Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 20

Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu me­reka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan, Bagaimanapun juga, dia te­lah tiba di situ dan tidak mungkin da­pat mundur kembali. Maka, sambil mengucapkan terima kasih, diapun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui subuah taman yang indah. Ketika dia malewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan diapun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap sa­leh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wani­ta! Tak mungkin dia salah dengar.
Dua orang pendeta Lama itu memba­wanya ke sebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang dan di situ dia meli­hat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri ber­hadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan pan­dang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang la­lu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bu­kan Tibet Ngo-houw (Lima Harimati Ti­bet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahu­lu! Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk me­nyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mere­ka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima o­rang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka kemerahan kekanak-kanakan, berjubah merah dan memegang sebatang tong­kat pendeta yang berlapis emas, berwi­bawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, diapun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim Lama!
“Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pende­kar Bongkok?” kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar dan wajah yang kekanak-kanak­an itu mengeluarkan sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat kuat. Bu­kan main, pikirnya. Kakek ini bukan o­rang sembarangan dan akan merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan o­rang itu.
“Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan adapun julukan itu mung­kin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.”
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab. “Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa ber­maksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang di­maksudkannya itu. Namun, mereka berli­ma itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
“Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina o­rang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?” Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengan­dung kemarahan dan lengkingan suara i­tu makin meninggi.
Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah ter­lambat karena dia melihat gerakan ba­nyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap tenang. “Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!” Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. “Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berse­ru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!
“Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.”
“Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya anak ini!” Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru. Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
“Susiok (paman guru), perkenan­kan teecu (murid) menghajar bocah lan­cang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas di­layani oleh para suheng berlima!”
Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan dia­pun merupakan seorang di antara “dua belas besar” yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat. Dua belas orang pem­bantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.
Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.
“Sie Liong!” Ki Tok Lama memben­tak, “Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!” Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar. Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, ha­nya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong memberi hormat dan ber­kata dengan sikap tenang dan suara lembut. “Losuhu, maatkan saya. Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai....”
“Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantang­an pinceng?”
“Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantang­an ini.”
“Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima serangan­ku ini. Nah, sambutlah!” Ki Tok Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan kirinya yang membentuk cakar ta­di, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan karena tubuhnya ta­di meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
“Hyaaaaattt....!” Dia mengeluarkan pekik melengking.
Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun, masih be­lum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun, dia sudah membalik dan kem­bali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri.
Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur. “Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
“Haiiiiiitttt....!” Dia menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tu­pai melompat-lompat dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
“Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sie Liong berkata, suaranya semakin keras. Namun jawabannya adalah serangan yang lebih genas. Sie Liong merasa serba salah. Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tak mungkin dia hanya selalu mengelak. Ka­lau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada di dalam sarang Kim-sim-pai!
“Engkau sungguh memaksaku!” kata­nya dan ketika kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan sin-kang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.
“Dukk!” Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh te­naga, akan tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat ke depan, dia te­lah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.
“Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang sepasang senjata tajam?” Sie Liong memperingatkan. Sesungguhnya, merupakan pantangan bagi seorang pandeta untuk menggunakan sen­jata untuk membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan tidak bersenjata!
Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. “Jangan banyak mulut, cepat kaukeluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!” tantangnya.
“Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!” kata Sie Liong dengan harap­an agar lawannya itu merasa malu dan mundur. “Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Ti­bet Ngo-houw.”
“Tidak! Kaukalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara de­ngan kelima orang suheng Tibet Ngo-­houw!” si cebol berkeras.
Sie Liong menarik napas panjang. Ketika dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan diapun berkata, “Baiklah, ka­lau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.”
Sie Liong mempergunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepa­sang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya. “Lihat pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang lawan tanpa peringatan lebih dahulu. Dua gulungan sinar bekkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan. Tong­kat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemiki­an rupa sehingga ujungnya seperti ber­ubah menjadi belasan banyaknya. Dan u­jung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu!
Akan tetapi, di antara ujung-u­jung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke ar­ah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama. Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung. Dia lebih condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba teraaa lumpuh dan sepasang pedangnyapun terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Sie Liong menghenti­kan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata, “Lo­suhu, silakan mengambil kembali sepa­sang pedangmu.”
Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat, menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedangnya, siap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.
“Tahan senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”
Ki Tok Lama hanya memandang melo­tot ke arah Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani membantah perin­tah susioknya dan diapun mundur sambil menyimpan kembali sepagang pedangnya di balik jubah merah. Kiranya ketika Sie Liong mulai melayani Ki Tok La­ma tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-­houw. Setelah memerintahkan Ki Tok La­ma untuk mundur, Kim Sim Lama lalu di­am saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seper­ti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama bangkit dari bangku­nya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang. “Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi ada­lah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Sian-su?”
Sie Liong terkejut. Sungguh tajam pandang mata Thai Ku Lama ini, dan pe­ngetahuannya tentang ilmu silat amat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.
“Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su,” jawabnya jujur.
“Hemm, begitukah? Nah, sekarang katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus te­rang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.”
Sie Liong memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa sesungguhnya yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah seju­jurnya, benarkah kalian menjadi utus­an Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?”
Thay Ku Lama tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perut­nya, seperti suara katak besar. Pende­ta Lama ini memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, suatu pukulan yang dido­rong oleh tenaga dari perut yang kalau dia pergunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan ke­dua kakinya ditekuk dalam-dalam seper­ti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam.
“Ha-ha-ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!”
“Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.
“Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.
“Nanti dulu, losuhu. Pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?” Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lo­jin tentang guru mereka itu.
“Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.”
“Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang hendak diculik oleh para para pdndeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimada mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagalmana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?”
Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Tak disang­kanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia me­reka!
Akan tetapi Kim Sim Lama yang se­jak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa. “Ha-ha-ha! Omitohud.... Sie Taihiap agaknya me­ngetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng su­dah mencoba untuk mencegahnya karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama dan berdiri sendiri di sini, dan kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itulah sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama akan tetapi malah dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!”
Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Ten­tu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai La­ma, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percauya begitu saja, pula dia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.
“Terima kasih, losuhu. Akan teta­pi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bah­wa mereka hanya utusan dari Dalai La­ma, biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para to­su itu dengan pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.”
Akan tetapi, agaknya telah ada isyarat dari Kim Sim Lama, begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagal macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sanapun sudah tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mere­ka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya ti­dak begitu ramah lagi walaupun masih lembut.
Sie Liong menatap tajam wajah pe­mimpin Kim-sim-pai itu. “Ada apa la­gi, losuhu?”
“Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh kare­na itu, kalau engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai La­ma, hal itu sudah sepatutnya. Akan te­tapi, kalau engkau menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!”
Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawa­tir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk be­kerja sama atau dia tidak diperkenan­kan pergi meninggalkan tempat itu!
“Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki me­ngapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”
“Sie Liong!” Kim Sim Lama memben­tak, kini terdengar marah. “Dengar ba­ik-baik, pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang ke dua sesudah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”
“Losuhu, mati hidup bukan di ta­ngan siapapun, melainkan di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa! Kalau Tuhan sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Tuhan. A­ku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apapun yang akan menjadi akibatnya!”
Semua pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum. Pemuda ini, biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Li­ong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.
“Sie Liong, engkau masih muda a­kan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak ber­lebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanau. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka angkau berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang di antara kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.
Biasanya, kalau menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berli­ma. Akan tetapi kini yang mereka he­dapi hanya seorang pemuda bongkok, be­tapapun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendah­kan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku Lama sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu, maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan be­rangasan. Begitu menerima isyarat dari suhengnya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombgk karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja. Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, telunjuknya menu­ding ke arah muka Sie Liong.
“Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya me­mang sudah dikehendaki Tuhan bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu ke­pada Thay Bo Lama!”
Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Tuhan saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.
“Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga di sini. Maka, tentu aku tidak akan menye­rang siapapun, dan hanya akan membela diri kalau aku diserang.”
“Sombong! Sambutlah serangan tom­bakku ini!” Dia segera menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Ketika me­nyerang dengan tusukan, tombak itu me­luncur seperti anak panah saja, menu­suk ke arah dada Sie Liong! Sie Liong melihat gerakan ini dapat menduga bah­wa lawannya yang kurus kering seperti cecak mati kering itu agaknya memiliki tenaga yang amat besar. Untuk meyakin­kan dugaannya, diapun mengerahkan tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.
“Trranggg....!”
Dugaan Sie Liong memang tepat. Biarpun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan. Untung bahwa dia telah menduga sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena diapun sudah mengerahkan tenaganya ketika menyambut dengan tangkisan tadi. Di lain pihak, Thay Bo Lama yang terkejut. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental atau patah, bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!
“Bogus! Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Sian-su dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan pinceng!” bentak Thay Bo Lama sambil melintang­kan tombaknya di depan dada.
“Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!” ja­wab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.
“Hyeeeeeehhhh.... haittt....!” Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan nyaring, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan dada untuk mengumpul­kan tenaga sakti yang dipusatkan di kedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternya­ta memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.
“Wyuuuuuutt.... singgggg....!”
Ketika dielakkan, senjata itu menyam­bar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi dan selain mendatangkan sam­baran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan bardesing. Namun, Sie Liong dapat selalu menghin­dairkan diri dengan tidak terlampau sulit, menggunakan gerakan kedua kakinya yang lincah untuk membuat tubuhuya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak, dan kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!
Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih terdapat banyak lawan yang tentu akan ma­ju satu demi satu. Sebaliknya, kalau terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mere­ka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya! Jalan lari tidak mungkin lagi karena dia sudah terperosok ke da­lam sarang mereka. Bagaimanapun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya i­tu dengan gagah. Tiba-tiba dia memper­cepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung di bagian yang menekan dan menyerang.
Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian pula menyerangnya bagaikan gelom­bang lautan yang menyarbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melin­dungi tubuhnya sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan! Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih mu­da itu.
“Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!”
Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digem­bleng oleh Pek Sim Sian-su, maka tentu saja dirinya sudah “berisi” dan segala macam kekuatan sihir tidak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, namun cepat Sie Liong mengerahkan sin-­kang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya. Thay Bo Lama mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya menjadi lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi, diapun jatuh berlutut! Ternyata jeritannya mengandung perintah tadi disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.
“Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!” kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap ke samping. Sikapnya wajar dan sedikitpun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan ma­in. Setelah rasa kesemutan yang membu­at kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, diapun bangkit berdiri dengan muka me­rah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.
“Hyaaatt-ahh....!” Tiba-tiba Thay Bo Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah ke­pala Sie Liong. Pendekar Bongkok sudah mengenal sejak dahulu akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini, maka melihat ran­tai menyambar ganas, diapun merendah­kan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas kepalanya, kemudian diapun me­langkah maju mendekat. Rantai itu pan­jangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu se­tengah meter panjangnya tidak akan da­pat mencapai lawan.
Akan tetapi, Thay Bo Lama sudah menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis manyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung ra­cun. Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga terkanal memiliki pu­kulan beracun, juga pandai memperguna­kan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.
Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menja­di dua dan ternyata pendeta Lama itu kini memegang rantai di bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengah­nya! Dan dua batang rantai itu berpu­tar menangkis tongkat, bahkan membalas dengan serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerak­an menggunting. Kembali Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindar­kan diri dari guntingan sepasang ran­tai baja itu. Akan tetapi, dia mende­ngar angin bersiut ke arah kepalanya dari belakang. Cepat dia merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk me­nyambut penyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang sudah menyerangnya dengan curang sekali. Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, kini berbalik malah diancam tongkat yang menu­suk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan diapun terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka.
Pada saat itu, Thay Hok Lama su­dah pula menyerang dengan rentai baja­nya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk meram­pas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat di tangan pemuda itu terlepas. Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sin-kangnya, diapun membalas, menarik dan..... tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama pelepas­kan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.
Melihat betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang sutenya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun ke gelang­gang dan merekapun sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan. Thay Ku Lama yang bermuka co­det dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang bar­muka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kecil. Ketika itu, diapun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suhengnya, yaitu Himalaya Sam Lojin. Mereka adalah gurunya karena dia menerima gemblengan silat pertama dari mereka bertiga, akan tetapi merekapun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Sian-su yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin. Masih terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Sian-su dan juga sute dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh dan Tibet Ngo-houw da­pat dikalahkan dan diusir.
Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang La­ma yang amat lihai itu! Namun, dia sudah monerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Sian-su dan dia tidak merasa gentar sedikitpun juga.
“Hemm, aku datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi, dan ternyata se­karang Tibet Ngo-houw juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah ini­pun termasuk perintah Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!” Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka diapun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang dan tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka di saat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula! Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan mereka, yaitu Kin Sim Lama, yang tentu maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meskipun masih amat muda dan bongkok pula. Betapapun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan har­ga diri mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal i­ni mereka lakukan atas isyarat Thay Ku Lama orang pertama di antara mereka.
Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan, Thay Ku Lama di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri paling ujung sebagai ekor. Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau “tin” ini mirip garakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima dengan bergandeng tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penye­rang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang La­ma yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan tendang­an-tendangan saja.
Menghadapi lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik sekali. Maka, dia­ pun menduga bahwa mereka tentu akan mempergunakan suatu cara penyerangan yang istinewa, dan melihat cara mereka bergandeng tangan, diapun dapat menduga bahwa ini tentu semacam tin (barisan) dan cara bergandeng tangan itu menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sin-kang mereka. Ini berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi kekuatan sin-kang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kang mereka berlima disatukan, dia ha­rus berhati-hati sekali, terutama ka­lau hendak mengadu tangan!
“Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menan­dingi barisan kami!” teriak Thay Ku Lama dan “barisan” lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat lima o­rang pendeta Lama ini berjalan ber­iringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja. Akan tetapi Sie Liong sama sekali ti­dak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pande­ngaran telinganya, tak pernah melepas­kan gerakan lima orang lawan itu. Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengi­kuti mereka dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar le­her dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerak­kan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar la­wan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran di dalam lingkaran me­reka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menja­di lemah. Namun, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bu­kan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Ta­ngan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt....!” Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba ba­risan itu membalik dan kini “ekornya”, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti ke­dudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt....!” Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lu­bang di baju bagian dada itu, dan be­kas robekan menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Li­ong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang la­wan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-tho­uw Coa-tin telah bergerak lagi dan de­ngan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat. Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biar­pun dia terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah a­da pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya dia­pun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua o­rang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, a­kan tetapi ekor dapat pula menjadi ke­pala dan sebaliknya. Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan. Dan diapun melihat betapa tiga o­rang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat ba­nyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak be­bas, dengan kedua tangan saling ber­gandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tldak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun me­nemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di bagian “tubuh” atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt....!” Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua ta­ngan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter. Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, mak­lum betapa hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.
“Desss....!” Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti di­dorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhi­tungkan sehingga dia membiarkan diri­nya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan. Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang meng­hampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergu­lingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga u­jungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-te­ngah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-te­ngah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi ke­pala dan ekor barisan itu terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka. Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bah­kan menyerang dengan hebat ke arah ba­gian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu de­ngan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan ter­jepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bu­kan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tong­kat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu. Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera barge­rak, ada yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun, gerakan mereka malepaskan diri dari ikatan barisan tadi ter­lambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundak terto­tok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri. Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-tho­uw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun ta­ngan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, je­las bahwa barisan itu dapat dia pecah­kan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah. Tiga orang pen­data Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura. “Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menan­dingi barisanmu dan berhasil memecah­kannya, kenapa kalian malah mengeluar­kan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?” Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sute­nya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan ma­rah.
Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia monangadah, meman­dang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu! Bahkan Kim Sim La­ma sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seo­rang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sa­rangnya dan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk a­kal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan beta­pa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Sie Liong meng­hentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagah­an. “Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang se­batangkara yang tidak memiliki apa-a­pa, tubuhpun cacat, dan kematian bagi­ku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang pe­nuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadil­an. Demi kebenaran dan keadilan, mati­pun tidak apa-apa! Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian i­ni biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan Sie Liong berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia ka­lau hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main. Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga menga­yun rantai baja untuk melindungi sute­nya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya dise­rang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
“Tar-tar-tarrrr!” Thay Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong itu bagaikan seekor lalat menyam­bar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya totokan itu kalau me­ngenai sasaran, maka dengan sibuk dia­pun melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suhengnya dan membalas serangan Sie Liong.
Ketika pedang itu menyambar ping­gang dan leher, Sie Liong melempar tu­buh ke bawah dan bergulingan ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya sudah menyerang dengan tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw i­tu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong su­dah membalik ke belakang lagi untuk menyerang Thay Hok Lama!
Amukan Sie Liong itu mangejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu de­mikian cepat, membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit. Melihat ini, dengan muka merah dan ha­ti panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring.
“Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!”
Mendengar bentakan ini, para sutenya sadar dan mereka segera berlompat­an menjauhi Sie Liong dan membuat be­risan segi lima! Dan merekapun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit. Sie Liong tidak berani lagi menyerang seperti tadi karena maklum bahwa begi­tu dia menyerang seorang di antara mereka, yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng! Dia pernah mendengar dari Pek Sim Sian-su tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggautanya mempergunakan lima macam senjata sehingga su­kar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka. Akan tetapi diapun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Sian-su pernah menceritakan sifat dan kehe­batan Ngo-heng‑tin. “Dalam Ngo‑heng‑tin terdapat unsur Im‑yang pula, demikian kata kakek sakti itu. Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggauta diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada ang­gauta lainnya yang melindunginya, se­dangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggauta Ngo‑heng‑tin itu memiliki tenaga dan kepandainn yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian‑te Sin‑tung dan langkah‑langkah ajaib, tentu engkau akan dapat mempertahankan diri. Kalau engkau bisa memecahkan unsur yang paling membantu itu, baru engkau akan dapat mengacaukan pertahanan mereka. Usahakan agar engkau mengenal siapa di antara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin.” Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Sian‑su.
Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Go­lok di tangannya itu mula‑mula diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk sehingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang‑goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan tangan kirinya de­ngan jari terbuka mendorong ke arah Sie Liong. Uap hitam disertai angin keras menyambar ke arah Sie Liong. Itu­lah pukulan Hek‑in Tai‑hong‑ciang (Ta­ngan Angin Taufan Awan Hitam) yang a­mat berbahaya. Sie Liong mengenal pu­kulan ampuh, maka diapun melempar tu­buh ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia meng­gerakkan tongkatnya menangkis, lalu membalas dengan totokan‑totokan ke a­rah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!
Menghadapi jurus hebat dari Thian‑te Sin‑tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tu­buhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain melindungi se­hengnya, juga ujung cambuk itu berusa­ha membelit tongkat untuk merampasnya!
Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya.
Dia meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama, akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke depan, menggerakkan pedangnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay Pok Lama, kemudian ujung tongkat digetar­kan untak menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian. Thay Hok Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis, dan pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah meng­gunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta La­ma ini bergabung dan menyerang Sie Li­ong.
Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tehulah Sie Liong bahwa benar seperti dikatakan gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu. Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan melindungi suhengnya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan diapun sudah menyerang Thay Bo Lama! Dia sudah memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, diapun menarik kembali serangannya dan tiba-tiba dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu! Serangannya sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang dahsyat, juga tangan kirinya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya melakukan hantaman dengan ilmu Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.
Thay Hok Lama terkejut bukan main dan memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti telah menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu, namun baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya pura-pura itu, maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melinduagi diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain. Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Dia mampu monang­kis tongkat, akan tetapi tidak mampu manghindarkan diri sama sekali dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memu­kulnya. Namun dia masih berusaha me­nangkis dangan tangan kirinya.
“Desss....!” Tubuh Thay Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.
Tentu saja para Lama yang lain menjadl terkejut bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!
Tiba-tiba nampak bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pende­ta telah berada di tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.

No comments:

Post a Comment