji.
“Omitohud.... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjan­ji begitu. Memang cukup adil! Kita go­longan persilatan memang hanya mempu­nyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau diantara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum melangkah maju mendam­pingi suhengnya, yaitu They Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di de­pan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah sejak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
“Ha-ha-ha.” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meletakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan tetapi sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, kini sudah bangkit ber­diri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami per­nah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang ti­dak mencampuri urusan orang lain. Ka­lau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tem­pat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Karena itu, kami berti­ga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan o­rang luar.”
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang ketua Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama. Kalau kini pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat bo­leh jadi mengingat saktinya lima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh! Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri! Bermusuhan dangan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dangan se­luruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa u­capan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama amat merugikan Kun-lun-pai itu. Me­nang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak se­padan dangan sebabnya, yang pada hake­katnya juga salah murid mereka sendiri.
“Siancai....!” kata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang yang tidak mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan ke­pada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya merah karena pena­saran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk per­gi mengikuti ketua mereka, membawa me­reka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu ban­teng atau asrama itu ditutup rapat-ra­pat!
Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Ti­bet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lo­jin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi lebih ringan me­nyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan da­mai untuk kalian. Marilah kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan a­gar kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, “Siancai....! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpakna sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”
Wajah They Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sebetulnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluar­kan bunyi kok-kok seperti seekor katak besar!
“Hem, apakah yang memaksa kalian monolak undangan kami yang kami laku­kan dengan merendahkan diri?” tanyanya dongan suara membentak.
Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak mempunyai urusan apapun dangan Dalai Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimanapun juga, kami bukanlah anggautanya maupun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undengan itu.”
“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya me­mang keras. “Kalau perlu, kami menggu­nakan kekerasan!”
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
“Siancai.... sudah kuduga demiki­an. Katakan saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”
“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang dengan goloknya, dii­kuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahi­an mati-matian. Akan tetapi, tiga o­rang kakek itu sama sekali tidak ber­senjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pan­dai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak per­nah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu si­lat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh. Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki keku­atan batin yang mampu menghadapi saga­la macam kekuatan sihir atau ilmu hi­tam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya un­tuk bertentangan apa lagi saling se­rang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada “sumbernya”, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka i­tu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk meroboh­kan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, a­kan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, mereka­pun pandai ilmu sihir. Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulan­nya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, ju­ga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dah­syat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tu­buh) yang luar biasa, membuat dia da­pat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya se­kali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka ber­bahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perban­dingan, tingkat kepandaian masing-massing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. An­daikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu. Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah dise­butkan tadi, tiga orang kakek itu ka­lah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena i­tu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, memba­las setiap serangan lawan dengan se­rangan pula. Memang, orang ke tiga da­ri Himalaya Sam Lojin ini terkenal me­miliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan ha­lus.
Hanya Sie Liong seorang yang me­nyaksikan pertandingan yang amat he­bat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternga­nga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seo­lah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima ba­yangan merah. Bahkan kadang-kadang ge­rakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedang­kan lawan mereka, lima orang berpakai­an merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dtrinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun da­danya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang di antara lima o­rang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah menca­pai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima o­rang berkeras hendak merobohkan mereka. Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing o­leh bayangan putih dan merah yang bar­kelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dangan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia malihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut! Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, ko­tor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin je­lek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula. Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang ti­dak bergigi lagi, rambutnya riap-riap­an berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Li­ong terkejut dan berusaha untuk bang­kit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh....!” Kakek itu ter­kekeh geli dan tongkat bututnya barge­rak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih. “Engkau tinggal­lah saja di dalam ruangan ini dan sia­papun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengelu­arkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepala­nya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biar­pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!” Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas ta­nah dalam lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka. Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan ta­ngan mereka yang kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdangar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut pa­ra pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian pu­tih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah! Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terua melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba, seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang “melanggar” lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agak­nya mereka tidak berani menginjak lingkaran! Tidak demikian dengan para pen­data Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan a­nak panah meluncur dari busurnya, tom­bak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
“Trakkk!” Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat bu­tut. Padahal, dia memiliki tenaga ga­jah yang sukar dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, menga­yun rantai bajanya ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!” Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gun­dul itu! Thay Hok Lama meraba kepala­nya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjen­dol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek jembel.
“Waduh, jebol perut ini....” teri­ak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! A­kan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!” Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo La­ma yang gundul muncul pula sebuah te­lur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak me­nembus perut kakek jembel itu, melain­kan menembus baju jembel yang kedodor­an dan tadi hanya merupakan suatu per­mainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orgng kakek Himalaya, tentu saja merasa be­rat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek jem­bel!
“Si-sute dan Ngo-sute (adik seperguruan ke empat dan ke lime), hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama. Dua o­rang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang jembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdangar seruan yang halus.
“Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan kekeranan untuk menyerang orang lain?”
Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk mamandang siapa yang muncul itu. Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh piluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
“Supek....!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.
“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!” Kakek jembel bar­seru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya San Lojin memberi hormat kepada kakek jembel itu.
“Terima kasih atas bantuan susiok!”
“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!”
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah su­pek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tong­kat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdanyutan kepa­la itu!
“Kalian ini para tosu sombong se­lalu menentang kami!” bentak Thay Ku ­Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
“Siancai....!” Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”
“Kami hanya menerima perintah da­ri Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama. “Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”
“Siancai....!” Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik kareng isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan me­ngerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu. “Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hen­dak memaksa seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, ti­ga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sung­guh janggal!”
Mendengar ini, lima orang Lama i­tu saliag pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari ka­mi!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh em­pat orang adik seperguruannya.
“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sam­pai sekarang engkau masih menjadi seo­rang yang lemah? Anjing-anjing itu gi­la dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin. Kakek i­ni adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting! Pada hal dalam ilmu kepandaian silat maupun ke­kuatan sihir, dia tidak kalah diban­dingkan suhengnya itu. Mungkin justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia men­jadi sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-ka­dang melakukan hal aneh-aneh yang ti­dak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul seca­ra tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, lebih dikenal sebagai seorang sinting.
“Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bah­wa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”
“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dangar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”
Biarpun jembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”
“Siancai.... Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In Tosu lalu mencerita­kan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Ti­bet Ngo-houw tadi.
“Kebetulan supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderita­annya,” kata Pek In Tosu kepada supek­nya. Memang aneh hubungan antara mere­ka itu. Himalaya Sam Lojin berusia ku­rang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah kare­na ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga ­puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dada­nya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata. “Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia.”
“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.
Biarpun di dalam hatinya Sie Li­ong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, na­nun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.
“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek jembel ini membasmi lima orang Lama yang ja­hat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”
“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.
“Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerang­kan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan me­lanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”
Pek-sim Sian-su menarik napas panjang. “Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walau­pun sesungguhnya engkau harus malu un­tuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”
“Namaku Sie Liong, locianpwe.”
“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pen­dorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dandam. Engkau tadi melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dandam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti buat dan langit.”
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam mengakui kebe­naran pendapat Pek-sim Sian-su. Walau­pun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.
“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”
Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira. “Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih....” Dan tiba-tiba kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila se­perti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, se­dangkan Pek-sim Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.
“Lanjutkan, sute.”
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan. “Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mu­kanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan se­gi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh. Suheng sen­diri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng bare­ni mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”
“Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”
“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembu­nuhan? Jawab yang jujur, jangan muna­fik, suheng!”
“Saincai...., munafik lebih keji daripada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat mahluk-mahluk hidup yang bar­gerak dan bernyawa dan yang tidak nam­pak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”
“Nah-nah-nah....!” Koay Tojin menu­dingkan telunjuknya, mengamang‑amangkan ke arah suhengnya. “Kalau begitu suheng juga membunuh!”
“Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawa­an sejak lahir bahwa manusia harus ma­kan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, ada­lah sayur-sayuran dan buah-buahan, ju­ga air jernih. Biarpun semua itu me­ngandung mahluk hidup, akan tetapi ka­rena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada u­lat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua mah­luk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, welaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”
“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh....”
“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam ma­bok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita meru­pakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita peliha­ra sebaiknya luar dalam.”
“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa. “Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-o­rang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seper­ti itu? Akan tetapi, pinto mendangar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!”
Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang. Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian ti­dak karuan, butut dan kotor, berdiri­nya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Se­mentara itu Sie Liong yang sama seka­li belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia ti­dak begitu mengerti, karena ketika ta­di terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jem­bel tua yang disebut sute-nya.
“Suheng, coba kausambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
“Bagus sekali!” seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa ka­lau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusuk­an berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
“Hemm, sungguh hebat. Bukankah i­tu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” tanya sang suheng.
“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”
“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”
“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat ge­rakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seper­ti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu ti­dak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa he­batnya kakek jembel gila itu.
“Siancai....! Sungguh dahsyat....!” kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.
“Engkau memang hebat, suheng. Ma­sih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. A­kan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?”
“Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyarang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang me­ngerikan tadi.”
“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Meng­hancurkan Kepala Setan ini!” Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghan­tamkan ke arah kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesung­guhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak. Menghadapi pu­kulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, me­ngira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat se­kali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tong­kat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua o­rang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdangar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.

No comments:

Post a Comment