Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 26 (Tamat)

“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya. Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jerih itu, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri. Bi Sian menggerakkan pedangnya penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berko­bar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan peraaaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang di­bantu banyak pendeta Lama yang berke­pandaian tinggi. Dan anak buah pembe­rontak itupun sudah terhimpit oleh pa­sukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku ma­yat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka meman­dang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mende­ngar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang a­kan menjadi korban kejahatannya. Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk mem­bantu Bi Sian. Dia dapat melihat beta­pa pemuda itu tidak akan mampu menga­lahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di am­bang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu de­ngan mata basah dan wajah pucat. Iapun merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suami­nya. Ia dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak melon­cat dan membantu puterinya, akan teta­pi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun­-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek. Dia sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan memban­tu Bi Sian, sebaliknya malah akan men­jadi penghalang gerakan gadis yang a­mat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh se­rangan pertama yang curang. Kini pe­dang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan se­hingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di da­lam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt....!” Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga. Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melin­dungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghan­curkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghan­tam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!” Biarpun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menu­bruk dan melihat ini, Sie Liong berse­ru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan....!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melo­tot besar itu menusukkan pedangnya.
“Cappp....!” Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu.... maafkan.... aku....”
“Bi Sian.... anakku....!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kaulakukan i­tu?” tegur Sie Liong. Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang ta­di menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang....”
Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya. “Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin.... menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik....”
“Bi Sian....” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah.... jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik....”
“Paman, engkau amat mencinta.... Ling Ling....?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat si­tu, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta....”
“Dan.... aku? Kau.... sayang padaku, paman....? Bukan? Kausayang kepadaku....?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam se­hingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku....!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku....”
Bi Sian merangkul di antara isak­nya ia berbisik. “Ibu memaafkanmu.... nak....” Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi Sian....!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.

***

Pertempuran telah selesai. Kim Sim Lama dalam keadaan luka-luka berat menjadi tawanan. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya. Dalai Lama sendiri da­tang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan peti mati dan disembahyangi.
Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan ta­nah kuburan, yang tinggal di situ ha­nya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeram­kan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, sete­lah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan menge­nangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis rema­ja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara. Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa baha­gia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu a­rah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Betapa setiap orang manusia sela­lu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa seti­ap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak sampai tua ren­ta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut a­kan kehilangan arti dirinya, takut un­tuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpan­dai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbul­kan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berar­ti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak a­da, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhi­nya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuh­nya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanya­lah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah? Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hu­bungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melaku­kan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya ba­yangan, seperti awan berarak di angka­sa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, ha­nya selewat. Bukan, bukan itulah hake­kat hidup. Semua yang terjadi itu ha­nyalah permainan nafsu atas badan. A­khirnya, semua itu akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama i­ni? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan.
Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, ma­las melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi sa­at. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. ­Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dike­luhkan. Kehendak Tuhan jadilah! Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan natsu daya rendah. Kekua­saan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang di­jadikan boneka oleh nafsu daya rendah.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan me­mandang. Lie Bouw Tek yang memanggil­nya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini da­tang bersama enci-nya, dan melihat pu­la betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako....” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita....”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya! “Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik lagi akan cerita mesa la­lu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enciku, Lie-toako.”
“Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, setelah apa yang kau­lakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terina kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan manghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin manuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku, aku pasrah kepada Tuhan ke manapun aku akan dibimbing.”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu....”
Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan wajahnya nampak cerah. “Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Kehen­dak Tuhan terjadilah! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, a­kan tetapi Tuhan sudah menghendaki de­mikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kausayangi, kauhormati, dan kauharapkan perlindungan­nya.” Sie Liong menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan. Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan diapun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang amat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agak­nya telah dapat kauduga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggauta keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan ke­sempatan terakhir ini untuk minta per­setujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang ga­gah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, se­mua keputusan kuserahkan kepada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biarpun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi keme­rahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesem­patan ini, disaksikan oleh adikmu, un­tuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak encinya, tanpa bicara. Dia membiarkan encinya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati encinya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga en­cinya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Ki­onghi (selamat), enciku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami...” Biarpun Lan Hong belum menjawab lamar­an Lie Bouw Tek, namun ucapan “hidup bersama kami” itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepas­kan rangkulan encinya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan per­jalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepa­da kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap jaga baik-baik enciku yang kusayang ini, Enci Hong, selamat tinggal. Aku harus pergi seka­rang.”
“Liong-te....!” Lan Hong berseru akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te....!” Lan Hong berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, mari kita menyongsong hidup baru. Engkaupun berhak untuk menikmati kebahagiaan hi­dup, Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas di ma­na mereka dapat hidup berbahagia sete­lah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itupun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengi­kut Dalai Lama. Juga pasukan Dalai La­ma menyerang dan memukul mundur pasu­kan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mere­ka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram.
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, namun Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening a­kan tetapi tidak kesepian. Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekua­saan Tuhan berada di mana-mana, di da­lam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian dikenal di seluruh dunia persilatan, wa­laupun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pen­dekar Bongkok tidak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di manapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membe­la yang benar dan lemah. Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapat­kan pertolongan Pendekar Bongkok keti­ka mereka mengalami marabahaya, ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama be­sar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan. Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gu­run Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya se­hingga orang-orang yang tidak mau mem­pergunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, akan tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia ramai. Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sa­yang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta berahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia su­dah tidak mempunyai daya tarik sama sekali. Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan melibatkan diri dengan seorang wanita! Tentu saja lain halnya kalau me­mang Tuhan menghendaki lain. Dia hanya pasrah.
Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikir­an tidak lagi bersimaharajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontaknya dangan kekuasaan Tuhan! Dan kalau sudah begitu, kekuasaan Tuban akan bekerja dalam diri. Keadaan seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan melenyapkan diri yang me­ngaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh kekuasaan Tuhan, kemudian kekuasaan Tuhan akan bersemayam, membangkitkan jiwa. Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat htdup seutuhnya, bebas daripada cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya semula, yaitu menjadi alat dan pelayan.
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan harapan pengarang, semoga ada suatu manfaat yang dapat dipetik, dan semoga Tuhan memberkahi dan membimbing kita sekalian. Sampai jumpa di lain kisah.

 TAMAT

No comments:

Post a Comment