Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 15

Tentu saja hal ini amat mengejut­kan para pengeroyok. Kiranya, di anta­ra jarum hitam beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat! Tentu saja Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk memberi pengobatannya, bahkan iapun sama seka­li tidak memusingkan keadaan dua orang rekan ini karena hal itu bahkan membu­at ia menjadi semakin marah kepada Pendekar Bongkok dan kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya.
Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini berkurang dua. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika seorang di antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah ka­rena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkat­nya sambil mengerahkan tenaganya.
“Trakkk....!” Golok itu patah dan terlepas, dan sebuah tendangan ka­ki Pendekar Bongkok masih sempat die­lakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.
“Bukkk!” Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena ge­bukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai-yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah. Dan nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap mengancam! Melihat ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya, Thai-yang Suhu dan Pek Lan makin geli­sah.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata Thai-yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai-yang Suhu.
“Hemm, kalian hendak lari ke mana?” Pendekar Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi, tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku....”
Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah mem­benci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuat­an jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melaku­kan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorong­nya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batin­nya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat be­tapa seorang di antara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan i­jinkanlah aku membawa mayat mereka a­gar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang dicu­lik itu dan mengapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak di­ganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong. “Satu pertanyaan la­gi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. A­ku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka se­karang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. “Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mere­ka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali. “Aku tidak menuduhmu memiliki hubung­an, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega. “Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang mem­berontak karena hendak merampas kedu­dukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ah, di mana kini mereka itu?”
“Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima o­rang tokoh itulah yang sebenarnya men­jadi pelopor karena tanpa adanya mere­ka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-ang­guk. Pada saat itu, para penduduk du­sun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan a­diknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang da­ri luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!” kata seorang di antara mereka. Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, ki­ni wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membe­baskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu de­ngan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka me­nyerbu ke dalam rumah dan dipimpin o­leh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
“Ayah....!” teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang ga­dis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain. Ternyata para a­yah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mende­ngar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bah­kan diperlakukan dengan baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!” Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang meme­luk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini ti­dak ikut. Ia seorang gadis yang bertu­buh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederha­na, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tu­buhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, engkau kenapakah?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut. “Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penja­hat?” Lalu dia merasa curiga kalau-ka­lau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, a­pakah para penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata, “Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....”
“Kenapa, nona? Di mana rumahmu?” tanya Sie Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata, “Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?” Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?” tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi keterangan bahwa ga­dis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh ta­hun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut a­nak oleh keluarga di dusunnya. Dijadi­kan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap ba­ik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakan­lah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharap­kan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata, “Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!” Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pu­lang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita bicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju, ru­mah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan te­tapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian da­pat bersatu seperti ini, tidak akan a­da penjahat yang berani mengganggu kalian.” Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu agak men­jauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar. “Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, a­yah ibuku meninggal dunia karena penyakit.” Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Li­ong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak keme­rahan dan masih basah walaupun ia su­dah tidak menangis lagi. “Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan ha­ti mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini....” Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membu­atnya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan ajak tenang, dia berkata, “Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongau kalau aku mengetahui persoalannya.”
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan. “Taihiap, aku akan kelihat­an sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. A­kan tetapi, kepadamu aku harus berte­rus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku....”
Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan. “Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agak­nya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....”
“Hemmm....!” Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas i­tu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mere­ka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepa­da mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai be­berapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bah­kan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke si­ni, melihat betapa gerombolan itu ti­dak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga da­ri orang tua kandungmu sendiri?” Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis i­tu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mu­lai mekar ini. Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. A­kan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu a­kan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepala­nya. “Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu ke mana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, “Aku ingin turut denganmu, taihiap....”
“Ehhh?” Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. “Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kaujadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasak­kan makananmu, melayani keperluanmu....”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Ia­pun kini yang memandang bengong. Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya se­lalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah den berseri!
“Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Li­ong setelah dia menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyela­matkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas kupuja den kubalas budinya....”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut dengan­mu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali ka­lau engkaupun sebatangkara seperti a­ku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal, taihiap. Kasihanilah aku....”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengemba­ra, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, se­hingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam baha­ya kalau engkau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Aku­pun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia? “Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....”
“Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan awat nyaman untuk tidur....”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar....”
“Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas....”
“Ling Ling....” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal pa­ra iblis dan setan!”
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka i­tu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. “Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti a­nak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega. “Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng ke­palanya. “Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak be­nar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang ba­ik....”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan muka­nya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengan­dung rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gang­guanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat.... tinggal....” Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, me­noleh dan wajahnya nampak demikian pu­cat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya. “Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Akupun tidak tahu....” dan iapun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa ke­dua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu. “Ling Ling....” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja....” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menarik­nya bangun berdiri. “Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. “Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....”
Pada saat itu terdengar suara so­rak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perke­nankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran meli­hat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorang­pun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hen­dak mengantarkan gadis yang tidak di­jemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengap hati gembira karena gadis-gadis itu ternya­ta dalam keadaan selamat. Nama Pende­kar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,” demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.
Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berja­lan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah le­bar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula be­tapa pernapasan gadis itu mulai membu­ru. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demiki­an sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.
“Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun un­tuk itu aku harus berkorban nyawa....” tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, “.... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!”
Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.
“Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat engkau pantas menjadi adikku, se­but saja aku sebagai kakakmu.”
“Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling Ling gembira.
“Dan ke dua, sekarang engkau ha­rus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, “Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap me­reka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit.”
Ling Ling mengengguk, nampak hi­lang kagetnya. “Baiklah, Liong-ko.”
Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,
“Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah a­kan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membi­kin malu padaku!”
“Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!” bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah me­lempar kotoran ke rumah kami!”
Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
“Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik....”
“Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!” berka­ta demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong. Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memu­kul, memuntirnya dan mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan ro­boh terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke a­tas tanah dan ia mengaduh-aduh, menge­lus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.
“Berani kamu memukul orang....?” Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi ha­nya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi i­kut menyerbu ke bukit Onta, mengiring­kan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.
“Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!” teriak ayah angkat gadis itu yang men­jadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.
“Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
“Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-o­rang yang jahat!”
Mendengar ini, seketika pucat wa­jah Gumalung dan isterinya. “Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami....” kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bong­kok.
“Sudahlah!” kata Sie Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling. “Kalian memang suami isteri yang tidak berbu­di! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. A­kan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai ber­sikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan is­terinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga mem­benci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar ti­dak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terns terang, baru a­kan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kali­an!”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga mera­sa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berda­tangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan te­lunjuknya ke muka suaminya.
“Memang engkau yang celaka! Eng­kau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak me­maksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki ber­muka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!” Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suami­nya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka bersite­gang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke kanan kiri.
“Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau i­ri hati melihat ia cantik jelita, ti­dak macam engkau ini babi gemuk!”
“Apa kaubilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”
Kedua suami isteri itu saling do­rong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua sua­mi isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, un­tuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap, ampunkan saya....” Wanita itu merengek.
“Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling....” kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung, “Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini....”
“Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kali­an!”
“Eh....? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?” Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka me­mang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang me­ngerjakan semua pekerjaan rumah itu.
“Tapi, kau tidak bisa meninggal­kan kami begitu saja, Ling Ling!” kata pula nyonya gendut itu.
Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka, diapun lalu berkata dengan suara tegas. “Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian me­rasa berkeberatan?”
“Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya....”
“Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?” bentak isterinya. “Kalau kurang bersih, kaucuci sendiri pakaian­mu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena....”
“Karena apa?” Sie Liong mendesak.
Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata, “.... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya....”
Sie Liong menahan diri untuk ti­dak menampar muka wanita itu. “Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?”
“Sedikitnya seratus tail perak....”
Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang mun­cul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin pe­nyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali ce­pat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.
“Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!”
Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan u­ang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!
“Terima kasih!” katanya. “Tolong ambilkan seratus tail perak qan serah­kan kepadaku.”
Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.
“Lihat, inilah uang yang telah kaukeluarkan untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpal­an-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu beterbangan dan me­nancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu a­kan remuk dada mereka dan pecah kepa­la mereka!
“Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!” bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
“Terima kasih....” katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, ki­ut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya tera­sa tebal dan panas sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak ta­di mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan berta­ut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau me­mandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya dan tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin le­bar. “Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah....?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. “Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bu­kan main, akan tetapi ia tidak menge­luh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Tidak, tidak nyeri....”
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar....?” tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran, “Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum. “Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali. “Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau melurus­kan kakimu tadi, jelas nampak pada wa­jahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, su­dah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu. “Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu ti­dak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi di­ri sendiri saja, mengatakan tidak nye­ri sehingga rasa nyeri banyak berku­rang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak la­par agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?” Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seper­ti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang mere­ngek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk. “Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik. “Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling....”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kaumaksudkan ini? Engkau­lah satu-satunya orang yang paling ba­ik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, men­jadi sahabat dan juga guruku....”
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, me­maksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukan­kah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu le­lah, kakimu nyeri, perut lapar dan mu­lut haus? Aku telah bersikap kejam se­kali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak mengang­gapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal ki­ta. Lantai kita bertilamkan rumput lu­nak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun i­kut gembira. Tiba-tiba saja segala se­suatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan ke­hausan!”
Gadis itu memandang heran. “Kausengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau ti­dak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluar­ga, yang dapat kupercaya dan....”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendo­rong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, ji­jik melihat keadaan tubuhnya. Bagaima­na mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir ba­tinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih me­nyimpan roti tawar, hanya tinggal men­cari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi....”
“Ssstttt, di sana ada daging....!” Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.” Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi se­dih, Sie Liong tersenyum. “Jangan kha­watir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun menjawab, “Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis....”
Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
“Searang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bum­bu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Li­ong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sam­bil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu menular pada Sie Liong. Dia­pun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya leng­kap, membuat perut mereka semakin ke­ras berkeruyuk saling bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti ta­war dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan ke­mudian merekapun makan roti tawar de­ngan daging kelinci panggang yang be­nar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya ber­debar aneh. Mengapa mereka berebut sa­ling memilihkan daging terbaik? Menga­pa mereka saling mementingkan dan sa­ling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu. Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, kepo­nakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian la­in kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi un­tuk menduga sejauh itu.
Kini, perut mereka tidak berkeru­yuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kem­bali mereka saling berpandangan mela­lui atas nyala api.
“Ling Ling....” Sie Liong mera­gu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi ha­tinya.
Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
“Aku heran sekali....”
Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran. “Apa yang kau­herankan, Liong-ko?”
“Engkau....”
“Eh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? A­ku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa....”
“Sama dengan aku!” Ling Ling me­nyambung cepat.
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku....”
“Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bong­kok dan menjijikkan....”
“Cukup!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang ma­rah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua ga­dis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau se­perti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi....” Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang be­gitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pan­dang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bu­kan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku ta­kut membayangkan harus kembali ke ru­mah orang tua angkatku, melainkan ter­utama sekali karena kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah ga­dis itu. “Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tu­buhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biar­pun engkau mempunyai cacat, akan teta­pi cacat itu sama sekali tidak meng­ganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu....”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seper­ti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ydng cacat. Padahal, ca­cat tubuh bukan hal yang terlalu mema­lukan, tidak seperti cacat batin! Ti­dak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah....”
“.... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
“Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ke­tika berdiri di ambang pintu itu, ter­senyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”

No comments:

Post a Comment