Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 10

Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika me­reka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama sa­tu jam itu ia berlari cepat sambil me­nahan getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh ke­ringat. Diambilnya saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mongusap keri­ngatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tam­balan namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi­nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis i­ni? Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tu­juh tahun, hampir tak pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hati­ku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suhenguya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gu­runya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali. Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makan­an untuk mereka. Kalau pulang, suheng­nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang me­ngajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu ongkau hendak ke mana?”
“Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke manapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah eng­kau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu eng­kau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepa­sang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoinya.
“Ah, sumoi, sungguh engkau berbu­di mulia sekali! Terima kasih atas ke­baikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan su­hengnya dan tertawa. “Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah se­pantasnya kalau kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sam­pingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan. An­daikata ia melakukan perjalanan seo­rang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang menjadi jerih untuk meng­ganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada gangguan, Bi Sian sama se­kali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
"Bi Sian....!"
"Ibuuu....!" Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung. Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
"Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?"
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. "Ayahmu tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kautemui dulu pamanmu...."
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, "Paman Liong....!"
Sie Liong juga tersenyum. "Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!"
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
"Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm...." Gadis itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
"Dan.... bongkok!" sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.
"Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!"
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
"Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!" Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
"Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong."
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
"Ibu, mana ayah?"
"Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...." Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga, bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.
"Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu."
Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
"Saudara Bong, silakan masuk," katanya dan Bong Gan menganguk.
"Terima kasih, terima kasih....!" Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat duduk menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu. "Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?"
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
"Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....."
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!"
"Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?"
"Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu," kata Bong Gan dengan sikap gagah.
"Sudahlah Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut," kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya. Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia sudah berduka sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun. "Engkau baru pulang, Bi Sian. Tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan."
Bi Sian masih merasa penasaran, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. "Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulupun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja."
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. "Bi Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?"
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. "Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?"
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
"Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!"
"Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal suhu?"
Sie Liong tersenyum lagi. "Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun."
"Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?" tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
"Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman guruku juga."
Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut mendengar ini. "Apa?" gadis itu berseru. "Suhuku masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?"
Sie Liong mengangguk. "Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup."
"Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!"
"Wah, mana aku berani? Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!" kata Sie Liong dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok? Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
"Aih, kalian jangan main-main!" kata Sie Lan Hong. "Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?"
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah. "Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!"
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
"Ayahhhhh....!" Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.
"Bi Sian.... kau.... kau Bi Sian....?"
"Ayah....!" Bi Sian lari menghampiri. "Kau kenapakah, ayah?"
Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
"Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...." Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...."
"Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!" Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, "Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kaupukul bongkoknya, biar mampus....!"
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
"Paman Liong," akhirnya Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. "Engkau.... engkau benar telah mengalahkan ayah....?"
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata, "Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!" Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. "Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian."
"Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...."
"Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!"
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
"Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah den ibumu!"
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan. "Baiklah, suheng. Maafkan kami."
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang seaungguhnya, paman!" Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. "Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu."
"Ah, mana mungkin itu?"
"Aku sendiripun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian."
"Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku...." Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
"Ah, tidak....!" Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok? "Yang tahu dirilah kau!" demikian dia memaki diri sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
***
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan! Sebetulnya, tidak aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dla melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi! Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar. Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya. Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan. Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur. Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur!
"Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran! Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
"Anda salah lihat!"
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Akan tetapi, rasa takutnya akan menerima pembalasan dari Sie Liong membuat sifat jahatnya timbul dan dia bahkan telah membikin cacat adik isterinya itu. Setelah Sie Liong melarikan diri, dan juga puterinya dibawa orang sakti sebagai murid, dalam keadaan kesepian ini, nafsu-nafsu rendah yang tadinya mulai dapat dikekang, bermunculan kembali dan menguasai jiwa raga Sun Kok! Maka diapun kembali ke jalan lama membiarkan nafsunya meraja lela dan setiap hari hanya mengejar kesenangan belaka. Bahkan muncul pula watak kejamnya sehingga dia tidak segan memukuli isterinya yang dulu pernah amat disayangnya itu kalau isterinya dianggap menghalangi kesenangannya!
Segala macam nafsu tidak terpisahkan dari manusia. Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di dunia ini. Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia, kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan tidak berdaya. Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
Kalau keadaan kita manusia ini dapat diumpamakan sebuah kereta, lengkap dengan roda, kerangka, lampu, dan segala perlengkapan sebuah kereta, maka nafsu-nafsu adalah ibarat kuda-kuda yang menarik kereta ini! Jiwa kita seharusnya menjadi Sang Kusir, yang mengendalikan nafsu-nafsu atau kuda-kuda itu agar kereta dapat berjalan dengan baik. Tanpa adanya kuda-kuda itu, kereta tidak akan dapat berjalan atau bergerak maju. Akan tetapi kalau Sang Kusir tidak mampu menguasai kuda-kuda itu, dan sebaliknya kuda-kuda itu yang menguasai kereta, maka tentu kuda-kuda itu menjadi liar dan akan kabur, mungkin saja membawa seluruh kereta berikut Sang Kusir terjun ke dalam jurang! Demikian pula dengan nafsu. Kalau jiwa tidak tertutup kotoran, kalau jiwa tetap dekat dengan Tuhan, penuh penyerahan diri, penuh ketawakalan dan penuh keikhlasan membiarkan diri dibimbing kekuasaan Tuhan, maka jiwa akan selalu dapat menguasai nafsu-nafsu. Bukan berarti nafsu harus dimatikan, seperti kuda yang dibutuhkan untuk menarik kereta. Nafsu juga perlu untuk membuat kita hidup. Kita makan karena ada nafsu, kita berpakaian karena ada nafsu, kita melihat, mendengar dan mempergunakan panca indera dan dapat menikmati hidup karena ada nafsu. Nafsu bagaikan api. Kalau dikuasai, dapat amat bermanfaat bagi hidup, akan tetapi sebaliknya kalau menguasai kita, dapat membakar segala-galanya! Nafsu adalah seorang hamba yang amat baik, akan tetapi seorang majikan yang amat jahat!
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras. Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
"Sie Liong....!" teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri. Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya! Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
"Siapa itu?" terdengar bentakan suara wanira dari balik jendela. Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
"Paman Liong....?" Dia memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah. Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
"A.... ayahhhhh....!" Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar. "Bi Sian, apa yang terjadi....?" tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
"Ibu....! Ayah tewas terbunuh orang....!" Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendexati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu. Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
"Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?" Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Biarpun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
"Paman Liong, apakah engkau tidak mendengar sesuatu?" tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
"Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?"
"Paman Liong, mari kaulihat sendiri!" katanya sambil menarik lengan pamannya itu. Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, juga sikap pamannya tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya kalau melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis encinya dan melihat cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada, dia terkejut bukan main.
"Enci Hong, apa.... apa yang telah terjadi? Siapa membunuh cihu?" Dia berlutut dan memeriksa. Tak salah lagi. Cihunya telah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
"Liong-te.... bagaimanapun juga.... bagaimanapun jahatnya.... aku.... aku mencintanya....!" Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Sejak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, mengapa ia masih meragukan kenyataan itu? Ia melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
"Engkau pembunuh ayahku!" Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong, tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan kini digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. "Apa....? Apa maksudmu, Bi Sian?" Dia bangkit berdiri.
"Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!"
"Ehh? Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku membunuh suamimu?"
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikitpun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
"Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimanapun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku.... aku cinta padanya...."
Mendengar ratap tangis encinya ini, Sie Liong terbelalak dan merasa bagaikan disambar geledek di hari terang! Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang dan ia mengeluarkan topeng hitam itu, melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya. Melihat bahwa yang dilemparkan itu sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga kali totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadarinya, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindar diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan encinya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
"Kalian salah sangka....!" katanya dan ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga sehingga angin tendangan itu menyambar keras. Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
"Pembunuh, hendak lari ke mana kau?" Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah tidak nampak bayangannya. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
"Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu," kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
"Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!"
"Hem, bagaimanapun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu."
"Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?"
"Bi Sian....!" Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
"Maafkan, ibu. Maafkan aku.... ah, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu." Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walaupun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan dan mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, tiba-tiba daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
"Mau apa.... kau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita.... hu-huh.... sejak dulu, aku yang menderita....!"
"Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu....!"
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. "Sudahlah, Liong-te. Akupun tidak menyalahkanmu. Dulu akupun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...."
"Enci.... apa.... apa maksudmu?" Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
"Engkau tentu telah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, kuceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, dan dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita."
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong yang selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin encinya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
"Tapi.... tapi mengapa, enci?"
"Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok. Isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalan ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita."
"Tapi.... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya....?"
"Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku menjadi isterinya dan engkau tidak dibunuhnya. Dan ternyata dia amat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku.... aku.... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...." Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi. Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada encinya.
"Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci."
"Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...."
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak dan tangannya memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
"Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?" bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur. Namun, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
"Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!" kata Sie Liong sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri,
"Jahanam, jangan lari!" Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
"Jangan, anakku. Jangan kejar dia....! Biarkan dia pergi....!" tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. "Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu...." Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan. Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana ia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya? Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
"Sumoi! Apa yang terjadi! Siapa yang meninggal dunia....?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
"Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...."
"Ahh....!" Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. "Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar....!"
"Malam tadi.... dia meninggal...." Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat Ini, Bong Gan lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.
"Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Sakit apakah?"
"Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu."
Bong Gan mengikuti sumoinya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suhengnya duduk. "Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....."
"Hah....??" Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. "Dibunuh orang? Bagaimana.... siapa....?"
"Pembunuhnya adalah.... pamanku, adik ibu sendiri...."
"Ahh! Pemuda berpunggung.... bongkok bernama Sie Liong itu....?"
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. "Benar, dialah yang membunuh ayahku."
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!" Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
"Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan."
"Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!"
"Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!"
"Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?"
"Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!"
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walaupun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!
"Kau.... aku tidak berpamit kepada ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. "Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku tidak menemuinya sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!" Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh pingsan. Tidak kuat ia menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam! Maka iapun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahatnya!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya, dan setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini terjadi habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh dengan penyesalan kalau sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.
***
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli dan kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya dapat menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan. Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya kecil, pinggulnya besar, langkahnya seperti seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan leher nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihatnya, memandang dengan melotot. Bahkan ada yang matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar, ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok. Pendeknya, jarang ada pria yang melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, tersenyum menyeringai, ada pula yang berdehem, ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan ypng mengasikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Maka ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut namun tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan, kiranya tidak mungkin karena melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta? Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau ia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik ia dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi, seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu takkan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.

No comments:

Post a Comment