Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 7

Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dan menuding­kan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kausuruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!”
Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di belakang itu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mung­kin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu....”
“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar ta­nganmu tidak kotor!” Kakek itu menye­rahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia memban­tunya. Dan tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tong­kat itu dapat menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat i­tu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan pe­nuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya. Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Ba­gaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak perempu­an yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mere­ka “dihajar” oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang ke­ras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka. Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian me­nangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek, menye­ringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
“Plakkk!” Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang se­ketika “mimisen”. Melihat ini, dua o­rang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menye­rang kepala.
“Tukkk! Tukkk!” Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepa­la itu keluar telurnya, menjendol bi­ru!
“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin ya­kinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wa­siat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah mener­jangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu mengge­rakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mere­ka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tu­kang pukul yang jarang menemukan tan­dingan, dan di kota Sung-jan mereka a­mat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biarpun tidak sam­pai terluka parah namun pukulan tong­kat itu mendatangkan rasa sakit di ha­ti yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.
“Bocah setan berani kau memukul kami?” bentak si brewok.
“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pu­kul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, mener­jang terus! Biarpun lima orang itu ki­ni sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, sela­lu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang a­nak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
“Heh-heh, kau hendak lari ke ma­na? Bi Sian, jangan biarkan monyet ke­cil itu melarikan diri!” teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai de­ngan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hen­dak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkat­nya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, men­coba melawan, akan tetapi hasilnya ma­lah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada mu­ridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. A­kan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian su­dah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh see­rang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan di­ri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari sece­patnya sampai jatuh bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuh­kan dirinya di atas tanah, terengah-e­ngah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya terse­nyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-ping­kal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Si­an kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seo­rang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantu­nya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.
“Sudahlah, suhu. Apa sih yapg kau tertawakan begitu hebat?” katanya un­tuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau he­bat sekali, engkau telah menghajar an­jing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing se­perti tadi.”
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di be­lakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak berani membalapkan kudanya, ta­kut kalau membuat orang tua itu menja­di kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas pe­tunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia­pun menurut saja petunjuk suhunya ba­gaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaik­nya engkau menurut aku saja. Mari!”
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang be­lum juga pulang.
“Aku mulai khawatir, kenapa sam­pai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
“Ia pergi membawa kuda dan biasa­nya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir.”
“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan....”
“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan ia­pun ahli menunggang kuda, tidak mung­kin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami is­teri itu cepat menengok dan.... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Bi Sian....!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan a­yah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seo­rang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”
“Bi Sian....!” Yauw Sun Kok berse­ru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nam­pak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat kelu­ar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.
Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.
Akan tetapi semua usahanya untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. A­kan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke ma­na puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa ber­duka sekali. “Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang....” Dia menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerah­kan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya keti­ka berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong mencerita­kan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang ka­kek jembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang li­ma orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, makin yakinlah ha­ti Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel dan bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi diba­wa oleh seorang sakti yang mengambil­nya sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehi­dupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia kehilangan adik kandungnya dan da­lam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun!
Kesenangan dalam bentuk apapun di dunia ini tidak abadi! Kesenangan se­perti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat dapat meletus dan lenyap di udara! Kesenangan datang dari nafsu dan menimbulkan ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Kalau tiba saatnya kesenangan itu direnggut dan terpisah dari kita, maka kitapun merasa ke­hilangan dan berduka. Hidup ini, penuh dengan duka yang timbul dan kekecewaan, iba diri, kemarahan, kabencian, permusuhan. Karena hidup ini penuh dengan duka dan sengsara, maka kita semua rindu akan kebahagiaan. Sayang sungguh sayang, kita selalu salah mengenal kese­nangan sebagai kebahagiaan! Kesenangan hanya merupakan saudara kembar dari kesusahan belaka, keduanya itu tak terpisahkan seperti permukaan depan bela­kang dari telapak tangan. Ada susah ada senang, ada suka ada duka, tak ter­pisahkan. Karena itu, setiap kedukaan kita coba hibur dengan kesukaan, seti­ap kesusahan kita tutupi atau ingin lupakan melalui kesenangan. Padahal, kesenangan itupun akan berakhir dengan kesusahan, seperti gelombang tidak ha­nya bergerak ke satu jurusun, tapi pa­da saatnya membalik.
Kebahagiaan sungguh jauh berbeda. Kebahagiaan tidak mempunyai kebalikan! Kebahagiaan berada jauh di atas jang­kauan suka dan duka. Karena suka dan duka itu hanya merupakan permainan pi­kiran, maka hanya menjadi pakaian dari si aku. Kebahagiaan tak dapat diraih oleh pikiran. Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan sengaja oleh si aku yang ingin berbahagia. Kebahagiaan adalah Cintakasih, Cahaya Illahi, kekuasaan Tuhan yang selalu ada, di dalam di­ri kita sendiri, tak pernah sedetikpun meninggalkan kita. Hanya pikiran dengan nafsu-nafsunya menyeret kita ke dalam kegelapan sehingga tidak dapat melihat-Nya.

***

Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung in­dah itu. Suaranya lantang dan yang di­bacanya adalah kitab sajak para penya­ir jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengin­tai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, gan­teng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan a­tau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia ti­ga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-ki­tab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pela­jaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar ha­nya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, ja­rang yang dapat mengerti secara menda­lam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunung­an Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keri­butan karena adanya gerombolan peram­pok dari Nepal yang merusak dusun-du­sun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari ba­rat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan se­menjak itu, anak itu diakui sebagai a­nak angkat. Anak berusia lima tahun i­tu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluar­ga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disa­yang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wan­gwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang ma­sih muda dan sehat, sedangkan dia sen­diri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Kare­na itu, biarpun Bong Gan disayang, a­kan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan ti­dak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupa­kan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa o­rang tuanya. Agaknya dua hal ini, yai­tu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakap­annya belajar ilmu kesusasteraan, men­datangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Bo­angana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di a­tasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan da­lam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang di­hormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahan­kan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara ang­gauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, me­nyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-ha­ti sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada ma­lam hari itu. Ini berarti bahwa biar­pun ayah angkatnya tidak berada di ru­mah, tetap saja dia belajar dengan te­kun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jan­tung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menam­bah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia dipero­leh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disa­yang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terja­di pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suami­nya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan de­ngan suka rela, melainkan karena ter­paksa.
Oleh karena itu, baru saja dibo­yong ke dalam rumah gedung Coa-wan­gwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pe­muda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan pute­ra kandung suaminya, dan juga ia meli­hat betapa orang-orang serumah itu ju­ga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan me­nanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan se­orang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita­-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wani­ta itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu ber­sikap sopan, tidak memperlihatkan tan­da bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih ter­lalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan lang­kah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi ting­gi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja i­tu cepat merangkap kedua tangan di de­pan dada memberi hormat.
“Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini....”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak seka­li mendengarnya....”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau eng­kau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. A­yahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pem­baringan. “Biarlah ahu duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pemba­ringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang memba­ca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini....?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembar­an buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu mem­bacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan me­manggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa ka­li pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kauajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi geme­tar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....” kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka ber­sentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-ja­ri tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut de­ngan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagai­nya. Makin diberi, semakin merasa ku­rang dan menghendaki yang lebih!
Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan. Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan de­ngan langkah berikutnya, ke sekian pu­luh kali dan mereka berdua, yang dima­bok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang me­mang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut men­dengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran me­ngingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, ter­pelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati. Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang la­in dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu dige­dor dari luar!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan ke­duanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mu­kanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan be­rita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hu­kuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang pung­gungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Kedua­nya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sa­kit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggal­kan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, dise­barkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka ti­dak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk a­pa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat menca­ri jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malape­taka yang menimpa dirinya ini disebab­kan oleh Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan telun­juknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menim­pa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarlga Coa! Aahh, eng­kau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempu­an tak tahu malu!”
“Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit ber­diri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas be­tapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-la­ki itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek i­tu telah membantunya, maka biarpun ha­tinya merasa ngeri, ia tahu bahwa ne­nek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis! Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, me­rasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri kare­na terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu de­ngan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman. Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus ke­ring, kecil dan membungkuk seperti u­dang kering, seolah-olah usia tua su­dah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertu­tup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang i­tu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hi­tam. Sungguh menyeramkan sekali keada­an nenek itu, akan tetapi sepasang ma­ta yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang menge­jutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah mengguna­kan ujung tongkatnya untuk memaksa ga­dis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek meng­angguk-angguk.
“Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama se­kali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menja­wab sambil menahan tangisnya. “Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya har­tawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah se­tan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bo­cah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai ma­ta seperti setan. Apakah kau ingin a­gar aku membunuhnya?”
Pek Lan bergidik. Nenek itu sung­guh berhati kejam bukan main. Bagaima­napun marahnya terhadap Bong Gan, ten­tu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat a­kan pengalamannya selama beberapa bu­lan ini, masih ada sisa kemesraan da­lam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, ba­gus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul kebera­niannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia ti­dak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau ne­nek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.
“Heh-heh-heh, bocah setan, bergu­linglah engkau!” Nampak ia menggerak­kan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuh­nya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu ja­uh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya melun­cur ke bawah dangan cepat sekali! Ten­tu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Toloooooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menja­di kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terban­ting ke atas tanah, tiba-tiba ada si­nar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu sa­ja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Ha­yo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, me­lainkan menutup mata rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara se­perti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seo­rang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Si­an sudah merengek kepada gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Bi­ar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana a­ku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya....” Dan kakek jembel itu bergidik kengerian. Meli­hat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. “Hei, ne­nek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai lalu meno­leh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya ju­ga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nenek yang mulia, bocah itu men­campuri urusan kita, sebaiknya kaubu­nuh saja!” Di sini sudah nampak perwa­takan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap o­rang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membu­ka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik i­tu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr.... takkkk!” Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hi­tam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-ka­ta “tidak bergigi lagi” bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan ru­pa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergi­gi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menye­rang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, me­lompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun “hidup” dan melawan tongkat ular itu dan terjadi­lah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya “bersilat” tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehing­ga terdengar bunyi nyaring berkali-ka­li, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ular­nya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah “memanggil” kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terja­dilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian gi­rang sekali dan melihat gadis yang me­nyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipu­kul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. A­khirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek yang mulia.... tolong aku.... tolooooonggg!” Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan anta­ra Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mu­la-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bu­kan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingung­kan. Akan tetapi begitu Koay Tojin me­ngeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nya­ris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan min­ta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi....!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terha­dap anak perempuan itu dan kakek jem­bel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeri­ngai. “Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatan­nya sedih bukan main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan....” jawab a­nak laki-laki itu sambil menahan ta­ngisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh me­reka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga har­tawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah se­lir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang men­curinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Kare­na itu, ayah angkat saya marah dan ka­mi berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.” Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah sele­sai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya....”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak a­kan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh i­tu sekali ini tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melem­parkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulai­lah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!” Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup he­bat, apalagi kalau pukulan itu menge­nai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong. Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluh­an keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan ba­sah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian me­rasa tidak tega. “Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. “Mari kita per­gi, Bi Sian!” katanya dan sekali sam­bar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepa­lang dan kini kakek itu meninggalkan­nya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam ke­palanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi mu­rid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu teran­cam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menja­ga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia a­kan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji! Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat i­tu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu! Me­mang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan di­tambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuh­nya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah be­rumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengo­bati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali. Agak­nya anak perempuan itu mengerjakan de­ngan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun ba­ru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian da­un-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. A­nak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman....” katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh i­tu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan si­kap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat....” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, mu­ridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau ti­dak taat, engkau akan kuusir. Dan ka­lau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan ma­in Bong Gan memberi hormat dengan sem­bah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi ke­baikanmu itu....”
Bi Sian terbelalak. “Eh, eh, nan­ti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah su­ci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau ce­pat tua dengan disebut kakak! Coba se­karang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”

No comments:

Post a Comment