Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 13

Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan ti­dak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para ja­goan itu tidak ada yang mampu menan­dingi kesaktian siluman itu, maka ja­lan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya a­kan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua pu­terinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanya­lah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seo­rang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna po­los putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan se­patunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja dari­nya, orang itu akan mencium bau mi­nyak yang sangat wangi! Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau me­ram, hidungnya besar dan mulutnya ke­cil selalu tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, ta­ngan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya meme­gang sebuah kipas yang dikebut-kebut­kan ke arah lehernya ketika dia mama­suki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat me­nyambut dengan sikap hormat, dan begi­tu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang, “Hayaaaaaaa....!” dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat mem­beri hormat dan bertanya, “Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!” Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyala­kannya. Asap yang mengeluarkan bau ha­rum segera memenuhi ruangan depan itu. Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berka­ta sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. “Yang datang dari u­tara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu un­tuk membantu aku mengusir siluman me­rah!” Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya ke­luar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mam­pu mengusir siluman merah dan menyela­matkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mere­ka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Si­an-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tu­buh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar­ gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, “Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
“Ada apakah, Sian-jin....?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya geli­sah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselu­bungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka meng­gigil.
“Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....” kata kepala dusun itu cemas dan keli­hatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena ka­lau sampai ada yang terkena hawa silu­man, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar i­ni, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Se­gera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....” Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang meman­dang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kem­bang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari ceng­keraman siluman merah, maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan pe­nuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi ka­mar dan sama sekali tidak boleh mende­kat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodoh­an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun­cul dan mengganggu manusia secara jas­maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter­hadap gangguan iblis karena yakin bah­wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib­lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un­tuk memuja iblis, setidaknya menghor­matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha­dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan ke­mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi­kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin­an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a­lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi ke­selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua­tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli­mang nafsu itu menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja de­ngan dua orang gadis remaja yang can­tik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis re­maja yang diserahkan ke dalam kekuasa­annya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubah­nya, yaitu darah anjing yang sudah di­keringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia ti­dak takut, bahkan dia akan memperguna­kan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia a­kan memetik dua tangkai bunga yang se­dang mulai mekar itu, menikmati mere­ka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sa­kit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Ka­lau kalian ceritakan, maka hawa silu­man itu akan datang menguasai diri ka­lian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Laku­kan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembu­nyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sam­bil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua o­rang gadis remaja itu, jari-jari ta­ngannya dengan penuh nafsu menggera­yangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mere­ka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Si­an-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tu­buh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar­ gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, “Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
“Ada apakah, Sian-jin....?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya geli­sah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselu­bungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka meng­gigil.
“Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....” kata kepala dusun itu cemas dan keli­hatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena ka­lau sampai ada yang terkena hawa silu­man, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar i­ni, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Se­gera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....” Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang meman­dang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kem­bang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari ceng­keraman siluman merah, maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan pe­nuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi ka­mar dan sama sekali tidak boleh mende­kat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodoh­an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun­cul dan mengganggu manusia secara jas­maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter­hadap gangguan iblis karena yakin bah­wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib­lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un­tuk memuja iblis, setidaknya menghor­matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha­dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan ke­mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi­kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin­an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a­lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi ke­selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua­tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli­mang nafsu itu menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja de­ngan dua orang gadis remaja yang can­tik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis re­maja yang diserahkan ke dalam kekuasa­annya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubah­nya, yaitu darah anjing yang sudah di­keringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia ti­dak takut, bahkan dia akan memperguna­kan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia a­kan memetik dua tangkai bunga yang se­dang mulai mekar itu, menikmati mere­ka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sa­kit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Ka­lau kalian ceritakan, maka hawa silu­man itu akan datang menguasai diri ka­lian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Laku­kan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembu­nyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sam­bil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua o­rang gadis remaja itu, jari-jari ta­ngannya dengan penuh nafsu menggera­yangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biarpun nafsu berahinya sudah me­muncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-ge­sa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember man­di, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.
Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam se­limut, Bong Sian-jin lalu duduk bersi­la dengan santainya di tepi pembaring­an, pura-pura bersamadhi sambil menan­ti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah bo­tol.
Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja se­hingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bica­ra berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, mem­buat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka. Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh “membersihkan” mereka. Me­reka masih terlalu hijau untuk berpra­sangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati “imbalan jasanya”. Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
“Kalian takut?”
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri. “Heh-heh, jangan ta­kut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mu­lai mencopoti pakaiannya satu demi sa­tu. Melihat ini, dua orang gadis rema­ja itu tersipu-sipu. Mereka merasa le­ga karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.
“Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu....” Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeli­at dan semakin tersipu.
Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang “iblis” yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.
“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat betapa “iblis” itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya ma­ta di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke a­rah siluman merah itu. Namun, siluman merah itu tetap tidak bergerak. Meli­hat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah ke­pala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan mampu menga­lahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam se­tan dan siluman.
Akan tetapi, siluman merah itu a­gaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak me­ngelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!” Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesua­tu, siluman itu telah menggerakkan ta­ngan kanannya dan pedang kayu itu te­lah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada silu­man yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!
“Kau.... kau.... bukan siluman....!” serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusuk­kan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu­pun tembus! Tubuh dukun itu terjeng­kang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya terdengar sua­ra mengorok.
Siluman merah tidak memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengang­guk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi le­mas dan tidak mampu bergerak lagi. Di­gulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jende­la yang dibukanya dan sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal di ka­mar itu, berusaha menjerit, akan teta­pi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara i­nilah yang memaksa Gumo Cali dan iste­rinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, a­kan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari du­kun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nam­pak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Biarpun me­rasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya se­dangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua o­rang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluar­ga kepala dusun itu menjadi panik, bi­ngung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunan­nya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan ha­nya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya. Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya se­hingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Ca­li, mendengar betapa dukun Bong terbu­nuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mem­persiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang te­lah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuh­nya yang bongkok. Namun, hanya seben­tar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobah­nya. Biarlah, dia termenung, aku sadar akan keburukanku. Jauh lebih baik me­nyadari kekurangan dan keburukan diri sendiri tanpa keluhan dan sakit hati daripada menganggap diri sendiri yang terbaik dan tanpa cacat. Keadaan diri­nya adalah suatu kenyataan, dan menerima kenyataan hidup, betapapun pahitnya si-aku menilai, merupakan suatu kebi­jaksanaan kalau dia menyerahkan kembali kepada Tuhan karena, bukankah segala kenyataan itu baru dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Tuhan? Dan menga­pa Tuhan berkehendak demikian, merupa­kan rahasia yang takkan terjangkau oleh akal pikiran manusia yang selalu mendasarkan penilaian atas untung-rugi yang diperhitungkannya.
Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh o­rang yang mengepungnya dan dengan sen­jata di tangan.
“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”
Dan dua puluh orang lebih itu se­rentak menyerangnya dengan senjata me­reka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
“Heii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata ta­jam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sam­pai terobek, namun tentu saja pakaian­nya tidak kebal dan mulailah pakaian­nya robek-robek.
“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.
Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak da­pat melukai orang bongkok itu, dan ha­nya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah seorang si­luman atau iblis, maka semakin ramai­lah mereka mengeroyok dengan nekat wa­laupun senjata mereka membalik dan ta­ngan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua o­rang menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakai­annya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa mereka yang mengero­yoknya itu bukanlah penjahat, melain­kan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang me­nyebabkan kemarahan mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman! Meli­hat serangan bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayang­kan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang se­hingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak dengas suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dangkol kalau tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang meuculik dua orang gadis orang! “Kalian ini e­nak saja menuduh orang yang bukan-bu­kan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?”
Mondengar ini, Gumo Cali terte­gun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di ba­wah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan miluman.
“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman on­ta!”
Wajah Sie Liong menjadi merah ka­rena hatinya dangkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
“Heii, kalian ini memang orang-o­rang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, a­pakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manuasia biasa dan ka­lau aku tidak terluka oleh senjata ka­lian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian men­jadi manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Li­ong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dang­kol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucap­an ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan wa­tak yang aneh-aneh pula. Timbullah harapannya bahwa mungkin orang muda ber­punuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteri­ak memberi isarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seo­rang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bah­wa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seo­rang pendekar, bukan siluman!”
“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biarpun kemarahannya mereda, na­mun hati Sie Liong masih mendangkol.
“Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga gi­rang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh se­mua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu meng­angkat bangun kepala dusun itu.
“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membi­kin kacau di dusun ini?”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik ga­dis?”
“Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong mera­sa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang mati?” tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana patutnya.
“Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam....” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.
Mendengar nama “Sian-jin”, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”
“Bukan, dia adalah dukun yang ka­mi undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik....” Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan da­lam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakai­annya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap....” Suami isteri itu tidak malu-malu menang­ngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun mereka.
“Harap paman dan bibi suka bersi­kap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa penja­hat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”
“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”
Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiap­an dan penjagaan. Bahkan beberapa o­rang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan teta­pi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya.”
“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manu­sia jahat yang sombong. Aku akan mela­kukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak “membersihkan” hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik. Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali me­mandang dengan penuh kagum dan dia ma­kin girang, makin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang ga­dis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penja­hat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehi­taman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nam­pak menghitam tanda bahwa di situ ter­dapat hutan yang lebat.
“Bukit di selatan itu, bukit apa­kah?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bu­kit di selatan....”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada....” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bu­kit Onta....”         
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat i­tu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap, bermalamlah saja di sini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati....”
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja,”
“Tunggulah, taihiap. Biar aku me­nyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pa­gi.”
Sie Liong merana tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama ma­kan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala du­sun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala du­sun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya pucat.
“Taihiap.... taihiap.... dia.... dia datang....”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia.... memberi tanda darah pa­da pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam....”
“Bagus dan tenanglah, paman. Pen­jahat itu memang sombong bukan main. Mari kautunjukkan kepadaku di mana ru­mah yang mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga Gulamar menyambut keda­tangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak-setujuannya.
“Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mu­dah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”
Sie Liong menggeleng kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala du­sun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku....”
“Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup me­nalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk meng­hadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”
Sie Liong lalu mengadakan perun­dingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang dekat de­ngan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”
 Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap agar penduduk suka membantunya. Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh sema­ngat. Mereka tadi sudah melihat sendi­ri kelihaian Pendekar Bongkok yang ke­bal dan dapat “terbang” ke atas gen­teng.

***

Malam yang menyeramkan. Sejak ma­tahari tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari rumah mereka, apalagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman me­rah akan muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh menakutkan. Pa­dahal, malam itu juga malam yang bia­sa saja seperti pada malam-malam yang lain. Kalau pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut­pun timbul dan kalau orang sudah keta­kutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan se­tan karena dia pernah mendencar ten­tang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang didengarnya dari orang lain, dan pikiran itulah yang me­ngada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia tidak pernah mendengar tentang setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut. Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana­pun juga, karena pikirannya tidak per­nah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, memba­yangkan dan diapun menjadi takut.
Pikiran merupakan sebuah gudang dimana kita menyimpan hal-hal yang kita ketahui melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, melalui bacaan, penuturan dan sebagainya. Tentu saja kita tidak mungkin dapat menemukan sesuatu yang berada di luar gudang, yang kita temukan hanyalah barang-barang timbunan dalam gudang itu.
Pikiran hanya merupakan alat pelengkap hidup, bagaikan amat perekam. Kita hanya mampu memutar kembali sagala yang pernah kita rekam melalui alat itu, tidak mungkin kita dapat menemukan hal-hal yang tidak pernah direkam. Oleh karena itu, betapapun cerdik pandainya pikiran, betapapun lincah dan liciknya, gerakannya hanyalah berputar-putar di dalam lingkaran gudang itu saja. Sia-sialah mengharapkan untuk menemukan sesuatu melalui pikiran, sesuatu yang baru, yang belum terekam, belum pernah tertimbun di dalam gudang ingatan
Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget. Mereka bertiga berdekapan di atas pem­baringan ketika malam semakin larut, tak mungkin dapat memejamkan mata, ma­kin lama semakin gelisah walaupun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah dan baliwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima yang siap untuk membantu Pen­dekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia ti­dak mau duduk atau rebah di atas tem­pat tidur gadis itu, dan karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya dapat mengetahui keadaan di luar kamar seka­lipun. Dalam persiapannya menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya se­orang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan teta­pi, melihat sebuah payung di dalam ka­mar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanyalah suara jengkerik dan belalang dan serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ra­gam, halus dan amat merdu, bunyi kehi­dupan malam yang penuh rahasia karena gelap. Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat dihin­darkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menghampiri sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya pan­jang melengkung itu, lalu menanti, me­nempelkan tubuhnya di sudut dinding, matanya menatap ke arah jendela, pin­tu, dan langit-langit berganti-ganti karena dia tahu bahwa dari tiga jurus­an itulah si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penja­hat yang berada di atas rumah itu. Ti­dak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia ha­rus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak ken­cang karena tegang.
“Krekk....!” Terdengar sedikit suara dan daun jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehing­ga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan diapun waspada. O­rang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pa­kaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya ta­ngan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong memben­tak.
“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!” Sambil membentak demi­kian, Sie Liong sudah menerjang maju dan tangan kirinya mencengkeram ke a­rah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka ka­rena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan biarpun pada saat i­tu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun sudah mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman i­tu cepat sekali, sukar untuk dihindar­kan lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan sekali. Melihat le­ngannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekali­gus dihantamkan ke atas untuk menang­kis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang.
“Dukk!” Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!” Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka diapun cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis ta­ngan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh....!” Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar ka­mar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?” Sie Liong membentak dan sengaja dia mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang menge­pung rumah itu sambil bersembunyi. Te­riakannya ini nyaring sekali dan mak­sudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyala­kan obor dan mengangkat obor itu ting­gi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata mereka. Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka diapun ce­pat mengejar sambil memegang payung­nya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayang­an merah itu yang tahu bahwa ia dike­jar, lalu membalik dan pedangnya suaah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang ma­ta di balik topeng itu berkilat seper­ti mentertawakan karena jangankan ha­nya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka diapun sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
“Trangg!” Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan se­ruang kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya pa­nas.

No comments:

Post a Comment