Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 23

“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksdd buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau ku­lihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”
“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dnegan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal! Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!” Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang te­lah menderita aib.
“Suci.... ah, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka....” Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi sa­king marahnya. “Sute! Engkau masih be­rani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaun seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”
Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis! “Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku menda­tangkan aib bagimu. Akulah yang membi­kin celaka sehingga kini suci mengha­dapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku me­rasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar a­ku tidak lagi melihat penderitaanmu.”
“Sute, cukup....!” Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.
“Suci, bagaimana mungkin aku da­pat hidup kalau melihat engkau sengsa­ra karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!” Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendi­ri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan ta­ngan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
“Suci, kalau engkau tidak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya. Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya. Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya.
“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”
Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
“Jangan main-main, enci!” kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”
Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama! “Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”
Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl muka­nya. “Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Tu­han. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mung­kin lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu....”
“Suci! Terima kasih....!” Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
“Hemm, sudah sewajarnya kalau ki­ta menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita su­dah berhasil membunuh Pendekar Bong­kok, baru kita malangsungkan pernikah­an. Akan tetapi sebelum itum engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”
“Baik.... baik....” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”
Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar perso­alan itu tidak diperpanjang, iapun me­ngangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”
Biarpun wajahnya berubah kemerah­an, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.
“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”
Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Ma­ranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, namun totap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahan­nya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so. Mereka menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Si­an perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai malapetaka. Ia dapat menerima ke­nyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana si­asat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!

***

Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi le­mah dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya.
“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia banya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menJaga di luar pintu kamar itu. Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.
“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai uruman dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biar­kan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar ta­hanan itu.
“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otoma­tis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan da­lam keadaan tidak bertenaga itu, dia­pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, a­ku bukan hanya mendorong melainkan me­mukulmu!”
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan.
Sambil duduk bersila, pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Li­ong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang yang bersembahyang. Keti­ka mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat Kim-sim-pang berada di be­lakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali mane­rima dua orang tamunya, apalagi keti­ka mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu meng­gabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.
“Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerut­kan alisnya. “Maaf, lo-suhu. Kami ber­dua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama un­tuk menghadapi musuh besar mereka, ya­itu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan membantu perjuangan kita.”
Kim Sim Lama tertawa girang. “Ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?”
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan ter­senyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bong­kok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahan­an.”
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!
“Nanti dulu, aku masih belum per­caya benar bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada o­rang-orang yang baru dikenalnya.
“Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
“Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan Bi Blan memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan la­in adalah Sie Liong!
“Tidak mungkin....” Bi Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu.... begi­tu.... jinak?”
“Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang lemah, ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut daa benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan cela­ka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehi­langan tenaga, dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan mela­lui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke a­rah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat, go­lok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
“Crokkkk!” Lengan kiri yang me­nangkis itu, lengan yang tidak mengan­dung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai. Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, ha­nya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!
Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.
“Tranggg....!” golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri le­ngannya dan terkejut sekali.
“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!” tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian meman­dang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa o­leh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat be­tapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasa­an iba kepada pamannya itu, dan kema­rahan kepada Bong Gan yang secara cu­rang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung, kemudian terde­ngar dia memanggil seorang penjaga dap menyuruhnya memanggil Camundi Lama de­ngan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lan­cang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama menyeringai. “Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa renca­na kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai seka­rang kami menahannya dan sedang menca­ri kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. “Untung bahwa dia bermak­sud membantu gerakan kita, kalau ti­dak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”
Penjaga yang diutus tadi sudah datang bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lem­but. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia cepat-cepat mati.” Pendeta tua itu mengangguk tan­pa menjawab, lalu menghampiri Sie Li­ong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik na­pas panjang.
“Dia kehilangan cukup banyak da­rah, dan detik jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas da­rah dibersihkan.”
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggal­kan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.” Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percik­an darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama meninggalkan ka­mar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian untuk kembali ke kamar mereka. Thai-yang Suhu juga kem­bali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian. Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, a­kan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendi­riannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pen­dekar Bongkok.
“Adik Bong Gan, yang sudah terja­di tadi sudahlah. Akan tetapi lain ka­li harap engkau suka bertanya-tanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apalagi karena sejak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” dia bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang penu­da yang sejak masih remaja pernah men­jadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biarpun kalian berdua juga amat lihai, namun aku per­nah mencoba kalian dan menurut pendapatku, kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan ka­lah.”
“Ah, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh, Sian-moi, kenapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”
Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”
“Sian-moi, engkau tidak adil....”
“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimanapun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”
“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayah­nya, melainkan semua kebaikan dan si­kap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
“Kim Sim Lama membutuhkan Pende­kar Bongkok hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lasha, bukan di sini, sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kema­tiannya, bukan Kim Sim Lama.”
“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi setelah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk membu­nuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguh­nya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga membantu perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau begitu, Kim-sim-pang ada­lah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai Lama tentu begitu, a­kan tetapi bagi kami, kami sedang me­ngadakan gerakan perjuangan untuk me­nentang kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan mangapa pu­la Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbu­nuh di Lasha oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Mgo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas saja mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pa­mannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditim­pa malapetaka. Sedangkan ia? Ia diban­tu Bong Gan hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu. “Aih, paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lasha itu?” tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat tidak se­dap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menja­di isteri Bong Gan karena dirinya te­lah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan i­tu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia mera­sa heran mengapa ia pernah begitu mem­benci pamannya dan ingin sekali membu­nuhnya!
“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terha­dap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak be­rani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan dilanjut­kan pertengkaran yang tidak ada gunanya itu.”
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya stau ca­lon isterinya itu terhadap dirinya se­telah terjadi peristiwa pembacokan ta­di. Bi Sian bersikap dingin, dan ja­rang sekali memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isteri­nya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga. Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu meme­gang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring manghadap ke dinding mem­belakangi dia yang duduk di atas lan­tai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi....” panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi....” kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh ping­gul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Stan melirik. “Hem, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa benar cintaku kepadamu....”
“Sudahlah, jangan bicarakan urus­an itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh me­nyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon per­kenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku....” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru a­ku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluar­kan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesal­an hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang su­dah jelas akan menjadi isterinya! Bu­kan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenan­kan. Sambil menarik napas panjang dia­pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.
“Daripada tersiksa tidur di lan­tai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari lu­ar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbul­kan kecurigaan hatinya. Juga ia khawa­tir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ke­tika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berda­ya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-ha­ti sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berma­cam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa ha­rus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia menjaai isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan mata­nya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipi­nya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!” Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu. Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terang­sang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuan­nya.
Bagaimana juga, ia sudah mengam­bil keputusan untuj tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemu­da itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat di­jadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini, setelah ia memperoleh alasan ku­at untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
 “Omitohud.... Orang muda yang malang....” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah seorang pendeta yang usianya kurang lebih enam pu­luh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Ti­bet dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terha­dap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di situ adalah ka­rena dia memang diculik dan dipaksa o­leh Kim Sim Lama untuk bekerja di si­tu. Karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya men­jadi tabib untuk mengobati orang sa­kit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu si­lat yang kabarnya setingkat dengan ke­pandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
“Kasihan, orang muda yang malang....” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingat­annya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Wa­laupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
“Ling Ling.... dimana Ling Ling....”
Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pan­dang mata itu sudah agak jernih, pikirnya. “Siapakah Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie Liong memandang kakek i­tu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. “Ah, Ling Ling....? Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi....”
Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.
“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-he­ran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot­-prabot perlengkapan badan saja.”
“Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan su­dah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak i­ni! Orang muda, engkau bukan hanya ke­hilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong menggeleng kepala sam­bil tersenyum, demikian wajar dan ti­dak dibuat-buat. Semua penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatang­kan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa sedih dan menyesal, los­hu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa baru kehilangan yang sedikit itu harus ber­duka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Tuhan manghendeki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau­pergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita seng­sara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kauminumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”
Dengan taat Sie Liong meminum o­bat itu, kemudian dia tetap duduk ber­sila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertu­gas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki ka­mar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia te­lah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertem­puran mengeroyok Sie Liong tempo hari. Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camun­di Lama cepat memberi hormat. Satu-sa­tunya orang yang dihormati Camundi La­ma hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melang­kah mondekati Sie Liong yang masih du­duk bersila, seolah-olah hendak meme­riksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh ta­bib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak monotok ke arah pundak ki­ri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa....?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lasha itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan. “Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”
Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarga­nya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati sega­la perintah bekas wakil Dalai Lama i­tu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun menaruh curiga.
Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang dimakamkan itu tentulah se­orang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun berani bertanya-tanya, bah­kan mendekatpun tidak berani. Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang di­dirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun ti­dak secara terang-terangan.
Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa ka­gum, iba dan suka sekali kepada pemu­da bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia he­nya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau su­dah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga ti­dak dapat berbuat sesuatu untuk mence­gah, karena dia tahu bahwa secara sem­bunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan. “Tabung ini untuk memasukkan hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim La­ma,” katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankon hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin? Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah ke­pada Tuhan! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Tuhan bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikoran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu sagera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Ca­mundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga per­gi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudi­an mereka kembali untuk memberi lapor­an kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkur keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan. “Dia sudah mati.... dia sudah mati....” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa....?” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuh­nya?” tanyanya dan suaranya agak geme­tar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,”Sian-moi? Kalau dia matipun, mengapa? Mengapa engkau keli­hatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi....!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengennya disam­bar oleh tangan Pek Lan dan sekali ta­rik, tubuh pemuda itu sudah berada da­lam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. A­da aku do sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. A­kan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepa­da gadis itu,
“Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan ru­mah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hu­bungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekareng, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku....”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?” Bi Sian menengok ke kiri dan ia berte­mu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menen­tang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak ta­hu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw te­lah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
“Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok....” Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang berten­tangan dengan suara hatinya! Ia sendl­ri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Li­ong walaupun suara hatinya membisikkan lain.

No comments:

Post a Comment