Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 8

“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan).”
Wajah Bong Gan menjadi merah, a­kan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk. “Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, a­ku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya ta­hu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan ta­ngan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menya­yangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan se­bagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapat­kan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.

***

Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.
“Terima kasih, nenek yang mulia. Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek a­pa yang harus saya lakukan karena hi­dup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek i­blis ini dan kalau ia tidak mau ia a­kan dibunuh! Manusia macam apa nenek i­ni? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau bela­jar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada ne­nek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru ke padaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu? Ka­lau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedi­kit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, terma­suk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Ma­ka bangkitlah semangatnya.
“Apapun yang subo perintahkan ke­pada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Seka­rang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menja­bat komandan atau panglima besar. Ba­nyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seo­rang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi teruta­ma sekali karena para pembesarnya su­dah kehilangan kesetiaan mereka terha­dap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak me­lakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatan­nya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpul­kan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang an­tik dari batu giok, perhiasan-perhias­an dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluh­an orang perajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat ba­nyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-ka­mar atau gudang-gudang rahasia di ba­wah tanah! Inilah sebabnya mengapa o­rang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik je­lita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiru­an dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung le­bar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke ben­teng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isa­rat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keran­jang itu tertarik sekali. Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah ga­gah menghampiri gadis cantik yang se­dang memangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan pe­rutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun berta­nya dan hatinya semakin tertarik kare­na setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah be­lahan dada dan nampaklah lereng sepa­sang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melain­kan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga i­kut berlutut, akan tetapi tidak menge­luarkan suara.
“Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berha­sil melarikan diri, dibantu oleh pela­yan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin....”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi men­dengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong de­ngan cara “menampung” Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan....!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau a­kan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan se­nyum kecil menantang, membuat hati pa­ngeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan keper­giannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil me­ngawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan “pelayannya”!
Tepat seperti diperhitungkan o­leh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun ma­sih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berke­dudukan tinggi dan kaya raya, akan te­tapi usianya sudah setengah abad le­bih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran. Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan selu­ruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang di­datangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah mengorek rahasia ini, ce­pat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. “Su­bo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini ki­ta kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan i­ni berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku sela­lu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik....”
“Jangan khawatir. Aku akan beker­ja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan da­pat merobohkan mereka,” kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya ten­tang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendi­ri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa “menderita” dalam pelukan Pangeran Cun.
Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk me­nyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan keha­ngatan. Setidaknya, ia tidak tertang­kap basah dan tidak ikut dengan guru­nya ke gudang harta itu! Ia berada da­lam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu me­rangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sam­pai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berke­liaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti ba­yangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian dua orang pen­jaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tom­bak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merun­dingkan sesuatu, berdiri seperti pa­tung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang ka­wan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan i­tu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka te­rampas sebelum terbanting ke atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera i­tu ke tubuh empat orang yang ditotok­nya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang pen­jaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-je­rit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu la­ri cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jago­an itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya. Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia mengintai ke­luar. Enam orang penjaga dan tiga o­rang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus memba­wa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberat­kan tubuhnya dan langkahnyapun terde­ngar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti....!” Tiga o­rang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga o­rang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka­pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas. Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo se­ngaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tem­pat gelap dan ketika mereka semua da­tang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jago­an itu memang lihai. Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu ma­sih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu be­tapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengam­bil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pa­kaian, bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!” Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang se­jak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!” Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?” kata Pek Lan sambil mengam­bil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak “mengganggu” pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!” Nenek itu menyambar le­ngan muridnya dan membawanya “terbang” melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan penge­jaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan di punggung me­sing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersikea oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali bar­ang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebu­ah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitar­nya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau ber­gaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadi­nya merupakan seorang gadis manis le­mah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu si­lat!
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di anta­ra puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan ma­tahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerah­an, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendaki­an yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat ting­gal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal da­ri Himalaya itu, tiga orang tokoh be­sar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong! Namun, adalah tiga su­heng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah a­mat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuat­an dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil me­reka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang menSandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan bera­cun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang sela­lu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-li­ong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanan­nya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan i­ni, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan te­kun, anak itupun rajin bukan main. Ti­dak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seo­rang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apala­gi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otak­nya. Luar biasa! Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tan­duk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ah­li dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guha­nya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga o­rang murid keponakan untuk menggem­bleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghim­pun sin-kang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu su­dah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar eng­kau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenar­an dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw i­tu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak dicu­lik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghatur­kan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu.”
Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaan­nya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari enci­nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibu­nya telah tewas akibat penyakit menu­lar. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Keti­ka dia mendapat keterangan yang meya­kinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah i­bunya yang telah meninggal dunia. Pen­duduk dusun itu melihat Sie Liong de­ngan pandang mata heran. Jarang ada o­rang luar memasuki dusun itu, dan ti­dak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihat­kan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari du­sun itu, lalu ketika dia melihat seo­rang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Boleh­kah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang tera­tur dan halus membuat kakek itu meng­hentikan langkahnya dan menghadapi pe­muda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menja­wab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengeta­hui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-ta­hun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang. “Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerut­kan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan ka­kek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di ping­gang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa me­reka adalah segolongan petani. Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya bera­ni melarikan diri? Kalian lihat sendi­ri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengem­balikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka ti­dak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hu­tang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang su­dah delapan bulan. Hari ini adalah ha­ri terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Bagaimana saya dapat membayarnya? Sa­ya tidak mempunyai uang dan saya ti­dak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak, majikan ka­mi mengharuskan engkau membayar seka­rang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Ba­rang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, o­rang tua! Ada bunga yang manis dan bu­nga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?” Suaranya bercampur ta­ngis kebingungan.
“Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawa­nya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku ha­nya dengan cucuku Siu Si, gadis beru­sia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin meng­ambil cucuku sebagai selir, akan teta­pi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. A­yahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu o­rang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan me­ragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tu­kang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman ba­haya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak pendu­duk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, “Awas, Lo Kwan, cucumu....!”
“Mereka ke sana....”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!”
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar da­ri rumah masing-masing melihat ada ti­ga orang tukang pukul kepala dusun me­nuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya a­mat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku....!” Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hi­dung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menaagis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!” teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan te­tapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!” Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas meng­hancurkan pintu dan jendela rumah ke­cil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!” Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada o­rang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia me­nunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku ti­dak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah??” Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, “Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang ka­wannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Dua orang temannya itu adalah o­rang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam. Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemu­da bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!” Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gen­tung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak ber­saing dan berlumba siapa yang akan le­bih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah ti­dak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia me­ngembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pan­tat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan ma­rah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka su­dah mencabut golok dari pinggang ma­sing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. “Orang muda, pergilah, la­rilah....!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Li­ong menoleh kepada Kwan Sun. “Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengan­dalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar....” Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak ta­han melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu lu­put! Dan sebelum dua orang penyerang­nya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!” Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai me­ngeluarkan bunyi “ngek! ngek!” dan me­reka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua ta­ngan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah le­nyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditem­pelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” ben­taknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!” katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya menge­nai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hi­dung besar yang tiba-tiba merasa le­ngannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melang­kah di depannya. Dia masih mencoba un­tuk menggerakkan tangan kanannya me­nyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelang­an tangannya dan mencengkeram.
“Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!” Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotong­nya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan....” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersa­ma gerombolannya....”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek i­tu masih sempat mengkhawatirkan diri­nya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai cela­ka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sam­bil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, no­na. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lo­pek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mere­ka sudah mengabarkan kepada orang-o­rang lain dan kini banyak orang berda­tangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemu­da bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Li­ong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seo­rang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
“Mana kami berani?” akhirnya seo­rang laki-laki muda menjawab.
“Andaikata Sie-kauwsu masih hi­dup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditu­jukan kepada mereka yang tua-tua kare­na tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hi­dup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!”
“Kami.... kami tidak berani....” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kali­an tidak perlu turun tangan, lihat sa­ja aku akan menghajar mereka!” kata Sie Liong tanpa nada sombong, melain­kan nada penasaran mengapa begini ba­nyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk du­sun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga o­rang tukang pukul lurah Bouw, akan te­tapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya ber­sikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga ka­lau pembesar tinggi datang, kalian ha­rus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian, terdengar sua­ra banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya. Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebalik­nya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya se­gera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendangkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pu­kulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buah­nya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka meman­dang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum. “Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lu­rah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersih­kan dusun kami ini dari srigala-sriga­la berwajah manusia yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!” Dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Li­ong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagai­kan hujan ke arah tubuh Sie Liong. Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka mera­sa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembu­nyi di rumah sendiri saking takut ter­libat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh! Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil me­ngeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan ba­cokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisi­nya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengang­kat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka! Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan ma­sih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika di­keroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira meli­hat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah sema­ngat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera me­lemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terke­jut ketika kini orang-orang dusun me­ngejarnya dan memukulinya

No comments:

Post a Comment