Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 16

Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nam­pak dalam pandangannya, dan dia meli­hat seorang gadis yang amat cantik me­nis, yang menimbulkan rasa iba dan su­ka, seorang gadis yang membuat dia me­rasa berbahagia, pandang mata yang be­ning itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada pe­rasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, me­mecahkan kesunyian malam. Beberapa e­kor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan aneh­nya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Se­perti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan geli­sah.
“Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menenga­dah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis i­tu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti dido­rong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling....!”
“Liong-ko.... ah, Liong-koko....!”
Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghi­dupan yang kejam ini, Liong-ko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memi­liki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum. “Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena ha­rus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko,” Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan pung­gung tangan karena ia merasa lelah se­kali dan mengantuk. Begitu ia merebah­kan diri miring, iapun pulas. Ia mi­ring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan sayang melihat wa­jah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan na­pasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat se­kali, maka mandi di waktu pagi itu te­rasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambut­nya kusut, namun hal ini tidak mengu­rangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begi­ni dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. “Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut. “Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kaucuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa. “Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak in­dah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas ke­wajiban mereka sehari-hari, yaitu men­cari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alis­nya. Roti yang dipanggangnya sudah ma­tang sejak tadi. Terlalu lama gadis i­tu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdi­ri dan memandang ke arah hutan, di ma­na terdapat sumber air itu. Tidak nam­pak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
“Ling Ling....!” Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya a­gar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak....” Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pen­dengarannya yang peka terlatih, dia a­kan dapat mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatir­an hatinya membuat dia melangkah ke a­rah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber berma­in dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling....!” Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Ti­dak nampak bayangan Ling Ling.
“Ling Ling....!” Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakai­an kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian! Wajahnya seke­tika pucat ketika detik jantungnya se­perti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-je­jak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah be­rapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karu­an rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuh hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika meli­hat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telan­jang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua ta­ngan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil ter­kekeh-kekeh berusaha untuk memperkosa­nya! Ling Ling meronta-ronta, menggi­git, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling memperta­ruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hu­tan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah ti­dak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti menge­luarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyam­bar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tu­buh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya se­helai kain saja. Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama da­rah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan kesa­kitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bong­kok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun.... ampunkan kami....”
Akan tetapi, lengkingan ketige kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa me­rah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lem­but itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.
“Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?” tanyanya lembut.
“Liong-ko....!” Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondong­nya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku....!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
“Liong-ko.... ah, Liong-ko....!”
Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini....” Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran. “Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba me­reka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membung­kam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, un­tung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi....”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali kare­na kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling me­langkah maju dan memandang wajah pemu­da itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko, engkau kenapakah? Eng­kau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penye­salan. “Aku telah membunuh mereka....”
Gadis itu memandgng heran. “Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kaubunuh! Mereka itu ja­hat sekali!”
Sie Liong menghela napas panjang. “Untuk menentang kejahatan, memang ka­dang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Mem­bunuh dengan hati dipenuhi dendam ke­bencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membu­nuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahat­an, dan mereka itu adalah segermbolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak a­da sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi ta­di sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan te­tapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. “Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Leing, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan keke­jaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesan­kan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menon­ton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Ma­na ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perja­lanan ke selatan.
Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka. Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang naf­su. Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasa­nya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala Besuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing. Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, kee­nakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang “ingin” bebas inipun nafsu, dengan ha­rapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Ma­ka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafeu. Jelas tidak mungkin! Selama ada keinginan a­kan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela.
Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu? Kita harus berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah bahwa pikiran kita bergeli­mang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu. Titik! Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh ke­pasrahan, penuh keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan itu. Tuhan Maha Kua­sa dan Maha Kasih!
          
           Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lashe, ibu kota di Tibet. Biarpun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi hanyalah kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang me­mandangnya. Yang pria merupakan seo­rang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanan­nya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu berbentuk bulat, sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali. Hidungnya besar mancung dan mulut­nya selalu tersenyum mengejek. Sepa­sang matanya tajam mencorong, Akan te­tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun yang wanita adalah seorang gadis baru­sia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan kain buntut. Agaknya me­mang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sutenya, Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan sutenya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong a­mat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu Pek-sim Sian-su.
Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa tentulah Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai cacat bongkok sekalipun.
“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,” kata Bong Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu a­kan dapat mencari keterangan tentang dia.”
Bi Sian menyetujui pendapat sutenya dan pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan pandangan orang melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan ke­pribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan sudah bia­sa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan berpa­kaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun ti­dak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan menegurnya. Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di se­tiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya ka­lau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang har­tawan!
Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. A­kan tetapi sebenarnya, di lubuk hati­nya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta ke­pada Bi Sian, karena dia tidak mau me­nentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai seo­rang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, ia tidak akan memikirkan urusan cinta!
Orang yang sudah menjadi hamba nafsunya, akan merasa tersiksa kalau dia dalam waktu lama tidak berkesempatan untuk memuaskan gairah nafsu itu. Pemuasan nafsu itu sudah sedemikian dibutuhkannya, sudah mencengkeramnya se­hingga dia menjadi kecanduan. Hidupnya akan terasa hampa dan tidak ada arti­nya, tidak ada kesenangan kalau dia tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk memuaskannya.
Demikian pula dengan Bong Gan. Sejak remaja, dia telah menjadi hamba nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Pek Lan, selir ayah angkatnya yang ke­mudian menjadi kekasihnya sehingga perhubungannya dengan selir itu tertang­kap basah, membuat dia terusir dari rumah ayah angkatnya yang kaya raya. Ke­tika dia menjadi murid Koay Tojin, su­kar sekali baginya untuk melampiaskan nafsu berahinya. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia melanggar, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, suhunya yang amat lihai itu pasti akan mengetahuinya dan kalau sampai suhunya tahu bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang menyeleweng, tentu suhunya marah kepadanya dan hal itu amat berbahaya. Maka, selama tujuh tahun mengikuti Koay ToSin bersama Bi Sian, Bong Gan bersikap jujur dan a­lim!
Lingkungan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap watak seseorang. Manusia merupakan mahluk yang tera­gung, terpandai akan tetapi juga amat lemahnya. Karena dalam dirinya terkan­dung daya-daya rendah yang memupuk nafsu yang sudah menyatu dengan hati perasaan dan akal pikirannya, maka mudah sekali manusia terpikat dan terpenga­ruh oleh keadaan lingkungannya. Terutama sekali lingkungan yang tidak sehat mudah sekali menyeret seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan­nya. Segala tindak kemaksiatan memang mendatangkan kesenangan lahir dan ini memang merupakan umpan dari setan naf­su untuk memikat manusia. Karena itu, mudah sekali lingkungan yang sesat me­nyeret seseorang, biarpun orang itu tadinya alim dan tidak suka melakukan kesesatan. Bahkan lingkungan yang sehat dan bersih, biarpun daya tariknya ti­dak sekuat lingkungan yang sesat, te­tap saja dapat mempengaruhi seseorang untuk menyesuaikan diri.
Demikian pula dengan Bong Gan. Setelah dia hidup bersama Bi Sian dan Koay Tojin, setiap hari bergaul dengan mereka, bagaikan api, nafsu berahinya tidak lagi berkobar-kobar, melainkan kalau tidak padam juga mengecil. Nafsu berahinya bangkit sebelum waktunya, ketika dia berusia tiga belas tahun. Oleh karena itu, tidak begitu sukar baginya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari nafsu berahi selama tujuh tahun itu. Ini sebabnya mengapa Koay Tojin, walaupun meragukan kebersihan batin murid ini, tidak menemukan suatu kesalahan dan biarpun berlawanan dengan perasaan nalurinya, tetap mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada Bong Gan. Dan demikian pula Bi Sian. Setelah selama tujuh tahun bergaul dengan Bong Gan, ia melihat sikap dan sifat yang baik dalam tingkah laku Bong Gan selama itu, maka tentu saja iapun percaya kepadanya.
Baru setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani dia mencarl wanita untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya. Namun, hal ini­ dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia memperoleh kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia takuti, dia masih bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut kepada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak ingin kelihat­an sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu ha­rapannya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.
Ketika berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia berma­lam di hotel dan karena itu dia mempu­nyai kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberitahu tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatan­nya demikian disayang oleh Bi Sian se­hingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil ba­ik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Li­ong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicinta­nya, akan tetapi juga untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mu­lai merasa tersiksa. Gadis yang dicin­tanya itu, sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu menda­yung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang menda­yung mundur, gadis itu yang mengemudi­kan dengan dayung lain.
Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata,
“Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sa­na, sute,” Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hati­nya keras sehingga kadang nampak galak.
Mereka mendekatkan perahu ke pantai lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di ba­gian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak. Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Ba­yangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar. Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekeras­an, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu a­kan membuat harapannya untuk memperis­teri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermain­kannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau meman­dang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian. Gadis i­ni merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti bia­sa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang. “Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat in­dah pemandangan di sini, indah menye­nangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu....”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. “Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya sa­ja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alang­kah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menja­di isi hati sutenya itu.
“Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu....”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri....”
“Sute....!!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia meng­anggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”
Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute....!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang mem­bicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalas­nya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasih­anilah aku....”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum a­ku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantu­anmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab ka­lau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok! Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun “ada hati” kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak a­kan “tidak”, tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas “ya”, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupu berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kem­bali seperti biasa. Akan tetapi agak­nya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu. “Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha.”
“Baik, suci,” kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia ti­dak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.

***

Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu. Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puteri­nya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bong­kok, lebih bahagia lagi karena puteri­nya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan teta­pi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalah­kan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suami­nya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok! Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puteri­nya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Li­ong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?” Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pu­cat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya mem­bunuh suaminya. Akan tetapi, yang mem­buat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyang­kal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu. Pada pa­gi hari itu, ia tidak mampu lagi mena­han kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan o­rang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih. Ia hidup kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan mem­balas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan anta­ra mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan a­kan sikapnya, minta adiknya itu menga­kui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang tera­mat penting baginya, yaitu ia akan me­lakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk berma­in perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan anggapan o­rang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong mema­suki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak bermalam di sini,” ka­ta mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai ma­bok dan pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, ge­lang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seo­rang satu kalau kalian mau mencerita­kan semua hal dengan terus terang....”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir in­dah itu.
“Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pele­sir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok....”
Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan se­orang pemuda di sini?”
“Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakkh pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di si­ni?”
“Tidak! Baru sekali itu dia da­tang dan sampai kini tidak pernah mun­cul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal....”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam i­tu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kong­cu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hi­tam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek....”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pela­cur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudi­an, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru beru­sia tiga puluh tiga tahun itu, mening­galkan rumahnya, membawa buntalan pa­kaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya. Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya. Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bah­kan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam perja­lanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika ke­cil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang luma­yan, cukup untuk sekedar menjaga diri. Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamat­kan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan ke­malaman di bukit itu dan terpaksa ha­rus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan da­pat bertemu dusun lagi. Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat ke­terangan tentang dua orang yang dicin­tanya dan dicarinya itu. Menurut kete­rangan terakhir yang ia dapatkan, per­jalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan le­bih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini. Dengan hati ke­cut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lu­kisan seekor kala putih yang menyeram­kan.
“Heiii, ada seorang wanita berja­lan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya.... hebat!”
Sepuluh orang itu sudah mengepungnya dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar penuh rasa tegang dan gelisah. Namun, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!”
“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka. “Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, ten­tu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.
Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan Hong. Wa­nita ini sudah siap dan ia mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.
“Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.
Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.
“Wah, pandai juga bermain pedang, ya? Bagus, kalau melawan lebih menga­syikkan!” Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikknu tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya, ter­kejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.
“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai ia terluka!” Dan mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan tenaga.
“Trangggg....!” Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan i­ni dipergunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melari­kan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari me­ngejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti segerombolan srigala yang me­ngejar dan mempermainkan seekor kelin­ci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka. Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat te­naga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Akan te­tapi, sebelum putus asa, ia akan beru­saha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, ti­dak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghu­ni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!”
Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa ku­il itu adalah sebuah kuil tua yang a­gaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.

No comments:

Post a Comment