Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 4

Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja­lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma­kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia ha­rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia­pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut­nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o­rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin ka­get saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de­ngan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau i­ngin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a­kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter­banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
“Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de­ngan marah. “Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!” Tangannya meralh dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me­nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu­kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.

Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.

Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i­tu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu­lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal­kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se­kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se­belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin­tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja­lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami­nya cepat melakukan pengejaran ke uta­ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu­ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta­ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete­lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng­ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki­ri? Akhirnya, diapun pulang dengan wa­jah lesu. Dia tidak begitu susah di­tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge­lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir­kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o­rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber­usaha keras untuk menghibur hati iste­rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su­dah cukup dewasa untuk mengurus diri­nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka­li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh­nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se­latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berja­lan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia ma­kan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia ha­rus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den dia­pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perut­nya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak o­rang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin ka­get saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu de­ngan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing galak, apakah engkau i­ngin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, a­kan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya ter­banting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
“Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong de­ngan marah. “Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!” Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang me­nempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah mener­jang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
“Bukkk!” Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali ter­banting menghantam batu dan diapun ro­boh pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang ta­di. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan mene­lanjanginya dan menghajarnya! Baru sa­ja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan ma­kan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya! Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memi­liki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan monemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat kete­lanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong ter­tawa sendiri. Monyet-monyet itupun te­lanjang bulat mengapa dia harus malu? Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manuasia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada yang mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia a­kan dianggap gila!
Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.
Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil la­gi, usianya sudah tiga belas tahun, su­dah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan. Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga pe­tani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya sema­lam, tentu mereka akan mau menolong­nya, pikirnya.
Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati meaye­linap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu mang­hampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Keti­ka dalam keremangan senja itu dia malihat seseorang datang dari arah bela­kang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata o­rang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang po­hon. Namun terlambat, kakinya mengin­jak ranting kering dan gadis remaja i­tu sudah membalikkan tubuh menengok.
“Siapa itu?” Gadis itu menegur.
Sie Liong tidak berani berkutik. Ba­tang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
“Hayo katakan siapa itu! Maling­kah? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari ba­lik pohon itu!”
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu men­jerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua ta­ngan.
“Aku.... aku bukan maling....” katanya lirih.
Gadis itu torbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
“Eiiiiihhh....!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terle­pas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir kelu­ar. Gadis remaja itupun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah. “Setaaan....! setaaaaann....!” Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali memyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit dan merasa bahwa dia memang sudah men­jadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkpk telanjang! Sungguh sial, geru­tunya, tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki berusia dua puluh tahun lebih, keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpe­gang tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan.
“Mana. dia? Mana setan itu?” tanya pemuda itu dengan lagak pemberani akan tetapi suaranya agak gemetar.
“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihat! Dia masih di sana....” gadis itu merangkul ibunya.
Dua orang laki-laki itu juga su­dah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon dan mereka maju baberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.
“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembah­yang,” kata pria yang setengah tua.
Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia­pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
“Maaf, paman.... maafkan aku. Aku.... aku bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan pertolongan kalian.”
Dua orang pria itu jelas kelihat­an lega mendengar ini, akan tetapi me­reka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentu orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku.... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, diram­pas perampok, bahkan aku dipukul mere­ka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.” Untuk membuktikan kebenaran ka­ta-katanya, Sie Liong membalikkan tu­buh memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, memperlihatkan pula tanpa di­sadari pinggulnya karena yang ditutup­nya hanyalah bawah perut.
“Iiihhh....!” Gadis remaja itu men­jerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya mengintai dari celah-celah jari tangannya!
Kini pria setengah tua itu percaya karena dia melihat betapa belakang kepala itu memang terluka. “Kauambil­kan satu stel pakaianmu, juga obor.” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
“Baik, ayah.” Diapun lari ke da­lam. Ayah, ibu den anak perempuan itu manih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita terutamm gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan aku, puman. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku sengaja menanti sampai gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, make aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku berteau dengan keluarga yang budiman. Harap enci di sana itu memaafkan aku, aku tidak se­ngaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar suaila.”
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak i­tu dapat menduga bahwa tentu anak te­lanjang itu bukan seorang dusun, me­lainkan seorang kota yang terpelajar.
“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku Liong, she Sie.”
Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor di tangan kanan dan satu stel pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dengan peraaaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebe­saran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan ka­ki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodor­an, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong mengha­turkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan me­lupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak i­ni bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, di­tariknya untuk diajak masuk ke rumah.
“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan makan malam bersama ka­mi, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu km­pada kami.”
Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis i­tu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lajimnya gadis-gadis dusun.
Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat orang itu senang sekali me­lihat sikap Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di du­sun yang kasar.
“Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu.” kata sang ayah.
“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, den engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu ga­dis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong memandang mereka dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan kelu­arga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia berte­mu dengan lima orang perampok. Dan pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah de­ngan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Namun, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan sa­ja memberinya pakaian sehingga dia ti­dak lagi telanjang, memberinya makan, merimanya bermalam di situ, bahkan kini menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaik­an yang lebih hebat dari pada ini? Ke­ikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan. Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada mereka.
“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini takkan kulupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan pernah melupakannya. Akan tetapi maaf, aku masih ingin malanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”
Malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalan sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikannya dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga. Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini semenjak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya. Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatesi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia pergunakan untuk melin­dungi orang yang dihimpit kejahatan o­rang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.
Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik itu, dan diapun melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh. Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ. Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi men­dengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya. Maka, tanpa di­sadari, dia lalu mengetuk-ngetukken tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu bar­lubang, maka menimbulkan suara nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menen­tang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tidak begitu nyeri lagi karena tidak lagi “diserang” oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu me­nyesuaikan irama lagu mereka dengan i­rama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan diapun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!
Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan kacau oleh suara ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.
“Tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak­-tok-tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam! Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali, hanya se­orang bocah bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya dan telah menjadi kacau! Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama i­tu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci raha­sianya dibuka dan ilmu itupun tidak a­da gunanya lagi.
“Bocah setan! Berani engkau me­ngacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet dan tubuhnya sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang, dan ce­pat sekali dia menyerang anak itu de­ngan Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang be­gitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok! Bukan main keji­nya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pu­kulan sakti yang ampuh. Seorang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak yang lemah!
“Siancai....! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek In Sin-ciang yang mengeluarkan uap pu­tih.
“Desss....!” Tubuh Thay Ku Lama terpelanting dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu dalam usahanya menyelamatkan anak bongkok, telah mengerah­kan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan te­tapi, pukulannya yang dahsyat tadipun sudah menyerempet dada Sie Liong dan a­nak inipun terpelanting dan terbanting keras!
They Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaga­nya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jerih. Setelah meloncat bingun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.
“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!” Se­telah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan letyap dari situ.
“Siancai....! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya seka­li....” kata Pek In Tosu yang segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu telah terbe­bas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak akan tetapi da­pat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka tahu pu­la bahwa nyawa mereka diselamatkan o­leh kakek sakti itu, maka keduanya la­lu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah, harap ji-wi (kalian berdua) segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri urusan para Lama itu.”
Dua orang itupun cepat-cepat memberi hormat lalu pergi dari situ untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu meng­hampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu lalu berlutut.
“Thian Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan sekali anak ini....” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru. Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat den anak itu masih ter­langgar hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu. Perlahan-lahan dia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, walaupun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dia tidak mampu dan harus dicarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas pan­jang dan perasaan iba memenuhi batin­nya. Anak bongkok yang aneh ini, mung­kin karena tidak disengaja, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah ter­ancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama! Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok dan miskin ini terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia memandang kagum. Anak itu tidak mangeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu menda­tangkan perasaan nyeri yang hebat. Ha­nya napas anak itu masih sesak, dan ketika anak itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong membuka matanya, meman­dang kepada kakek itu dan mengangguk. “Nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio tadi memukul aku?”
Pek In Tosu menarik napas panjang dan semakin suka dan kagum kepada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanya­anmu itu, perlu lebih dulu pinto keta­hui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”
Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata, mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi. “Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyi­an dan aku tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang du­duk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan mena­ri-nari. Akan tetapi suara nyanyian i­tu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang ti­dak enak itu.”
“Siancai.... Tanpa kausadari engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mareka. Karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menja­di marah dan hendak membunuhmu.”
Sie Liong terkejut sekali dan sa­king herannya, dia bangkit berdiri. A­kan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap oleh Pek In Tosu. “Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam kea­daan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”
Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya seperti terbang. Kira­nya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja!
Bukit itu puncaknya merupakan pa­dang rumput yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rum­put di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-pun­cak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di atas pa­dang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Se­orang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya de­ngan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan be­ngis, pakaiannya juga putih dan usia­nya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mere­ka dahulu adalah para pertapa di Hima­laya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka sangka, setelah puluh­an tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melaku­kan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai....! Sungguh mengheran­kan sekali sikap para Lama itu. Menga­pa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga i­ni bukan saudara seperguruan, akan te­tapi biarpun mereka datang dari sum­ber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai ti­ga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu, me­reka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himala­ya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” ka­ta Swat Hwa Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sa­na dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menja­tuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang diang­gap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja a­kan hal itu, akan tetapi sampai seka­rang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu me­nuduh para pertapa Himalaya memberon­tak? Dan mengapa pula yang mereka mu­suhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pin­to ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahui­nya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengar­kan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang pe­rasaan nyeri di dadanya banyak berku­rang walaupun belum lenyap sama sekali.
“Pada waktu itu, kurang lebih ti­ga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang ha­rus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu a­nak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukan­lah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terja­di ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah per­tempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pende­ta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama aenja­di gentar dan sambil melarikan anak i­tu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hen­dak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindak­an gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikata­kan oleh pimpinan mereka merupakan pe­rintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya ke­tika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun suatu kejanggalan dan ra­hasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, ti­dak membiarkan kebencian menyentuh ba­tin, namun kita berhak dan berkewajib­an untuk melindungi diri kita dari se­rangan yang datang dari luar maupun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan a­nak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disa­darinya sendiri dia telah menghindar­kan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita berti­ga sudah berusaha mengusir hawa bera­cun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi ke­wajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk me­nolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Ti­bet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serang­an para Lama yang sakti ini harus me­lindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, make tidak semesti­nya kalau sam-wi harus pula bersusah ­payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin ter­ancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan ja­ngan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjub­kan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang ber­sih dan bakat yang besar!
Bukit itu puncaknya merupakan pa­dang rumput yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rum­put di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-pun­cak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk bersila di atas pa­dang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Se­orang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya de­ngan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan be­ngis, pakaiannya juga putih dan usia­nya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mere­ka dahulu adalah para pertapa di Hima­laya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak mereka sangka, setelah puluh­an tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melaku­kan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai....! Sungguh mengheran­kan sekali sikap para Lama itu. Menga­pa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga i­ni bukan saudara seperguruan, akan te­tapi biarpun mereka datang dari sum­ber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai ti­ga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu, me­reka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himala­ya Sam Lojin.
“Tidak tahukah engkau, sute?” ka­ta Swat Hwa Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sa­na dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menja­tuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang diang­gap paling tua di antara mereka.
“Pinto hanya ingat sedikit saja a­kan hal itu, akan tetapi sampai seka­rang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu me­nuduh para pertapa Himalaya memberon­tak? Dan mengapa pula yang mereka mu­suhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pin­to ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahui­nya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengar­kan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang pe­rasaan nyeri di dadanya banyak berku­rang walaupun belum lenyap sama sekali.
“Pada waktu itu, kurang lebih ti­ga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang ha­rus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu a­nak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukan­lah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terja­di ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah per­tempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pende­ta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama aenja­di gentar dan sambil melarikan anak i­tu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hen­dak memberontak.”
“Akan tetapi, itu sungguh tindak­an gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikata­kan oleh pimpinan mereka merupakan pe­rintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya ke­tika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun suatu kejanggalan dan ra­hasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, ti­dak membiarkan kebencian menyentuh ba­tin, namun kita berhak dan berkewajib­an untuk melindungi diri kita dari se­rangan yang datang dari luar maupun dalam.”
Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng, lalu bagaimana dengan a­nak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai....! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disa­darinya sendiri dia telah menghindar­kan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita berti­ga sudah berusaha mengusir hawa bera­cun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi ke­wajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk me­nolongnya.”
Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Ti­bet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serang­an para Lama yang sakti ini harus me­lindungi pula dirinya, diapun segera berkata.
“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, make tidak semesti­nya kalau sam-wi harus pula bersusah ­payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin ter­ancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan ja­ngan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu. Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjub­kan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang ber­sih dan bakat yang besar!
Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini karena dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk un­tuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba ada angin keras menyam­bar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Oleh Sie Liong hanya kelihatan bayang­an merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan. Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga o­rang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain. Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat soperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, ter­pejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo La­ma, kurus kering seperti tengkorak hi­dup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lalu menggeser du­duk mereka. Kini mereka bersila seja­jar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu, de­ngan sikap yang tenang sekali. Sie Li­ong membuka matanya lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi diapun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima o­rang pendeta Lama yang dianggapnya a­mat jahat dan sombong itu.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya memberi isarat melalui gerakan tangan dan tubuh. Mereka berlima tidak berani memandang ren­dah kepada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lo­jin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati.
Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, seba­liknya sikap Lima Hartmau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiapsiagaan untuk ber­kelahi.
Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur keku­atan pihak lawan dengan pengamatan sa­ja.
“Sam Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama memerintahkan kalian berti­ga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suara­nya lirih namun jelas dan tajam, bah­kan mengandung perintah dan ancaman.
“Siancai! Kami bukunlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerin­tah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perin­tah itu.”
“Kalian tinggi hati! Baiklah, ka­mi menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berwawancara de­ngan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya halus dan sopan, namun mengandung ejekan.
“Maafkan kami, kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”
Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai....! Terserah kepada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilang­gar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.

No comments:

Post a Comment