Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 12

“Tentu saja kami semua mendangar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?” kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dangan wajah merah saking marahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!” kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.
“Bohong!” Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dangan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya....”
“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kautipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia....”
“Diam....!” Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina membela anaknya. “Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!”
“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian....”
“Sudah! Siapa percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!” Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang men­jadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.
“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dangan kepala Sie Liong.
“Ahh....!” Suami wanita dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah men­jadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka memandang kepada suami itu dangan sinar ma­ta mencorong. “Hemm, engkau memang o­rang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
“Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!” Dan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itupun terkejut dan dia menjadi ketakutan. “Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?” tanyanya kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar. “Plakkk!” pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau me­ngatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat dari jauh betapa kami saling be­rangkulan? Ohhhh, memang kalian ini o­rang-orang bodoh! Dangar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang ma­ka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejar­ku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor dan hina! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon. Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong. Siapa saja akan kumintai to­long dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan mereka mem­buntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gi­la, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang dipa­tahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!” Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk di­kuburkan. “Nah, makanlah ini!” Wanita itu lalu melemparkan buntalan itu ke a­rah suaminya, setelah membuka ikatan­nya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik nge­ri juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat ke­ji itu, tanpa ada orang yang dapat me­nolongnya. Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamat­kan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu? Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan isterinya tak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seporti itu!
“Kui Hwa, tunggulah....!” Dia barteriak berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dangan harapan agar isterinya suka memaafkannya. Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-ja­ri kaki itu dan menguburnya dengan ha­ti penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bu­lan lalu mengganas di sekitar daerah i­tu, kini telah bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh me­reka yang amat jahat itu. Dan semua i­ni berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang takkan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga na­ma julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri mening­galkan ladang dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya. Dia memang sudah memaklumi banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya se­perti apa adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan teta­pi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya terasa seperti ditusuk. Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan ge­rombolan jahat yang berarti juga meng­hindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pa­mrih, tidak minta imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh menya­kitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk dan membuat dia condong nampak sebagai orang yang jahat!
“Biarlah,” dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apapun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengeta­hui, Tuhan melihat dan Tuhan yang tak­kan dapat ditipu oleh kebongkokan tu­buhku!” Pikiran ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya menjadi di­ngin dan lunak kembali.
Si-aku adalah hasil dari akal pikiran dan rasa perasaan bahwa “aku a­da”, bahwa di dalam jasmani ini yang meliputi juga akal pikiran dan perasa­an, terdapat “sesuatu” yang membuat jasmani ini hidup. Namun, karena rasa diri ada ini dinyatakan melalui perasaan hati dan akal pikiran, maka rasa diri ini terbungkus oleh nafsu. Perasaan hati dan akal pikiran tidak pernah da­pat terpisah dari pengaruh daya-daya rendah, yaitu keduniawian yang timbul dari kebendaan yang kita butuhkan dalam kehidupan, makanan dan hubungan antar manusia. Daya-daya rendah inilah yang menyerap ke dalam perasaan hati dan akal pikiran sehingga perasaan di­ri ada atau si-aku inipun mengandung nafsu-nafsu. Oleh karena itu, sesuai dangan sifatnya, nafsu yang sudah memperhamba si-aku tadi, membuat si-aku selalu ingin enak sendiri, ingin me­nang sendiri, ingin bahagia sendiri, ingin benar sendiri. Pendeknya, segala sesuatu di dunia ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, oleh si-aku yang penuh nafsu diharapkan untuk kepentingan dirinya.
Betapapun pandainya manusia berusaha, dengan segala reka usaha dan ikhtiar untuk melepaskan cengkeraman daya-daya rendah yang membentuk nafsu, nanun jarang sekali ada yang berhasil. Sebagian besar menemui kegagalan dan mendapatkan bahwa semua usaha itu akhirnya hanya membawa dirinya ke dalam alam kekosongan belaka. Hal ini adalah karena usaha dan ikhtiar itupun merupakan pekerjaan akal pikiran belaka, dan karenanya diboncengi pula oleh daya-daya rendah itu! Jadi, tidak mungkin da­ya-daya rendah melanyapkan dirinya sendiri, tidak mungkin mengesampingkan pikiran dangan berpikir! Kiranya, satu-satuaya jalan bagi kita hanyalah penyerahan kepada Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa. Tuhan pencipta segala yang ada dan tidak ada, yang nampak dan ti­dak nampak. Karena kekuasaan Tuhan meliputi di dalam dan di luar diri kita, maka kiranya hanya kekuasaan Tuhan sa­jalah yang akan mampu menolong kita, yang akan mampu mengatur agar pengaruh nafsu daya rendah tidak lagi mencengkeram hati dan akal pikir sehingga saga­la sepak terjang kita dalam hidup, ti­dak lagi dikemudikan oleh nafsu daya rendah, melainkan dikemudikan atau dibimbing oleh kekuasaan Tuhan!
Setelah Sie Liong dangan penuh kepasrahan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menerima segala keadaan dan segala peristiwa sebagai hal-hal yang sudah dikehendaki Tuhan, maka sedikit banyak diapun dapat mengatasi segala penderitaan yang mungkin timbul karena keadaannya atau karena peristiwa itu sendiri. Orang yang sudah pasrah kepada Tuhan dangan sepenuh hatinya, dangan keikhlasan dan kerelaan, penuh pasrah, sudah pasti takkan merasa penasaran, tidak akan merasa kecewa dan selalu di dalam hatinya terkandung rasa sukur dan terima kasih kepada kekuasaan Tuhan. Makin dihayati kepasrahan ini, semakin membuka matanya betapa kekuasaan Tuhan amatlah hebatnya, tak terukur dan menyusur ke dalam segala benda, bergerak tiada hentinya, nampak kadang-kadang kacau namun sebenarnya mengan­dung ketertiban yang mujijat, tak per­nah keliru, dan mengandung keadilan yang setepat-tepatnya walaupun kadang-kadang berada di luar pengetahuan akal pikiran manusia.
Tentu akan timbul bantahan. Ape­kah kalau begitu, hidup ini hanya diisi dengan kepasrahan belaka kepada kekuaaaan Tuhan? Bukankah kalau begitu maka hidup akan menjadi kosong dan mandeg, tidak ada semangat lagi untuk mencapai apa jang dinamakan kemajuan? Sa­lah pengetian ini harus diperbincang­kan karena memang mengandung bahaya! Arti panrah bukan berarti kita lalu membonceng kekuasaan Tuhan begitu saja lalu kita tertidur dan masa bodoh! Sama sekali tidak! Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk bergerak, beranggauta badan lengkap, berakal pikir, maka semua itu harus kita pergunakan. Hal itu merupakan suatu kewajiban! Kita tidak benar sama sekali kalau mempersekutu kekuasaan Tuhan. Biar kekuasaan Tuhan bekerja dan kita enak-enakan, bermalas-malasan. Ini merupakan akal-akalan dari si-akal pikir yang dikuasai nafsu rendah! Kita bekerja, kita berusaha, kita berikhtiar dalam segala bidang. Namun, harus selalu kita ingat bahwa apapun jadinya, apapun hasilnya, apapun akibatnya dari setiap usaha ki­ta, berada di tangan Tuhan! Tubanlah yang menentukan pada akhirnya dan kalau kita menerima dangan pasrah, dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan tak akan pernah keliru mengatur, maka hasil atau akibat apapun yang kita terima, akan kita terima dangan hati terbuka, penuh kepasrahan pula, penuh rasa su­kur!
Kebahagiaan tak mungkin dicari, tak mungkin dikejar dangan usaha akal pikiran! Akal pikiran yang digerakkan nafsu selalu hanya membutuhkan KESENANGAN, dan kesenangan sama sekali bu­kanlah kebahagiaan, karena kesenangan itu pendek sekali umurnya. Kesenangan segera digilir dangan kesusahan, kepuasan diikuti kekecewaan. Kebahagiaan hanyalah suatu keadaan di mana perasa­an hati dan akal pikiran tidak lagi menguasai jiwa, kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang sudah bersatu dangan Tu­han, seperti setetes air yang sudah kembali ke samudera! Tidak butuh apa-apa lagi karena segalanya sudah terca­kup di dalamnya! Dan semua ini hanya­lah kekuasaan Tuhan yang mampu menga­turnya, dan kita, dengan segala per­lengkapan kita, termasuk nafsu-nafsu daya rendah, hanya mampu MENYEBAR dengan PASRAH. Titik.
Sie Liong melanjutkan perjalanannya dan kini dia sudah melupakan sama sekali peristiwa yang menimpa dirinya di ladang itu. Memang sebaiknya kalau pikiran ini kita pergunakan untuk bekerja, berarti untuk memikirkan apa yang kita kerjakan sekarang dan setiap saat, bukan dipergunakan untuk mengenang hal-hal yang sudah lalu! Dia akan pergi. ke Tibet, dan kini dia sudah menuruni bukit terakhir dari deretan pegunungan Kun-lun-san yang panjang itu.
Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia meli­hat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah ti­ba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di sela­tan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan ge­lap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman da­ripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mere­ka bercocok tanam dan berburu, ada pu­la yang mengusahakan peternakan kam­bing. Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa pengha­silan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan berlebihan. Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para peda­gang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa du­sun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Berun­tung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikah­an puteranya! Dan tentu saja dia me­ngundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidak­nya, ikut bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksi­kan pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pe­ngambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan pe­nari dan penabuh gamelan. Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat o­rang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah pe­nginapan dan diapun dengan gembira ki­ni berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berja­lan‑jalan menuju ke barat dan tak la­ma kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-ker­tas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat ke­adaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita. Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakai­annya lusuh, apalagi punggunguya bongkok. Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seo­rang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya mem­bayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata pada ke­dua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk da­pat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormat­an mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian in­dah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengan­tin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kur­si, terdangar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terke­jut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya, “Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu ber­henti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!” Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdangar teriakan dari luar. “Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruang­an depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita meman­dang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi....!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru, “Kiong-koko....!”
Dan iapun menangis, masih berdirt karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong? Mau apa engkau? Berani engkau datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh penasaran sekali....!” Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mere­ka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Pergi dan jangan da­tang lagi!” bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian m­emukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya. “Kiong-koko....!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan dise­ret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, “Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!” Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi perge­langan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan ti­dak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga seben­tar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang le­bih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begi­tu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba caritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan te­naganya bekerja di sawah ladang tunang­annya. Pernikahan antara mereka ting­gal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, be­lum setahun dia diangkat menjadi kepa­la dusun dan bertugas di sini. Jelas­lah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepa­la dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah meneri­ma nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi un­tuk membuktikan cinta kasihku kepada­nya!”
Sie Liong tersenyum. “Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan ca­ra membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tu­nanganmu itu akan merasa gembira? Apa­kah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. “Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumah­mu. Engkau bersiap-siaplah, besok si­ang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang ber­tanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.”
Karena dia sendiri sudah tak ber­daya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia sege­ra menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. “Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum sa­ya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada o­rang-tuaku.”
Sie Liong menggelong kepala. “Na­maku tidak ada artinya, sobat. Kuberi­tahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehing­ga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah di­paksa untuk menerina rombongan pengan­tin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita se­lalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya me­nunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bu­kan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?” Kini semua orang su­dah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini ten­tu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan i­tu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menja­di isteri putera kepala dusun!”
“Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan se­cara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan ka­takan kepada kepala dusun bahwa perni­kahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!” Tujuh orang penga­wal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah da­lam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaik­nya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita rundingkan bersama dengan o­rang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang a­jar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor ke­pada ayah!” Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehe­batan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya a­kan mendatangkan malapetaka kepada ke­luarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga mendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani mem­bantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda boug­kok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-ti­ba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!” Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja pe­ristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk du­sun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sen­diri diam-diam merasa girang dan tim­bul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohongi­nya dan telah mencegah terjadinya pem­boyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong berta­nya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut....”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apa­kah kenalahan Un Kiong maka pertunang­an itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-ta­hun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya i­tu tidak mempunyai kesalahan apapun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka me­mandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kaulakukan hal itu? Kalau puteri­mu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kautolak saja lamaran kepa­la dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon sua­mi.”
“Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan....”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai ba­rang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkan­nya? Ia bukan benda, bukan pula bina­tang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, a­kan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hi­dup barkecukupan....”
“Itukah ukuran bahagia? Berbaha­giakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh ti­dak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, se­dangkan kedua orang muda itu sudah sa­ling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali....” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang pen­ting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia me­lihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pun­dak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti per­nah bertemu dengan mereka.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah meman­dang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kele­mahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak te­pat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apa­nya yang tidak tepat? Dangar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia meraya­kan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pan­dang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengan­tin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pi­nangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi di­lanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan min­ta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemm, tidak percuma kalau saha­bat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, ma­ka mari ikut dengan kami menghadap ke­pala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami kero­yok saja dia!” teriak si kumis melin­tang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itu­pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi ha­ti, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyele­weng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu....”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serang­an!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pen­dekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang “berisi”, bukan sekedar tu­kang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya me­nyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hen­dak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
“Dukkk!” Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya se­perti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangan­nya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan te­nang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.
“Hyaattttt....!” Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya me­ngandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbela­lak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan ha­wa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah li­hainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru ge­rakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada ca­kar seekor harimau! Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memain­kan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyam­bar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu melon­cat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bong­kok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar a­mat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku ti­dak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!”
Dua orang itu terbelalak. “Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan teta­pi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tem­pat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh....!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. “Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!”
Sie Liong tersenyum dan mengge­leng kepalanya. “Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku....”
“Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....” Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mere­ka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pe­ngantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangan­nya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....”
“Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu di sini,” kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, me­reka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudi­an datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu me­lanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak ke­duanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pi­nangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....”
“Brakkk!” kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaan­nya memaksakan kehendaknya kepada rak­yat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami.... jung-cu....!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakut­an.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tu­nangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong....”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.” Dan seka­li berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Ki­ong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana­pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang. “Un Kiong, mulai saat i­ni, engkau kuanggap sebagai anak ang­katku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?”
Un Kiong menjatuhkan diri berlu­tut di depan “ayah angkatnya” dan ha­nya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya, pesta per­nikahan tetap dirayakan di rumah kepa­la dusun, hanya saja, yang menikah bu­kanlah putera kandungnya, melainkan “putera angkatnya”. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan o­rang.
Ketika sepasang mempelai diperte­mukan, Sie Liong dan dua orang pende­kar Kun-lun-pai mendapat kursi kehor­matan. Dan dua orang mempelai itu tan­pa diperintah, langsung saja mengham­piri Sie Liong dan keduanya menjatuh­kan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!” katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap da­ri tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya mengun­tungkan dua orang muda yang sudah sa­ling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka se­kali dalam hati para penduduk dusun i­tu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan dita­ati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagia­nya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di ang­kasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelap­kannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa ber­bahagia karena perbuatannya telah ber­hasil membahagiakan orang lain!
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatang­an banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang me­reka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat mereda­kan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani ke­luar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan pe­rondaan, dan pekerjaan inipun dilaku­kan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bang­kit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika me­reka berusaha untuk menangkap “silu­man” itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat bia­sa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang ro­boh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah da­rah! Dan malamnya, biarpun sudah dija­ga ketat, tetap saja siluman itu da­tang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian men­culik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah diroboh­kannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manu­sia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Ma­ka, siluman itupun terkenal dengan se­butan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah da­un pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti se­mua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu bukan ha­nya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua o­rang gadis, dan memang Gumo Cali memi­liki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!

No comments:

Post a Comment