Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 24

“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menewan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih....”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke da­lam kepala dan jantung Bi Sian rasa­nya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang....” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan. Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia marasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama. Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak seko­lah menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut ku­sut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke da­lam kamar, merebahkan diri di pemba­ringan den memejamkan mata untuk ti­dur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu, “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan ke­mesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.

***

Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Tuhan dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak mungkinpun dapat terjadi dengan mudah­nya kalau Tuhan menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia ti­dak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat daripada usaha manusia. Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekeliling­nya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Tuhan untuk menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat a­pa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali dan mengingat-ingat. Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa penga­ruh racun penghilang pikiran dan ingatannya kembali lagi. Kewaspadaan timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Te­ringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya. Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini! Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia menggerak­kan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti! Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula de­ngan hati terkejut bahwa dia pernah diserang searang pria dengan golok, di­tangkis dengan lengan kirinya dan le­ngan kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kiri. Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
“Ya Tuhan....!” Dia berseru lirih. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa lengan kiri­nya harus buntung. Akan tetapi, kemba­li dia menyandarkan diri kepada kekua­saan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya dihancur­kan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, diapun merana aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikitpun lagi tentang lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari ta­bung itu! Dia mencoba untuk menggerak­kan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mancoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaggnya lemah sekali. Dan teringatiah dia bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu telah sembuh! Akan tetapi tenaga­nya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya. Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ah, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
“Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bauh tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm.... agaknya peti ini berada di dalam tanah!” Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita. “Ah, merka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!” Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, namun hampir bar­bareng, kesadaran menyerahkan diri ke­pada Tuhan mengusir itu semua. Dia ha­rus panrah, percaya sepenuhnya akan kekuasaan Tuhan.
“Kekuasaan Tuhan berada di mana­pun juga,” demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, “di tempat yang paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang pa­ling kecil, di atas langit maupun di bawah bumi....”
“Di bawah bumi.... ah, di sini pun terdapat kekuasaan Tuhan! Ya Tuhan, hamba menyerah, hamba pasrah, apapun yang Tuhan kehendaki jadilah!” Hati Sie Liong bersorak dan pikirannya semakin terang. Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati. Tentu ini parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tidak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia sa­ja. Yang penting sekarang harus menca­ri jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia menggerakkan kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti. Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan. Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan tentu merekapun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi a­gaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib i­tu, dia juga keracunan. Darahnya kera­cunan sehingga dia kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sin-kangnya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti. “Krek.... krekk....!” Peti itu retak oleh dorongannya. Tenaga biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan me­nimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan ka­nan membersihkan muka. Celaka, pikir­nya. Kalau dia berhasil memecahkan pe­ti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa uda­ra. Kini dia malah tidak berani barge­rak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akal budimu. Akal budi juga pemberian Tuhan yang harus diperguna­kan pada saat yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan namun di samping itu dia harus berikh­tiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Tuhan membimbing, akan teta­pi bimbingan itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Diapun mengingat-ingat. Dia berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah! Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makan­an, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang me­ngeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini bera­sal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Tuhan, yaitu energi yang maha dahsyat itu! Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Tuhan menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cu­kup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan ke­pada Tuhan Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuh melalui napas yang dihisap­nya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang ter­hisap olehnya itu kini bercampur de­ngan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, ka­dang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi! Itulah kekuasaan Tuhan yang sudah diyakininya. Agaknya Tuhan menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali pula, sesungguh­nya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Tu­han, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Ca­mundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Namun Sie Liong tidak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perha­tian pada pernapasannya, sambil menye­rahkan segalanya kepada Tuhan, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.

***

Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberani­an. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa se­mua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak perduli a­kan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya i­ngin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puteri­nya, Yauw Bi Sian. Karena tidak ber­maksud mencampuri urusan pemberontakan malainkan urusan pribadi, maka Lie Bo­uw Tek tidak ragu-ragu atau takut-ta­kut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh e­nam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu mela­kukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain membahagiakan, juga menda­tangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih cerah, warna-war­na lebih terang, suara apapun majadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba di lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah dan pemandangan alam di pagi ha­ri itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan di bukit-bukit itu ditumbuhi ba­nyak sekali pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.

 Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?” Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di bela­kang sebuah kuil Kim-sim-pang yang se­sungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memu­tar, tidak datang dari depan, melain­kan hendak mencari jalan dari bela­kang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang me­mimpin rombongan berkata, “Jalan menu­ju ke kuil adalah jalan raya yang su­dah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini me­rupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di si­ni tanpa seijin kami.”
Lie Bouw Tek mengangkat kedua ta­ngan memberi hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melang­gar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan....”
“Katakan apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan me­nentukan selanjutnya.”
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut. “Harap cu-wi suhu mema­afkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan....”
“Pendekar Bongkok!” seru seorang di antara mereka karena kaget. Mende­ngar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.
“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkan cuwi memberitahu di mana dia?”
Akan tetapi begitu mendengar bah­wa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke sarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan menge­pung, Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan de­ngan Kim-sim-pani, kami hanya mencari adik kami itu!”
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi ber­salah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!”
“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti peram­pok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau me­nyerah!” Barkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga menca­but pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam baha­ya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong.
“Trang-trang-tranggg....!” Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek meng­gerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebaten dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan ke­ras. Bukan saja wanita cantik itu mam­pu mengelak dan menangkis, bahkan mem­balas dengan hebat dan sebuah tandang­an kakinya sempat membuat seorang pe­ngeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, “Tahan semua senjata....!”
Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghenti­kan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling men­dekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pende­ta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan ju­bahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga de­ngan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
“Kalau kami tidak salah duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.”
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. “Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan ka­mi. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?” Tadi dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek mem­perkenalkan diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang meneri­ma perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang un­tuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata, “Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara di dalam dan pinceng akan maberi keterangan yang selengkapnya tentang ke­dua hal yang kalian pertanyakan itu.”
Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan di belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu ke sini.”
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut pendek, berjubah se­perti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim La­ma, lalu dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.
“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.”
“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.
“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk memberi penjelanan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
They Ku Lama yang berperut gen­dut, orang pertama dan tertua dari Ti­bet Ngo-houw, segera berkata dari tem­pat duduknya. “Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Ti­bet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran i­tu akhirnya beberapa orang pendeta La­ma tewas. Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, ma­kin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itu­lah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun me­ninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terha­dap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan men­jadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka i­tu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itu­lah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harap­kan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ra­gu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia ha­rus menghadapi lagi Dalai Lama dan ber­tanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bah­wa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mo­hon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.”
“Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menye­dihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh....!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin....!” Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dan­dam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas. Kalau ji-wi (kalian) hendak membukti­kan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahhh.... Liong-te (adik Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Ku­burannya masih baru!” kata Thai-yang Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
“Lie toako, aku ingin menengok kuburan adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bar­susah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburan­nya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk menca­ri keterangan dari Thai-yang Suhu ba­gaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangan­nya.
“Siancai.... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mangungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pin­to ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te....!” Lan Hong mengeluh dan ia menggunakan ujung langan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman ku­buran itu. Sunyi sekali di situ karena teman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang her­kunjung ke situ. Sebelum meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah memba­wa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gun­dukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu te­was semudah ini? Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan resa penamaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semuA? Kalau sicu masih belum percaya, seka­rang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jena­zah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong su­dah hanyut pula dalam keharuan dan pe­nasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepn­daku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong “bertapa” di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada kekuasaan Tuhan! Kekuasaan Tuhan berada di manapun di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, di dalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan di dalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasamn Tuhan amatlah kuatnya di situ. Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang per­nah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepesrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong meng­himpun tenaga mujijat itu. Dia sudah pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masib mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih terdapat rasa takut. Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak ada­nya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, pe­nuh keikhlasan, menyerah kepada kekua­saan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Ka­sih! Tanpa diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban di dalam tubuh Sie Liong, kemujijatan yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya, telah merasuk ke dalam tu­buhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, te­rus ditiup sehingga rasanya menggem­bung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Dia hanya merasa tubuhnya seperti akan me­ledak, maka tanpa memperdulikan apapun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meron­ta dan mendorong, menendang.
“Blaaaaarrrrr....!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu pecah dan bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu berikil berhamburan. Sie Lan Hong menjerit, Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berham­buran. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat keluar dari da­lam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
“Keparat....! Kau.... iblis....!” Terdengar Thai-yang Suhu mem­bentak. Pendeta palsu inipun terkejut bukan main ketika melihat gundukan ta­nah itu tiba-tiba meledak dan dari da­lannya meloncat seorang yang dikenal­nya sebagai Pendekar Bongkok! Masih presis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur dan kini mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia. Melihat ini, Thai-yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, se­gera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung saja melakukan serangan maut, menusuk­kan pedang kanan ke arah tenggorokan dan pedang kiri ke arah lambung Pende­kar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya se­penuhnya dan dia bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mujijat yang tar­himpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai-yang Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang menyambarnya.
“Bresss....!” Tubuh Thai-yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menye­rang, entah bagaimana telah membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri! Dia tewas seketika!
“Liong-te....!” Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong. Akan te­tapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong melarikan diri. Dia balum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjdi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sen­diri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja! Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.
“Liong-te, tunggu....! Liong-te....!”
Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.­
“Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia.... dia.... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusulnya.” Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendangar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian ting­gi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!
“Aih, Lie-toako.... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia.... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepada­mu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, a­ku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertaggungan jawabnya!” Lan Hong menangis.
“Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali ke sana, tentu mereka tidak akan menerina kita sebaik tadi. Apalagi Thai-yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat pergi dari sini. Aku hendak meng­hadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan para pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan dia berbahaya seka­li. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu....”
“Bi Sian....! Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi de­ngannya? Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”
“Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Ku­asa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan hutimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kuraaa ia mampu menjaga diri sendiri.”
“Memang benar, toako. Ia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, ia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji.”
Lie Bouw Tek menghiburnya. Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai i­tu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh. Kemu­dian, dia menyeret mayat Thai-yang Su­hu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.

Gadis itu dikenal oleh semua o­rang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya ko­tor dan seperti seorang jembel gila. Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan ko­tor, awut-awutan seperti rambut silum­an yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbela­lak menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia kadang me­nangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan ti­dak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa se­makin jijik karena ulahnya. Tak seo­rang priapun yang dapat merasa terta­rik oleh seorang perempuan seperti wa­nita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wani­ta gila itu akan merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggal­kan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakon seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak seo­rangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan! Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yanig telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicin­tainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu le­bib besar lagi mengancm dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pa­kaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Untuk bertanya-tanya, ia ti­dak berani karena ia maklum bahwa Pen­dekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi ka­lau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk terta­wa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas da­ri gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakan­nya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkan­mu, betapa aku merindukannu? Liong-koko....” demiklan ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bah­wa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu. Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya o­rang yang tidak pernah hidup dalam ke­kurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lam­bat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di tepi tela­ga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam. Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa me­kanan dan makan di tepi telaga, membe­rikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cu­kup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan ha­rapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur! Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demiktan buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan ka­lau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya audah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling pa­danya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku....” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat di­ngin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah te­rendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersih­nya untuk menyambut perjumpaannya de­ngan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia me­nanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan teru­rai panjang dan halus, dibiarkan teru­rai di depan tubuhnya menutupi payuda­ranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang a­mat membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam. Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis.... gila itu....!” bisik seorang di antara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia men­cuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke ka­nan kiri. Setelah melihat bahwa di se­kitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup ram­but panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah guha­nya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangan­nya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuh­nya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu. Pakai­an itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walaupun butut tidaklah se­kotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pu­la, ia membeberkan pakaiannya dekat a­pi agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi “kegi­laannya”.
Tiba-tiba in terbelalak dan ter­pekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menu­tupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti ma­ta seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau. Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita. Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan pikiran. Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!”
Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu. Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kela­paran memperebutkan seekor kelinci i­tu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!”
Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai guha dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam guha.
“Aduuuhh....!”
“Auhhh....!”
“Heiii, aduhh....!”
Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!” Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka dan semua tubuhnya de­ngan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang lembab, kemudi­an ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berte­riak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, mem­buat kedua lengan mereka seperti lum­puh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar. Mereka meronta dan beru­saha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama ku­lit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan di­am saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha. Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menja­di satu dan menyeret mereka dengan ri­ngan saja!
Melihat bahwa yang menyeret mere­ka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga o­rang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas i­ngatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teri­ngat pula mengapa lengan kirinya bun­tung. Dia mulai teringat semuanya. Ta­di, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-he­ran, tubuhnya berkelebat dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meron­ta-ronta, dia lalu turun tangan. De­ngan ketukan perlahan saja, mengguna­kan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong su­dah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Ti­ga orang pemuda nelayan itu berloncat­an berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan. Tanpa banyak cakap lagi, tiga orang pemuda itu me­nerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan.
“Ehhh....?” Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka ber­gerak untuk menyerang lagi, akan teta­pi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itupun terjengkang, terban­ting keras!
“Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti disambar petir. A­khirnya, tiga orang itu menjadi keta­kutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami...., taihiap, ja­ngan bunuh kami....!” Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala i­kan....”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Li­ong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!” Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemu­da berandalan tadi, maka kakinya me­langkah perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku....”

No comments:

Post a Comment