Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 3

“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Pawan Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau per­gi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah a­kan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan selu­ruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong. Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.

***

Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang lelu­hur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun ki­ni batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing. Selama dua malam ini kalau sedang ti­dur di kamarnya, dia gelisah dan bebe­rapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu­nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijo­dohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ci­angkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan merasa kasihan ke­pada encinya. Dia merasa betapa enci­nya amat sayang kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki enci­nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatang­kan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya juga sudah serba cu­kup dan menyenangkan. Apa yang menye­babkan encinya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang la­lu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia­pun lalu meninggalkan ruangan itu un­tuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Li­ong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersem­bahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa biting) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka ka­rena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Li­ong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sam­bil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu se­perti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apakah? Apakah.... apakah engkau sakit....?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari ga­dis cilik itu menambah keharuan hati­nya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya. “Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air matanya, mengeraskan hati­nya untuk menghentikan tangisnya. “Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? A­taukah ada yang membunuh mereka?”
“Akupun merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendi­ri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat be­tapa usia paman Liong tidak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ke­tika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya se­perti itu, jantung Sie Lan Hong berde­bar penuh ketegangan! Terbayanglah se­mua peristiwa yang terjadi sebelas a­tau dua belas tahun yang lalu! Betapa a­yahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si pembunuh yang amat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpak­sa menyerahkan dirinya bulat-bulat ka­rena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan ju­ga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Mencerita­kan bahwa suaminya sendiri adalah pem­bunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama ia menghapus per­musuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mem­punyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihat­an ragu-ragu?” Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh seli­dik.
“Ah, tidak.” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ce­ritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Pc­nyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang se­hingga meninggal dunia. Untuk menghin­darkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepu­luh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Ka­sihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal?”
Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni ko­ta Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Sia­pa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia memberitahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembah­yang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, berna­ma dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, a­palagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.

***

Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di a­tas Tembok Besar! Tembok Besar itu me­rupakan bangunan raksasa yang amat he­bat, naik turun bukit dan jurang, me­manjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tem­bok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan ju­rang-jurang yang penuh hutan lebat itu.

“Tembok Besar memanjang
 ribuan li
   bekas tangan manusia
     masih hidup atau sudah mati

Tembok Besar lambang kekerasan
 untuk mempertahankan kekuasaan
   berapa puluh laksa manusia mati
     untuk menciptakan bangunan ini?”

Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin ber­tiup kencang dan menimbulkan suara ke­tika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-ki­bar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua. Namun wajahnya ma­sih nampak merah dan halus seperti wa­jah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaian­nya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang dii­kat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sam­bil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang ma­tanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu me­ter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu die berjalan, me­lainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja. Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia bera­mah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat. Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan li­ar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar sa­king lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi i­ni, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung be­terbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus da­ri tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa bahagianya orang yang ma­sih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat meli­hat segala keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala ma­cam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, keta­kutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan!
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya. “Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Se­butan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budi­man. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).
Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terba­ngun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersama­dhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju ada­lah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka! Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunung­an Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak se­besar dan seluas atau setinggi Pegu­nungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang bera­ni memasukinya. Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa o­rang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama dia­dakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan, ke­bencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta La­ma di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak! Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka “me­ngungsi” ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Demikian­lah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pe­larian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pe­ngungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima o­rang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk den menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih me­naruh dendam terhadap para pertapa a­sal Himalaya, dan mendengar betapa pa­ra pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu me­ngamuk ke sana! Dan menurut kabar, li­ma orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersang­kut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah di­akui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang a­sing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepa­da Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayah­nya bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima o­rang pendeta Lama jubah merah dari Ti­bet itu mendatangkan perpecahan di an­tara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menga­nut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini me­nimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat he­bat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute­nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam em­pat tingkat. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hoat Tosu dan Thian Khi To­su merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pa­gi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bi­cara empat mata saja.
“Suheng, keadaan ini tidak mung­kin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai....!” Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil me­rangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau mak­sudkan gerakan yang dilakukan oleh pa­ra Lama jubah merah itu, bukan?”
“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh som­bong sekali. Mereka menyerang dan mem­bunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelan­jutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak ter­libat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute.”
“Tidak, suheng, pinto tidak setu­ju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para mu­rid?”
“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu­pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan eng­kau membawa Kun-lun-pai ke dalam per­musuhan antara mereka. Kita tunggu sa­ja perkembangan selanjutnya.”
“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas i­tu? Ah, pinto akan bersamadhi dan mo­hon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pe­muda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun den Kok Han, dua o­rang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki ting­kat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, wa­laupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk di­pergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang da­ri sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti me­langkah dan memandang ke arah kiri da­ri mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak. “Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.
“Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto ti­dak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam u­sia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menu­runkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengan­cam di depannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Ada­pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambut­nya sudah putih semua, panjang dan di­gelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak berdosa? Omitohud.... ma­na ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini ti­dak dibasmi, kelak hanya akan menda­tangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu kepa­rat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian mengua­sai hati, apalagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hen­dak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa? Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran me­rekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah men­dengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal i­ni sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Akan tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.
Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu de­ngan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh teguran.
“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani mencampuri u­rusan orang-orang tua? Mengingat kali­an masih kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami ke­hilangan kesabaran.”
“Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nanpak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng berkata, “Ha-ha-ha, sejak kapan­kah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencam­puri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Hari­mau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai....! Ji-wi kong-cu (ke­dua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendi­ri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang ber­tanggung jawab,” kata Ciang Sun, se­dangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda ti­dak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua ta­ngannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik da­ri Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”
Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.
“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menye­rang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemu­da itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi? Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan mem­biru! Dasar orang muda yang kurang pe­ngalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu ke depan, menusukkan pedang me­reka ke arah dada dua prang pendeta Lama itu,
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengke­ram.
“Krekkk! Krekkk!” Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam ceng­keraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mere­ka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa ti­dak habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuha­biskan saja nyawa mereka!” Berkata de­mikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
“Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!” Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke a­rah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka ber­dua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menja­di merah padam.
“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan ka­mi!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai....! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian ju­ga sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Hari­mau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku La­ma dan pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok, kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, te­lentang di kanan kiri dada, dan perut­nya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara “kok-kok!” dan kedua ta­ngan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat. Agak­nya, menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang mukanya co­det dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya agar de­ngan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawan­nya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang kini diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah sejenis pukulan jarak ja­uh yang mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Ba­dai). Dari perut gendut yang menggem­bung itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh. Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanan­nya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut.
“Siancai...., pinto melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan....!” Dan kakek inipun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti mem­bentuk bulatan-bulatan yang saling do­rong, tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, sa­ling bertemu di depan dada seperti me­nyembah dan diapun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin ce­pat dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan i­tupun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan. Pek In Tosu melihat ini semua, namun dia masih tetap tenang saja, bukan tanang meman­dang rendah, melainkan tenang menghe­dapi apapun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak i­tu, menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan, bunyi kok-kok semakin ke­ras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu dan angin keras itu membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam! Bakan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja mengandang tenaga sakti yang amat ku­at dan mampu merobohkan lawan, asap hitam itupun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sam­pai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut a­ngin dan asap hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua ta­ngan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pin­tu.
“Plak! Plakk!” Dua pasang tangan bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri.
Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu ju­ga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng ini juga lihai bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua te­lapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercu­itan, dan juga mengandung tenaga muji­jat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
Melihat ini, Pek In Tosu memuji dan berseru, “Siancay....!” Dilanjut­kan dengan pembacaan mantram dan diapun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang. Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mujijat itu seperti ter­tolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau a­wan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat ini, Thay Ku La­ma mengeluarkan suara kok-kok-kok lagi dan diapun membantu sutenya, mengero­yok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Se­betulnya dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih kuat, dan keringanan tubuhnya yang memudahkan dia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan daheyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan uiia, juga selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, maka tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai....!” dan dia lalu duduk ber­sila di atas tanah! Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersamadhi, kedua telapak kaki telentang di atas paha, itulah duduk bersila da­lam kedudukan Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek itu sudah kelelahan dan pasrah mati maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke a­rah ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menye­rang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawan­nya tentu akan tewas seketika!
Pek In Tosu mengangkat tangan ki­rinya menangkis.
“Dukkk!” Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan menerima binasa, melainkan dia mengam­bil sikap bertahan dan melindungi tu­buhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menye­dot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat la­wan terpental! Thay Si Lama menjadi penasaran dan diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menja­di semakin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah amat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka adalah tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang ma­nusia! Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil kalau kini, menghadpi seorang pertapa tua renta saja, mereka sampai tidak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian maupun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhu­yung, bahkan pernah hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Ke­duanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga me­ter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasa­nya mereka nyanyikan di dalam kuil me­reka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini la­in lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk me­muja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeram­kan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suara­nya ada selingan suara kok-kok-kok se­perti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bu­kan suara sembarangan, melainkan dike­luarkan dengan tenaga khi-kang dan si­hir, suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pen­deta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-ge­leng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mere­ka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka.
Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipenga­ruhi kekuatan apapun dari luar. Namun, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia beru­saha mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan tetapi, pertahanannya agaknya go­yah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergo­yang-goyang perlahan-lahan! Makin la­ma, goyangan kepala Pek In Tosu sema­kin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan “paduan suara” antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepa­la! Akan tetapi hanya sebentar saja karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawan­an dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan kini ketukannya men­jadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, ka­dang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bu­nyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya men­jadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sa­dar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lu­rus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar u­ap putih, dan kepalanya tidak lagi di­geleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan mengge­leng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan ka­dang-kadang keliru menjadi angguk-ang­gukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal den robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang den tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mu­kanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan ra­sa iba bagi yang melihatnya. Punggung­nya bongkok dan agaknya ada daging me­nonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah se­jak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bah­kan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mere­ka melakukan sembahyangan dan dia men­dengar bahwa ayah ibunya meninggal du­nia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya mera­sa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggal­kan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela me­reka yang tertutup. Kamar Bi Sian ber­ada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu si­lat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterla­luan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Ja­ngan kaukira aku tidak tahu bahwa eng­kaulah yang membuat dia menjadi bong­kok!”
“Eh? Apa yang kaukatakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia men­jadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau mela­rang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt....! Lan Hong, apa yang kaukatakan ini?”
Terdengar encinya menangis. “Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bong­kok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?”
“Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-­kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur....”
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?” Encinya setengah menjerit. “Maksud.... maksudmu....?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bu­kankah hal itu amat baik baginya? Men­jadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang.”
“Ahhh.... tapi.... tapi....”
“Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak tergang­gu dan keselamatan adikmu terjamin pu­la?”
Setelah hening sampai lama, enci­nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititip­kan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu....”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit sa­king nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cu­kup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.

Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.

Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok i­tu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menu­lis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggal­kan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama se­kali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu se­belah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pin­tu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil ja­lan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suami­nya cepat melakukan pengejaran ke uta­ra tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menu­ju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke uta­ra. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi sete­lah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah meng­ambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau ki­ri? Akhirnya, diapun pulang dengan wa­jah lesu. Dia tidak begitu susah di­tinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya ge­lisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatir­kan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua o­rang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber­usaha keras untuk menghibur hati iste­rinya, mengatakan bahwa Sie Liong su­dah cukup dewasa untuk mengurus diri­nya sendiri, dan bahwa kebetulan seka­li Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruh­nya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke se­latan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.

No comments:

Post a Comment