Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 21

“Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bin­tang)!” serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. Empat orang Lama itupun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka digerak-gerakkan berkilauan dan kedu­dukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mareka berlima itu menyerang dari lima penjuru! Sie Liong cepat memutar tong­katnya melindungi diri, dan tangan ki­rinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingung­kan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang amat kuat sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.
“Trakkk!” Pertemuan antara tongkat di tangan Sie Liong dan tongkat pendeta berkepala naga yang besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama tercengang dan jelas nam­pak betapa wajahnya dibayangi kekagum­an dan keheranan karena dia mendapat­kan kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sing-kangnya!
Sie Liong tidak membiarkan diri­nya dilanda kekagetan, melainkan cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk ke a­rah lehernya. Dia merendahkan dirinya dan tangan kirinya mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.
“Hyaaaattt....!” Hawa yang amat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bong­kok telah mempergunakan Swat-liong-ci­ang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sin-kang yang berha­wa dingin seolah-olah ada hawa salju yang menyambar ganas.
Thay Bo Lama terkejut dan menang­kis dengan lengan kirinya pula.
“Plakkk!” Dan akibatnya, tubuhnya terguling dan diapun menggigil kedinginan!
Saat itu dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat menangkis. Pada saat yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik ketika me­nangkin golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.
“Dukkk!” Sekali ini, demikian ku­atnya Kim Sim Lama menghantamkan tong­katnya, pula karena Sie Liong baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga tenaganyapun tidak sepenuhnya. Aki­batnya Sie Liong terpelanting!
Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cam­buknya ke arah kepala Sie Liong. Cam­buk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar! Sie Liong masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis walaupun dia sudah terpelanting. Na­mun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Li­ong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah Thay Si Lama. Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sin-kang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu si­hir itu, tidak gentar dan diapun meng­gerakkan telapak tangan kiri menyambut.
“Desss....!” Hebat buken main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjeng­kang dan diapun muntah darah! Sie Li­ong sendiri juga terjengkang karena kedudukannya tadi tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.
Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Li­ong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama mun­tah darah, empat orang rekannya menja­di marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pende­kar Bongkok.
“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet i­tu kini memandang heran kepada pemim­pin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia di­bunuh!” katanya dengan nada tidak se­nang.
“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitung­kan, langkah yang pasti akan mengun­tungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia ti­dak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, “Susi­ok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihat­lah,” katanya kepada belasan orang pembantu utamanya. “Tanpa pimpinan pin­ceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengar­lah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita.”
“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu ge­rakan kita?” Thay Si Lama mencela.
“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. “Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu.”
“Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan....” kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng ke­palanya. “Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa arti­nya orang yang kehilangan ingatan un­tuk kita? Bahkan dia akan dapat menim­bulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya.”
“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu ki­ni kelihatan cerdik luar biasa. Mata­nya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat mempergunakan dia un­tuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, baru­lah kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana cara­nya agar dia dapat terbunuh oleh Da­lai Lama, atau agar para tosu mengang­gap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja satu-satunya jalan a­dalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!” kata Kim Sim Lama.
“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Ti­dak percuma pinceng menyebar orang-o­rang ke dalam Lasha. Biarlah kita me­nanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagai­mana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam pen­jara?” Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membu­at dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”
Thay Hok Lama merasa girang kare­na dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”
“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminum­kan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.” Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksa­kan sebutir pel ke dalam kerongkongan­nya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki pe­rut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha, setelah siuman dia su­dah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?” tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, se­perti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berja­ga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan di­ri dari dalam kamar penjara!
“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet i­tu kini memandang heran kepada pemim­pin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia di­bunuh!” katanya dengan nada tidak se­nang.
“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitung­kan, langkah yang pasti akan mengun­tungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia ti­dak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, “Susi­ok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihat­lah,” katanya kepada belasan orang pembantu utamanya. “Tanpa pimpinan pin­ceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengar­lah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita.”
“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu ge­rakan kita?” Thay Si Lama mencela.
“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. “Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu.”
“Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan....” kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng ke­palanya. “Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa arti­nya orang yang kehilangan ingatan un­tuk kita? Bahkan dia akan dapat menim­bulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya.”
“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu ki­ni kelihatan cerdik luar biasa. Mata­nya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat mempergunakan dia un­tuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, baru­lah kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana cara­nya agar dia dapat terbunuh oleh Da­lai Lama, atau agar para tosu mengang­gap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja satu-satunya jalan a­dalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!” kata Kim Sim Lama.
“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Ti­dak percuma pinceng menyebar orang-o­rang ke dalam Lasha. Biarlah kita me­nanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagai­mana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam pen­jara?” Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membu­at dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”
Thay Hok Lama merasa girang kare­na dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”
“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminum­kan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.” Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksa­kan sebutir pel ke dalam kerongkongan­nya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki pe­rut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha, setelah siuman dia su­dah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?” tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, se­perti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berja­ga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan di­ri dari dalam kamar penjara!

Bayangan itu berkelebat cepat se­kali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik ting­gi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah pe­nginapan itu. Dia seorang pemuda tam­pan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersa­ma sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha un­tuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritdkan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so. Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan te­tapi Bong Gan mencegahnya, mengingat­kan bahwa mereka harus lebih dulu me­nyelidiki Kim-sim-pai yang amat dita­kuti penduduk dan di mana adanya sa­rang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Ta­di, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya adalah keti­ka wanita yang cantik manis itu di ru­mah makan tadi jelas memberi tanda ke­padanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, mela­inkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga! Se­belum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang su­dah gelap dan sunyi, dia menjadi bi­ngung sendiri. Ke mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demiktan menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bu­nga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keha­ruman itu demikian keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada o­rang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki il­mu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ke­tawa kecil masih terdengar, ia berhen­ti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wani­ta itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu a­dalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu pu­tih mulus, manisnya bukan main!
“Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan pe­nuh godaan.
“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cin­ta padamu, nona!” jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan kehe­ranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan se­orang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keran­jang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia su­dah tertarik bukan main. Ia merasa be­tapa wajah pemuda ganteng itu tidak a­sing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang ga­gah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang ga­dis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi memba­yangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terke­jut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayang­an yang amat gesit itu. Hatinya menja­di semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin terta­rik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.
“Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengu­jimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!” Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berla­ri cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat “berdekatan” dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia­pun mengelak untuk menghindarkan se­rangan orang dan diapun membalas. Tar­nyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi se­makin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-ma­in, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali ti­dak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah il­mu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul I­bliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan se­ruan kagum. Namun, biarpun agak terde­sak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda i­tu, maka ia tidak mau mengeluarkan il­mu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu....!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pe­dang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali. “Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau ber­main senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak per­nah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang da­pat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pe­dang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki ta­ngannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah ba­nyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sam­bil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata, “Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku mengguna­kan tongkat ini saja.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. “Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini ti­dak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,
“Aih, siapa berani memandang ren­dah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi ka­lau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau a­da tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.”
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung in­dah itu. “Bagus, kalau begitu, aku i­ngin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan iapun menyerang de­ngan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak bera­ni memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah dise­rap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan mengguna­kan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mung­kin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai se­lingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakui­nya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnya­pun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga memba­las dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hen­dak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!” Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tong­kat! Mereka tak bergerak, saling pan­dang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum. “Nona, engkau sungguh cantik jelita....”
Pek Lan juga tersenyum. “Dan eng­kau perayu besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujur­nya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar selu­ruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia meng­gerakkan kepalanya. Rambutnya yang di­gelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mu­lut itu berternu dalam ciuman yang pe­nuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rum­put!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mere­ka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan mele­paskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
“Kau.... kau.... Bong Gan....?”
“Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang su­dah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. A­kan tetapi, setelah keduanya bermesra­an, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan ma­in, terheran, juga marasa girang seka­li!
“Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku....”
“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!”
Keduanya saling rangkul dan sa­ling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bang­kit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? “Aku.... amat rindu kepadamu....” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan per­cumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu. “Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!” Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kauceritakan tadi, dan aku menjadi murid Ko­ay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sam­bil mencium dagu pemuda itu. “Dan eng­kau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?”
“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berju­luk Pendekar Bongkok.”
Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut. “Pendekar Bongkok? Dia....?”
Kalau gairah nafsu sudah terpuas­kan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi ber­ubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya....?” Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,” kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bar­gairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya....”
“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian paman­nya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bong­kok sampai ke Lasha.”
“Hemm, kalau begitu, kita mempu­nyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau su­ka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. A­palagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. “Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci? Ka­lau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak sa­ja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu ten­tu akan suka pula bergabung dangan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?” Baru seka­rang Bong Gan teringat akan pendeta i­tu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.”
“Dan kalian hendak pergi ke mana­kah? Mengapa sampai pula di Lasha?”
“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai....”
“Ah! Sie Liong Si Pendekar Bong­kok juga ke sana!”
“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, ada­lah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.
“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”
“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka membantu pemberontakan o­rang Tibet? Kita bukan ikut memberon­tak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Keduduk­an tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa ke­kayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya. “Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari ke­dudukan tinggi atau harta benda?”
“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk. “Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kauajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pas­ti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar wanita?”
Bong Gan mengangguk. “Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....”
“Dan kau sendiri?”
Bong Gan menyeringai. “Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”
“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”
“Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku....”
“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”
“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. “Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata ke­ranjang! Baiklah, jangan khawatir, gu­ruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. A­kan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. “Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukan­kah dengan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa. “Tentu saja, dengan segala senang hati!”
“Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan....”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.

***

Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong me­mandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerut­kan alisnya dan merasa khawatir.
“Lie-toako, di tempat besar se­perti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?”
Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lem­but dan menghibur. “Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua o­rang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, ten­tu ada yang melihat mereka.”
“Sekarang, kita ke mana toako?”
“Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan mem­biarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat di­terima menghadap Dalai Lama.”
“Menghadap Dalai Lama? Akan teta­pi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir se­perti kaisar kita, dan tidak akan mu­dah menghadap beliau.”
“Benar, akan tetapi aku yakin a­kan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh be­liau.”
“Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?”
“Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memu­suhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkum­pulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepa­da Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai La­ma akan lebih tahu, atau setidaknya a­kan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyu­ruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari.”
Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek ada­lah seorang pria yang hebat, yang ga­gah perkasa, cerdik dan juga berpenga­laman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya! Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Se­dangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh ti­dak tahu malu!
Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah pe­nginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, de­ngan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasihat Lie Bo­uw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyem­bunyikan pedangnya sehingga tidak ter­lalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada ka­lanya ujung itu menonjol keluar.
Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama meng­hadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas me­ngatakan bahwa orang luar tidak diper­kenankan memasuki daerah itu tanpa i­jin.
“Harap kalian memaafkan kami,” kata kepala jaga dengan sikap hormat. “Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di lu­ar daerah istana. Tak seorangpun, tan­pa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang.”
Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. “Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.”
“Omitohud....!” Kepala jaga itu berseru. “Apakah sicu (tuan yang ga­gah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh ti­dak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.”
“Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,” kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat. “Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama me­lalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan ma­suk menghadap.”
Akan tetapi Lie Bouw Tek mengge­leng kepalanya. “Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, ten­tu beliau akan sudi menerimaku.”
Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah da­lam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, dia­pun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.
“Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat da­tang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?”
Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bah­wa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berka­ta dengan lembut.
“Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai La­ma karena ada suatu hal yang amat pen­ting harus saya sampaikan kepada be­liau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga.”
“Baik, taihiap. Tunggulah seben­tar di sini!” kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.
Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.
“Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap.”
“Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.”
Pendeta itu mengerutkan alisnya. “Tidak biasanya Dalai Lama mau meneri­ma tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sen­diri nanti setelah ji-wi (kalian ber­dua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan.”
Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.
Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan me­reka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi de­ngan wajah cerah.
“Taihiap dan toanio dipersila­kan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!”
Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak su­nyi karena kosong. Di sudut paling be­lakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.
“Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!”

No comments:

Post a Comment