Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 2

Waktu berjalan dengan amat cepat­nya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak laki-lakl berusia tiga belas tahun. Encinya tidak mempunyai a­nak lain kecuali Yauw Bi Sian yang sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang a­nak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan tetapi dia rajin se­kali bekerja. Dan biarpun punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tidak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang gu­ru sastra didatangkan oleh Sun Kok un­tuk mengajar puterinya, Sie Liong yang ikut pula belajar, dengan cepat sekali dia dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang kini menjadi seorang anak yang biarpun pandai membaca dan menulis, namun seorang a­nak bongkok yang biarpun sehat bertu­buh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya melihat bahwa Sie Liong tidaklah menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat. Se­ringkali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Sepihak dia merasa ke­cewa melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapa­pun juga ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri. Dia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka diapun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah walaupun cihu-nya mempunyai beberapa orang pelayan. Dan sejak kecil, Bi Sian amat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka biarpun mereka itu paman dan keponakan, hubungan mere­ka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pela­jaran ilmu silat kepadanya. Melihat i­ni, Sie Liong merasa ingin sekali un­tuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya.
“Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang i­ngin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung dari tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menu­lis.” Demikian Sun Kok pernah berkata.
Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat i­tu, dia tidak pernah mengemukakan kei­nginannya belajar ilmu silat.
Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka iapun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajarinya dari ayahnya kepada Sie Liong. Dan si bongkok inipun menerima­nya dengan amat gembira. Memang dia i­ngin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran ta­ngan Bi Sian yang mengajarnya. Dan ternyata, kecerdasannya membantunya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap gerakan, bahkan karena bakatnya, dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih cekatan dan baik dibandingkan Bi Sian. Tentu saja ada hambatan besar baginya, yaitu kebong­kokan tubuhnya. Maka, dalam beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Dan kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya sete­lah dia berlatih silat bersama Bi Sian.
Setelah Sie Liong berusia tiga be­las tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mem­pelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian telah menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lin­cah sekali dan karena ia sejak kecil digembleng ayahnya dan mempelajari sa­madhi dan latihan pernapasan, maka bi­arpun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang ku­at.
Dua orang anak yang saling menga­sihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat sehingga baik Sun Kok mau­pun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Sie Liong yang sehat dan gerakannya yang cekatan, suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya akan itu bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi akhirnya kemampuannya bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di kota Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu para petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok sehingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani. Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Biarpun semua orang menge­nal Sie Liong sebagai si Bongkok, na­mun di depan Yauw Sun Kok dan is­terinya, tidak ada orang yang berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke Pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh encinya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang sudah hampir habis persediannya. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian ikut dan ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak.
Hari itu memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang menyambut hari raya Imlek, menyambut “tahun baru” atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan ber­kah bagi para petani melalui sawah ladang mereka. Seminggu lagi “sin-cia” tiba dan orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan dapur, dan mulai ramai orang memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka mengada­kan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Menyembahyangi abu leluhur merupakan suatu kebiasaan tradisi yang amat kuno di Tiongkok. Tradisi ini mendo­rong semua orang untuk selalu berbakti setia, dan mencinta sambil menghormati orang tua dan nenek moyang mereka. Ba­gi kebiasaan tradisi ini, ada tiga macam kebaktian yang tidak boleh diting­galkan manusia, kalau mereka ingin hi­dup benar. Pertama, berbakti kepada Langit dan Bumi, istilah yang kemudian dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan diri kita. Kedua, berbakti kepada ayah ibu, orang tua dan nenek mo­yang sebagai orang-orang yang telah menghadirkan kita di dunia ini dan kemudian menjadi pemelihara dan pelin­dung kita, dan ketiga berbakti kepada guru sebagai orang yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kita. Pada masa itu, kalau seseorang tidak memenuhi tiga macam kebaktian ini, dia dianggap sebagai seorang yang murtad, seorang yang berdosa dan jahat!
Jelaslah bahwa menyembahyangi abu leluhur berarti menanamkan rasa hormat, cinta dan bakti kepada orang tua, seo­lah-olah mengingatkan kita bahwa sam­pai orang tua sudah meninggalpun kita tidak boleh melupakan cinta kasih dan jasa mereka terhadap kita. Tindakan seperti ini tentu saja memberi contoh yang baik kepada anak cucu kita, seperti suatu peringatan kepada mereka bahwa merekapun wajib mencinta dan meng­hormati orang tua mereka seperti kita menghormati orang tua kita.
Namun sayang seribu sayang, tuju­an yang amat bijaksana dan baik ini seringkali diselewengkan orang. Banyak orang bersembahyang di depan meja abu leluhur mereka dengan suatu pamrih tertentu. Bukan semata untuk menghormat dalam kenangan terhadap orang tua, melainkan sembahyangan itu menyembunyi­kan pamrih agar mereka yang bersembah­yang itu diberkati oleh roh si mati! Ini suatu penyelewengan besar! Bahkan sesudah matipun, orang-orang tua itu kita minta, untuk melakukan sesuatu demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi kita! Memang, segala tujuan, betapapun baiknya, akan disalahgunakan orang kalau di situ sudah terdapat kei­nginan untuk menyenangkan diri sendi­ri, demi kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu akan menjadi palsu dan kotor, karena semua perbuatan itu palsu adanya, semata menjadi sarana untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, da­lam hal ini tentu saja yang diinginkan adalah demi kesenangan sendiri, demi kepentingan diri sendiri! Adakah sem­bahyangan di depan abu leluhur yang dilakukan orang demi penghormatan dan kenangan kasih sayang orang-orang tua i­tu semata? Tanpa adanya pamrih pribadi itu? Kalau ada, alangkah baiknya!
Hati Sie Liong den Bi Sian gembi­ra sekali ketika mereka membawa keranjang kosong, pergi ke pasar. Jalan me­nuju ke pasar itupun ramai, penuh orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira. Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan “Hee, bocah bongkok!” begitu saja. Namun, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab me­reka semua dengan kata-kata ramah bah­wa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebut­nya si bongkok itupun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbia­sa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu menyakitkan hati. Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatut­nya disebut si bongkok!
Akan tetapi, setiap kali ada o­rang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya di­sebut Si Bongkok, yang dianggapnya su­atu ejekan atau hinaan.
Dua orang anak yang berjalan ber­dampingan itu memang merupakan peman­dangan yang agak ganjil. Wajah Sie Li­ong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Akan tetapi tubuhnya yang melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang ma­kin membesar, membuat dia nampak pen­dek dan kedua lengannya kelihatan pan­jang seperti lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba dalam hati orang yang memandangnya. Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya manis sekali, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, dan bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itupun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah. Kalau dara cilik ini diumpamakan se­tangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya bermain-main di tepi jalan. Ketika mereka melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu. Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tidak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan te­tapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka amat manis dan mena­rik. Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.
“Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?” tanya seorang diantara mereka.
Karena pertanyaari itu sopan dan wajar, Bi Sian mengangguk, “Benar, aku hendak berbelanja ke pasar.”
“Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar, nona Yauw. Daripada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!” kata anak ke dua.
“None Yauw,” kata orang ke tiga sambil tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kaujual?”
Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka bertka itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan ia melangkah maju dengan sikap me­ngancam.
“Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian me­nantang berkelahi?” bentak Bi Sian de­ngan sikap galak.
Anak yang paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia ku­rang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian. “Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang la­in hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mere­ka. “Mari kita pergi dari sini!” kata­nya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika ti­ga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi meng­ganggu kami yang sedang berjalan menu­ju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, mereka­pun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang ke­cil dan tidak begitu berat. Barang-ba­rang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia me­manggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima e­kor ayam pada kaki mereka. Jarak anta­ra rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang su­nyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ. Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima be­las tahun dan sikap mereka seperti ja­goan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasu­kan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang pa­ling depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu me­langkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu. “Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi saha­bat ayahku. Kami hanya tidak rela me­lihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keran­jang itu kepada kami dan kau boleh me­rangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan ku­at.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh....!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “No­na, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk me­nangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!” Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka meubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Si­an!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perem­puan itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpan­dai di kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia mela­tih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat su­nyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepeka­an dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia me­ngenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menang­kis, memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itu­pun tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangan­nya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke de­pan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerak­an kembangan saja, seperti tarian. Ma­ka, menghadapi serangan sungguh-sung­guh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuh­nya mulai menjadi bulan-bulanan pukul­an dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pe­kerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sam­pai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia men­dengar Bi Sian berteriak-teriak, “Ja­ngan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-a­nak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang la­in hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mere­ka. “Mari kita pergi dari sini!” kata­nya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika ti­ga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi meng­ganggu kami yang sedang berjalan menu­ju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, mereka­pun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang ke­cil dan tidak begitu berat. Barang-ba­rang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia me­manggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima e­kor ayam pada kaki mereka. Jarak anta­ra rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang su­nyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ. Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima be­las tahun dan sikap mereka seperti ja­goan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasu­kan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang pa­ling depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu me­langkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu. “Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi saha­bat ayahku. Kami hanya tidak rela me­lihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keran­jang itu kepada kami dan kau boleh me­rangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan ku­at.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh....!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “No­na, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk me­nangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!” Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka meubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Si­an!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perem­puan itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpan­dai di kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia mela­tih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat su­nyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepeka­an dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia me­ngenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menang­kis, memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itu­pun tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangan­nya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke de­pan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerak­an kembangan saja, seperti tarian. Ma­ka, menghadapi serangan sungguh-sung­guh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuh­nya mulai menjadi bulan-bulanan pukul­an dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pe­kerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sam­pai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia men­dengar Bi Sian berteriak-teriak, “Ja­ngan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-a­nak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Sie Liong yang mulai marah itu memandang dengan mata mencorong. “Kalian orang-orang jahat!” bentaknya dan suaranya melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas dengan pukulan-pukulan seperti yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
“Plakkk!” Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan pukulan si muka hitam mengenai dadanya, akan tetapi dia membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera ka­mandan itu.
“Desss!” Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari sam­ping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia ber­maksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, akan tetapi terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!” Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong melepaskan gigit­annya dan anak itu memegangi jari ta­ngannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia da­pat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mung­kin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau menerima lagi pukulan begitu saja. Dia meng­angkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama “Dua Tihang Penyangga Langit”. Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diang­kat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
“Dukkk!” Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya “terbuka” sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya, dan kepalanya yang memang sudah terjulur ke de­pan karena bongkoknya itu, ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun menyeruduk ke depan! Kepalanya mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!” Dan tubuh Lu Ki Cong ter­jengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh meme­gangi telunjuk kanan yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mam­pu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan ta­ngan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang a­nak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta am­pun, bahkan dua orang di antaranya me­nangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka....” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik i­tu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan diapun dengan lembut me­narik kedua tangannya dan membuang mu­ka.
“Ahhh.... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapapun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak barang belanjaan menjadi ru­sak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi en­ci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!”
“Kenapa ayah harus marah? Bukankah engkau telah menolongku, paman? Biar aku yang menceritakan dan kalau a­yah dan ibu marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kauceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke a­rah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan bi­ru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi....”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri....”
“Paman, kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolong­ku dan berkelahi mengalahkan lima o­rang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia ti­dak dapat melihat mukanya yang lembam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pi­pi kirinya, juga dapat merasakan beta­pa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa mu­kanya akan mudah kelihatan bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya....? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian me­rasa kasihan walaupun dianggapnya si­kap itu berlebihan. “Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka ten­tang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak kare­na ada lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong ten­tang kehilangan itu, biar kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kuba­wa, dan hilang karena aku dipukuli me­reka. Dan engkau tidak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang di­khawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aih! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belan­jaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru de­ngan alis berkerut.
“Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-beng­kak. Sie Lion hanya menundukkan muka­nya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya ka­lau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
“Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Si­an, engkau berkelahi? Mengapa? Cerita­kan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakit­an, lalu berkata, “Biarkan mereka du­duk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-la­ki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak na­kal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengataken paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, se­mentara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali ti­ga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan kea­manan di kota ini, ayah.”
“Apa? Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu ada­lah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aiih!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkela­hian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. A­nak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodoh­kan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi he­ran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masin tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kaube­ri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Su­dah kuberitahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum. “Tentu dia sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku menjodoh­kan engkau dengan dia....”
“Ayah....!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, a­lisnya berkerut. Sejenak anak ini me­mandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke da­pur membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di da­pur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan de­ngan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan sa­ja, belum resmi mereka meminang. Kare­na itu, engkaupun belum kuberitahu. Bagaimana juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara ke dua orang anak yang kami ingin jodoh­kan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya, disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku ti­dak sudi dijodohkan dengan tikus jera­watan itu!”
“Eh? Tikus Jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkin de­ngan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinang­an resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka....!” Akan tetapi Bi Sian segera menu­tup mulut dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Menga­pa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik ibunya di fihaknya agar membela ia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka aku kaget mendengar a­yah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalah­kan lima orang anak nakal yang lebib besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong,” Bi Sian lalu menceritakan semua yang telah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Ialah yang marah-marah dan memukul, akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berha­sil menolongnya dan mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, agar jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku la­lu berbohong. Akan tetapi sekarang a­yah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi.... tapi.... Sie Liong cacat dan lemah.....”
Biarpun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Li­ong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang dia­jarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika dia melawan anak-anak nakal itu, hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hal itulah yang amat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyeralkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, kini terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji.... jangan.... jangan kauceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku, seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?”
“Ayahmu.... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu silat. Sudahlah, le­bih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gu­nanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini kelu­ar dengap hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, dia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Li­ong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbaha­ya sekali. “Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaima­na Sie Liong dapat menjadi seorang a­nak yang demikian kuat dan menurut pe­nuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendi­ri. Kalau dibiarkan Sie Liong terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, keselamatan nyawanya tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu. Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimanapun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong....!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan ta­ngannya masih basah karena ketika di­panggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan a­ir.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihunya yang du­duk dan memandang kepadanya dengan ma­ta bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut men­dengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihat­kan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang memberitahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian memberitahu, tidak mungkin cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin me­libatkan Bi Sian, takut kalau-kalau a­nak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihunya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapapun, cihu.”
“Brakkk!” Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja i­tu retak. “Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau me­ngalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memperotes.
“Diam kau! Kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong ti­dak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan kepo­nakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempe­lajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin belajar si­lat tanpa guru! Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku me­lihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang kepada enci­nya. Sang enci merasa kasihan kepada a­diknya, akan tetapi ia tahu bahwa ka­lau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi sema­kin marah. Bagaimanapun juga, kemarah­an suaminya itu beralasan karena larangannya telah dilanggar oleh Sie Li­ong. Maka ia mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan.” Maka dia­pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua ge­rakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah ter­kejut sekali karena gerakan-gerakan a­nak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti....!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghen­tikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya....”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempe­lajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun mencari akal.
“Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempela­jari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat seben­tar. Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menye­rangmu dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, se­ranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedi­kitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, me­nyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya. Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bah­wa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepada­nya dan iapun merasa amat sayang kepa­da pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut.
Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan a­nak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibi­arkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak a­kan menjadi orang pandai dan akan mem­bahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-se­rangan Sie Liong untuk mengujinya sam­pai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang de­ngan jurus-jurus yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Ti­ba-tiba gerakan tangan cihunya demiki­an cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!” Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tu­buh anak itu berputar, sekali lagi ta­ngannya menghantam punggung yang bong­kok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga su­dah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kaulakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata me­mandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi ti­dak akan membuatnya muntah darah.” Un­tung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, ka­lau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melgnggar sumpahnya dan tentu akan terjadi peru­bahan dalam hubungannya dengan isteri­nya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap da­rah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah me­ngajarkan semua ilmu silat itu kepada­nya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.

No comments:

Post a Comment