Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 25

Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap di ba­lik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bang­kit gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!” Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan un­tuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan teta­pi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawa­nya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teri­ngat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengi­ra bahwa wanita itu memang jembel gi­la. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis seseng­gukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut. Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru aseli! Dia mendengarkan dengan ketajam­an pendengarannya ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku.... aih, Liong-koko.... di mana engkau....?”
Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor i­tu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali. Mata­nya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes tu­run, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko....? Engkau.... engkau....” matanya memandang lengan kiri yang buntung. “.... engkau Liong-koko....?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong....”
“Liong-koko....!” Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ah, Ling-moi.... kaumaafkan aku, Ling-moi....!” Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu. Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dangan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di a­tas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana engkau....?” Dan ia­ pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari sam­ping. “Aku di sini, Ling Ling....”
Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!”
Ia merangkul dan menangis seaunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegeli­sahan dan kedukaan yang diderita sela­ma ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengang­kat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya ti­dak begitu pucat lagi dan matanya ki­ni bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi. “Liong-koko, kenapa eng­kau pergi begitu lama? Ah, Liong-ko­ko, jangan kau tinggal aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko....” Tiba-tiba in teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajah­nya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menang­kap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu. “Liong-ko.... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu.... buntung....?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibanding­kan sebelum kehilangan lengan kirinya. “Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu dengan­mu.”
“Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali engkau....” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu. Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak membersihkan lu­ka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan terharu. “Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seo­rang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kaulihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kauharapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling....” Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya. “Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu....”
“Liong-koko! Betapa bahagia hati­ku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia bangkit, terse­nyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayang­kan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi ti­dak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Ka­rena Sie Liong sendiri juga belum sem­pat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ter­noda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-ca­kap Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa menyamar sebagai seorang jembel gila untuk meng­hindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah didu­ga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika man­di itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku....”
“Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia ber­henti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
“Berkah? Koko, engkau nyaris te­was, lengan kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya?”
Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan tersenyum sambil meng­angguk. “Benar, Ling-moi. Itulah ber­kah-Nya. Bagaimanapun juga ternyata ki­ta berdua masih selamat dan masih da­pat saling bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku buntung, engkau masih tetap mencintaku.”
“Liong-koko....” Ling Ling berkata penuh haru. “Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berku­rang, apalagi hilang. Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sung­guh membingungkan hatiku. Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih menganggapnya sebagai berkah.”
“Betapa tidak, Ling-moi? Kita hi­dup di dunia inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan, hawa udara untuk berna­pas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala keperluan hidup ki­ta! Lihat panca indria kita, mata, te­linga, hidung, mulut dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki o­leh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah. Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir raha­sia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikir­an kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah ar­tinya suatu peristiwa yang menimpa di­ri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, me­ngandung berkah tersembunyi. Yang nam­pak baik belum tentu seperti yang di­nilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasa­an Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya seperti ini....”
Sie Liong tersenyum. “Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, ke dua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko! Apa artinya kata-ka­tamu ini? Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?” suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Ca­rikan beberapa pasang pakaian untuk a­ku dan Ling-moi. Jangan khawatir, ka­lau urusanku sudah selesai, pasti har­ganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihi­ap. Keponakanku pemilik rumah makan i­tu akan memberikan uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.” Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak ge­lisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama i­ni, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegah­nya.”
“Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku re­la! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku....”
Pada saat itu, seorang anak laki-­laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya se­bagai anak laki-laki yang suka disuruh suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apakah?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci.... celaka, cici.... bibi Cici.... bibi.... Cili....”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota....”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu a­kan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamat­kan bibi Cili....” katanya dan sebe­lum Ling Ling mampu menjawab, Sie Li­ong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu ten­tu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahaya sendiri. Ling Ling du­duk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya. Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkin diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyara­kat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh ber­kelebatnya bayangan orang. Tadinya de­ngan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu bela­kang dengan gerakan cepat sekali.
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemu­dian, tepat diduganya, dia melihat se­buah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia telah berada di de­pan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan ke­luar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka bar­lima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! A­kan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak....!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.
Sie Liong membimbingnya turun dari kereta. “Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya. Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepat­nya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia menda­patkan sehelai kertas di atas meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tu­lisannya.

Pendekar Bongkok!

Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!

Kim Sim Lama

Sie Liong mengepal surat itu da­lam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!” Dan tubuhnya berkelebat le­nyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.

***

“Omitnhud.... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi kea­manan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan.”
Dalai Lama bicara dengan nada su­ara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang meng­hadap bersama Sie Lan Hong. Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana me­reka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai-yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali. Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah. Akan tetapi mendengar laporan dari Lie Bouw Tek tentang perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan bar­buat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalal Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak o­rang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam pe­rundingan itu, karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari duapuluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Konga Sang sendiri, memimpin kurang le­bih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, mengam­bil jalan lain untuk melakukan penge­pungan.
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai-yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah ko­song, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para pe­nyelidik untuk mencari di mana adanya Pehdekar Bongkok.
Para penyelidik ini yang melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita jembel gila dari gang­guan tiga orang nalayan. Mereka mela­porkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama pa­ra pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bong­kok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai-yang Suhu! Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai-yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia manduga bahwa ten­tu tokoh Kun-lun-pai itu yang melaku­kan pembunuhan terhadap pembantunya i­tu dan melarikan mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, ketika dia mendengar laporan para anak buahnya tentang ke­munculan Pendekar Bongkok yang meno­long gadis jembel gila, dia terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
“Ahh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke em­pat Tibet Ngo-houw dan ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan teta­pi bagaimana mungkin dia hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas sela­ma beberapa hari? Ini tentu ada yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!”
“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak dahulu ti­dak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Diapun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lo­losnya Pendekar Bongkok, bukan main kaget dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasia­nya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu, dan tentu dia tidak akan tinggal diam saja, dan tentu akan membalas dendam. Pendekar Bongkok harus didahu­lui!
“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan saya tahu bagaimana caranya!” kata Coa Bong Gan. Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak ba­nyak bicara. Memang ia masih merasa menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok a­dalah pembunuh ayah kandungnya.
“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.
“Dia harus dipaksa datang ke si­ni. Saya akan memancingnya keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis jembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!”
Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau­buntungi, betapapun lihainya, dia ti­dak ada artinya lagi. Lakukanlah sia­sat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggal­kan rumah bibi Cili, dia menyuruh em­pat orang pembantunya itu menculik bi­bi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan o­rang tentang penculikan itu. Dan tepat seperti yang telah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang dipergunakan Bong Gan untuk mema­suki rumah dan menculik Ling Ling, sambil meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pen­dekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengo­batan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lo­losnya Pendekar Bongkok dari dalam ku­buran. Tidak sia-sialah usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau pengkhianat! Apa yang telah kaulakukan ketika engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama tersenyum dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud.... pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim La­ma, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai La­ma, mengkhianati kebenaran, mengkhia­nati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pin­ceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap dia! Akan kusiksa sendi­ri dia sampai mati!”
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Ha-ha-ha, tidak perlu kalian repot-repot. Sekarangpun pinceng akan meninggalkan kalian o­rang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak ha­nya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.” Setelah berkata demikian, Ca­mundi Lama roboh dan ketika semua o­rang memeriksanya, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Ketika Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi girang sekali. “Ah, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” kata­nya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukan jembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biar kami serahkan gadis ini dalam pe­ngawasanau. Jangan sampai ia dapat lo­los sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan a­lis berkerut, namun tidak perduli. Kini ia tidak perduli apa-apa lagi, ti­dak perduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu di­kuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, ju­ga ahli dalam ilmu sihir. Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dikuasai ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat i­tu, hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba. Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang tim­bul dari nafsu berahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, ber­main gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan ti­dak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pem­bantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tan­tangan Kim Sim Lama untuk menyelamat­kan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi Bi Si­an sendiri diam-diam meragukannya. Be­gaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantu­nya terlampau kuat bagi Sie Liong, ju­ga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga tentu saja kelihaiannya berkurang banyak! Selain i­tu, mengapa pula pamannya itu akan ma­ti-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimanapun juga, ia ikut merasa tegang menan­ti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itupun tibalah. Dan munculnya Pendekar Bongkok sung­guh mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak pencu­likan terhadap Ling Ling dilakukan dan semenjak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua a­nak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantu­nya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga dipergunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Dan bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya!
Sie Liong kini yakin bahwa penga­lamannya di dalam kuburan telah menda­tangkan suatu tenaga sakti yang luar biasa baginya. Dia telah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dangan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itu, maka dia me­rasa yakin akan dirinya karena walaupun sebelah lengannya telah buntung, namun keadaannya jauh lebih kuat daripada sebelum lengan kirinya buntung. Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga dan setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama dan para pembantunya berada di ruangan silat, diapun meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu memalui atap yang dijebolnya.
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” kata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pe­ngerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan i­si dada Kim Sim Lama dan para pembantunya. Sikapnya tenang saja walaupun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Dan karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak, ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya dan diapun mengeluarkan suara ter­tawa untuk mengusir ketegangan dan wi­bawa Pendekar Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, melainkan mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”
Biarpun menghadapi ancaman dan berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, aku sudah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Ti­ba-tiba Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu sudah moloncat dan memaki. “Tidak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-ho­uw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah mere­ka berlima mengeroyok namun tidak da­pat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pende­kar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu meroboh­kan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim Lama, apakah o­mongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat kupercaya? Tibet Ngo-houw hen­dak mengeroyok aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus te­rang apakah engkau ingin maju sendiri dan mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak buahmu!” Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pan­dang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Ucapan ini mengobarkan kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang perta­ma dari Tibet Ngo-houw. Memang dia ha­rus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah dikalahkan Pendekar Bong­kok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan lengan kirinya! Ja­ngankan dia maju berlima, bahkan seo­rang diripun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar! Nah, terimalah....!” Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan kemudian tiba-tiba saja dia meloncat ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak ta­ngan ke arah dada Sie Liong! Sesungguhnya, orang-orang dengan kepandaian se­tingkat Tibet Ngo-houw ini sudah lang­ka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Ba­dai). Kekuatan yang luar biasa terkum­pul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah gerak serangan yang a­mat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Sejak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.
“Desss....! Plakkk!” Lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya menyambut serangan lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan pada saat itu, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan menghantam isi perutnya sendiri. Pada saat itu, nampak sinar putih menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya meme­riksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas! Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di ta­ngan Pendekar Bongkok yang hanya memi­liki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu se­lain terkejut, juga marah bukin main. They Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Somentara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejukan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang per­tama Tibet Ngo-houw dangan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu. Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum le­ngan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat sejak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Sagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya!
Akan tetapi, kini sepasang mata­nya terbelalak penuh kekagetan dan ke­heranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan le­ngan baju kirinya menyambar-nyambar. Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan ka­nan, dan setiap kali bertemu ujung le­ngan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya. Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke de­pan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lu­rus ke depan. Tangan kanannya menceng­keram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, mem­bentuk garis lurus seperti seekor naga meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan di­susul pekik dan robohnya ernpat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat be­tapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ter­nyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, ham­pir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bong­kok. Maka tanpa malu-malu lagi dia la­lu mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengero­yok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya me­lainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apalagi sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah. Semua pembantunya sudah menghu­nus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw sedemiki­an mudahnya. Pamannya yang telah bun­tung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti! Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang i­tu! Ia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihi­nya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pende­kar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belas­an orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak i­tu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apalagi ketika seorang perajurit tergopoh-go­poh melapor bahwa sarang mereka diser­bu oleh pasukan yang dipimpin oleh pa­ra pendeta anak buah Dalai Lama, Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bi­ngung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehing­ga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya ha­nya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi Sian....” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika me­reka berdiri hanya berdua saja di da­lam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok i­ni. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau sampai bertemu dengan Song Gan dan a­khirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sutenya sendiri. Semua ini membuat ha­tinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya i­tu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau ha­rus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami encinya. Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling....!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau.... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan diapun menahan langkahnya. Dia dapat menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling. Melihat sutenya hendak men­jadikan gadis peranakan Tibet itu men­jadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Aku­pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biar a­ku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis i­tu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bi­ngung. Dia menoleh ke luar dan mende­ngarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menye­rangku kalau aku bebaskan gadis ini!” Tentu saja dia merasa takut karena ta­di dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima o­rang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pen­dekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka dia merasa jerih kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Ka­lau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke manapun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Ga­dis itu yang sejak tadi diam saja, ha­nya memandang kepada Sie Liong dengan suka pucat, terhuyung ke arah Sie Li­ong yang segera menyambut dengan rang­kulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling....”
“Liong-koko.... ahh, Liong-koko....!” Dan tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, mem­buatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
“Suci, mari kita pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pa­sukannya telah menyerbu. Kalau terlam­bat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. A­ku tidak akan pergi, aku harus memba­laskan kematian ayahku. Dia telah mem­bunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayah, aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu....” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
“Tidak perlu bohong! Tidak perlu menyangkal, Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu....!” Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu....!” Bi Sian memandang kepada ibunya penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!” Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang se­ketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku bingung, aku tidak mengerti....” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walaupun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan tentang kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh mengejutkan. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu di tempat itu minum sampai mabok. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itu­lah yang telah membunuh ayahmu.”
“Siapa...., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku telah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau sampai suamiku menceri­takan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau membunuh suami­ku yang sedang mabok. Dan untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan sama sekali jejaknya.” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang kepada Bong Gan, saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucap­an Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia i­tulah yang telah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam....!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah....!”
Namun, seruan Sie Liong itu terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang. “Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju. Akan tetapi, Bi Sian tidak perduli. Ia melangkah mnju menghampiri sutenya, pe­dang Pek-lian-kiam masih di tangannya, matanya tak pernah berkedip, terbela­lak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan.... kau.... kau..... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak per­caya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mun­dur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia ne­kat meneakar dan menggigit. “Hayo bu­nuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku....!” Dan bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan. Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling de­ngan nekat menubruk ke arah pedang. Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Bong Gan terbelalak dan meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi....!” Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi datah. Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam sekarat!
“Ling Ling.... ahhh, Ling Ling.... kenapa kaulakukan itu....?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “.... aku.... aku lebih baik mati.... koko.... aku tidak berharga lagi.... dia.... dia telah monodaiku....” Dan iapun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi.... Ling-moi....!” Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak perduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nya­wanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia amat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” sekali meloncat, Bi Sian telah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berha­ti iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah daripada seekor binatang! Eagkau telah membunuh ayahku, engkau telah membuntungi lengan kiri tangan kiri paman Sie Liong! Engkau telah menodai a­ku dengan tipu muslihat, kini aku ta­hu! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawan­an. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menolch ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu. Di situ telah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling! Kalau saja dia dapat merobohkan sucinya, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakuti hanya Pendekar Bongkok. Biarpun dia tahu akan kelihaian sucinya, bagaimanapun juga dia sanggup menandinginya.
“Bi Sian, ingat, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua....” Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil. Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia terkejut. Tidak ada kesempatan lagi untuk menangkis dan ia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundak, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.

No comments:

Post a Comment