Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 14

“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya silu­man ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
“Kiranya siluman merah adalah seorang wanita! Sungguh engkau jahat se­kali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini me­ngandung tenaga dorongan yang amat ku­at. Sie Liong menyambut dengan dorong­an tangan kiri pula, sambil mengerah­kan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan ter­dorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!” Tangan kirinya bargerak dan sinar-sinar hitam lembut me­nyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah ja­rum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat! Sie Liong menggerak­kan payungnya yang terbuka dan sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lem­but yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia me­mandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun. Ribut­lah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan, akan tetapi mereka sege­ra cerai berai ketika dua orang di an­tara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-di­am diapun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta! Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaynya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok dan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie Taihiap....!”
Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bong­kok itu kini nadanya bukan menghina a­tau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke a­tas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wa­nita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka ha­rap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Ka­lau saudara sedusun bersatu melawan­nya, tentu ia tidak akan dapat menga­cau lagi.”
Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap si­luman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wa­nita? Sukar membayangkan seorang wani­ta selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih seka­li kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Me­ngapa menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana ia membawa gadis-gadis i­tu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculi­k, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang­ menyamar siluman. Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit i­tu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bu­kit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembu­nyi di antara pohon-pohon raksasa se­hingga tidak akan nampak dari luar hu­tan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru ku­rang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di te­ngah bangunan itu. Karena mereka sela­lu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pu­la hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan i­tu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mere­ka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri sauda­gar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum mera­sa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat li­hai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut te­guran tak puas di dalam ruangan di ru­mah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang le­bih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebu­ah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pen­deta dan kepalanya dicukur licin, na­mun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha). Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bah­wa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya du­duk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima pu­luh tahun, semua memakai pakaian ring­kas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman me­rah sendiri dan kini ia sudah menang­galkan topengnya. Kalau Sie Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua ten­tu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan te­lah berhasil membalas dendamnya terha­dap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk. “Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!”
Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu. “Paman, silakan!”
Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan.” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga un­tuk mewakili subo-mu membantu pekerja­an kami yang besar. Awas serangan!” Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menye­rang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat ba­gi Pek Lan yang dengan mudah sudah me­ngelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong. Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng di sini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya i­tu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Un­tung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjut­kan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan il­mu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali. “Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbela­lak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya se­tinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak berani....”
That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh. “Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kaulihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi ka­rena aku sudah tua, aku wakilkan pada­mu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya, me­nyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang meme­rintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? A­pakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang a­kan mampu melaksanakan tugas ini seba­iknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambah­an pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas o­rang. Kita akan memilih dari dusun-du­sun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Me­mang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pende­ta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku....?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengata­kan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?” Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pende­ta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh se­perti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
“Paman Thai-yang Suhu, aku sang­gup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kauminta?”
“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh kepadaku.”
Mendengar permintaan ini, sepa­sang mata Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu men­jelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bu­kanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir kepadamu, Pek Lan, asalkan eng­kau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”
Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi men­jawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!”
“Ho-ho-ho, sekali ini engkau ter­jebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaan­nya! Engkau lupa bahwa engkau seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tam­pan, digilai banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”
Mendengar ucapan subonya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang me­mang tampan itu, dan wajahnya berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau be­nar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun tidak berkeberatan!
Kalau burung berkelompok karena persamaan bulunya, manusia berkelompok karena persamaan selera dan cara hidupnya. Kalau sekelompok orang sama-sama menjadi hamba nafsu, tentu mereka da­pat menjadi akrab dan bersahabat. Kegemaran mereka sejalan dan sama, yaitu pemuasan nafsu dan pengejar kesenang­an. Celakah orang yang hidup sebagai hamba nafsunya sendiri, tanpa menyadari bahwa nafsu yang menyuguhkan segala macam kesenangan itu sesungguhnya merupakan musuh yang paling jahat, yang a­kan dapat menyeret para hambanya ke dalam lembah duka dan kesengsaraan. Ke­nyataan ini bukan berarti bahwa nafsu adalah sesuatu yang amat buruk dan ha­rus dilenyapkan dari diri kita. Sama sekali tidak! Nafsu sudah ada semenjak kita lahir. Nafsu, karena itu, juga merupakan anugerah Tuhan. Tuhan telah mengikutkan nafsu kepada kita sejak la­hir, seperti juga mengikutkan hati, perasaan, pikiran dan semua anggauta ba­dan kita. Seperti juga yang lain itu, nafsu hanya merupakan pelengkap, meru­pakan alat, bahkan alat hidup yang penting sekali. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsulah yang membuat kita bergairah, untuk bekerja, untuk makan, untuk minum, bahkan dalam setiap panca indera kita, nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mendengar, melihat, mencium dan sebagainya. Nafsu pula yang mendorong manusia untuk saling menghubungi lawan jenisnya sehingga manusia dapat berkembang biak. Sesungguhnyalah, nafsu merupakan alat yang teramat penting dan baik, nafsu merupakan hamba yang amat setia dan berguna. Akan tetapi, daya-daya rendah kebendaan, yaitu ikatan kita dengan segala macam benda ciptaan manusia sendiri, daya rendah tumbuh-tumbuhan dan hewam yang memasuki tubuh kita melalui makanan, daya rendah jasmani yang menimbulkan ikatan antar manusia dalam hubungannya, semua itu saling berlomba melalui nafsu untuk menjadi majikan atas diri manusia. Dan nafsu yang dapat menjadi hamba paling baik itu, sekali dibiarkan menjadi majikan, akan memperbudak kita. Jiwa yang merupakan unsur paling murni di dalam diri, tertutup dan tidak berdaya sehingga diri sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Setiap pikiran, kata-kata dan per­buatan kita bergelimang nafsu! Dan be­tapapun manusia berusaha untuk member­sihkan diri dari nafsu, untuk membebaskan diri dari cengkeraman nafsu yang memperbudak kita, semua usaha itu akan sia-sia dan gagal. Karena usaha itu a­dalah hasil dari pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula. Tidak mungkin pikiran yang bergelimang nafsu ini membersihkan pikiran sendiri dari nafsu. Usaha itu masih berputar di dalam lingkaran yang dikuasai nafsu. Hanya kekuasaan yang berada di luar lingkaran itu sajalah yang akan mampu membebaskan kita. Dan kekuasaan itu adalah kekuasaan mutlak, yaitu kekuasaan Tuhan! Karena nafsu merupakan ciptaan Tuhan, maka kekuasaan-Nya sajalah yang akan mampu me­ngatur, akan mampu membersihkan jiwa dari gelimangan nafsu, dan akan mampu membuat nafsu menduduki tempat yang semestinya, yaitu sebagai alat hidup ma­nusia, bagaikan kuda penarik yang ji­nak dan penurut, bukan liar dan binal! Dan kekuasaan Tuhan pasti akan bekerja selama kita tidak mengagungkan diri sendiri yang sesungguhnya rendah, me­nyombongkan kekuatan sendiri yang sesungguhnya lemah. Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita mawas diri, melihat kenyataan betapa kecil kita ini di ha­dapan kekuasaan Tuhan, kalau kita ren­dah hati lahir batin dan menyerah kepada Tuhan dengan ikhlas, tawakal dan sabar.
Demikianlah, semenjak saat itu, Pek Lan membantu Thai-yang Suhu, to­koh Pek-lian-kauw itu dan dengan ilmu­nya yang tinggi, Pek Lan membantu pen­deta palsu itu menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping i­tu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu. Sebalik­nya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa pu­as dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.
“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh ca­cat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan memalukan sekali!” Demikian berka­li-kali Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut.
“Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku ha­nya mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami be­lum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak ne­kat kalau ratusan orang penduduk bera­da di belakangnya?”
Thai-yang Suhu mengerutkan alis­nya pula. “Hemm, tentu si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama dia berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka ten­tu akan sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”
“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para pendu­duk menjadi gentar lagi dan mereka ti­dak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sinto (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto sege­ra bangkit dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang, “Sam Sinto, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi le­mah itu, dan biar aku yang akan menan­dingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”
Tibet Sam Sinto tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mere­ka berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!”
“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan sampai ga­gal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan sia­sat yang matang,” kata Thai-yang Suhu.
Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi te­lah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia mampu berla­ri cepat dan bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat, anak buah itu lalu bercerita. “TIdak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Lo suhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa nama­nya dan bagaimana riwayatnya. Yang je­las, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”
“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomai­ma?” tanya pula Thai-yang Suhu tak sa­bar.
“Dia masih bermalam di rumah pe­nginapan, akan tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan puluhan o­rang melakukan penjagaan secara bergi­liran.”
“Hemm, aku tidak takut! Mari kita sekarang juga mencari si bongkok itu di rumah penginapan!” kata Pek Lan ge­mas.
“Tidak,” bantah Thai-yang Suhu. “Sudah kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita usaha­kan untuk memberi tanda merah lagi pa­da pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha, justeru itu yang kuhen­daki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan mengahadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau men­culik gadis itu. Kalau si bongkok mun­cul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”
Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinyapun merasa tenang. Kalau Thai-yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pende­kar Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena kegagalan mencu­lik puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan mem­bantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar.

***

Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbaha­ya. Maka, biarpun dia melangkah te­nang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan telinganya menyelidiki keada­an di sekelilingnya.
Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia menda­ki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah diikuti oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi ke­lihatan oleh anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta Pek-lian-kauw itu. Mendengar bahwa Pende­kar Bongkok sudah datang berkunjung dan mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri. Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sinto, mengatur siasat. Thai-yang Su­hu, biarpun nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak segan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok a­gar mereka dapat bertanding secara ga­gah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhi­tungkan demi keuntungan pihaknya. Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai, mengapa tidak diu­sahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan seta­pak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hu­tan, pada jalan menurun, tiba-tiba sa­ja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang dita­kuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di tepi te­laga. Air telaga demikian jernih, ba­gaikan kaca yang berada di depan kaki­nya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik. Di sebelah sana, di mana permu­kaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua peman­dangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tengge­lam dan nampak sedemiktan jelasnya se­hingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeli­ling telaga itu.
Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh ke indahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wa­jahnya cantik manis dengan bentuk bu­lat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik. Gadis itu duduk di atas batu dan dia me­lihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.
“Heiii....!” Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong mena­han kakinya dan membalik, memamdang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.
“Heii, siapakah engkau? Apakah engkau hendak mandi? Marilah, kita bo­leh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!”
Kedua pipi Sle Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, ti­dak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia la­lu pergi tanpa banyak bicara lagi. Ga­dis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelan­jang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.
Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan nada suaranya amat menye­sal penuh teguran. “Engkau ini orang macam apakah? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong engkau! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?”
Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.
“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas. “Kiranya engkau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelan­jang bulat? Bukankah ketika engkau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya ka­lau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan me­ngintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya mencuri-curi, hi-hi-hi!”
Sie Liong merasa mendongkol juga.
Gadis ini aneh sekali, akan tetapi e­jekannya tadi memang mengena! Dia men­dengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membu­at dia tahu bahwa gadis itu memang be­nar kini sedang mengenakan pakaian.
“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kaulihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau berte­lanjang? Lihat baik-baik!”
Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang can­tik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung kegenitan dan kecabulan! GadiS itu tersenyum.
“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah da­ri batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal i­ni saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali.
Ketika dari batu terakhir ia me­lompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpe­leset dan iapun jatuh miring di atas tanah.
“Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!” Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan li­ar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membu­at ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan i­tu tidak mendapat tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.
“Aduh, tolong....! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam se­hingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!” Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka me­nolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan menggunakan tangan kanan un­tuk memegang tangan kiri yang dijulur­kan itu. Dia kelihatan sama sekali ti­dak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merang­kul leher Sie Liong dan merapatkan pi­pinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis i­tu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang ha­ngat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka diapun me­langkah mundur merenggangkan diri sam­bil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu beru­bah menghitam. Gadis itu telah memper­gunakan pukulan maut!
“Huhh....!” Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
“Hyaatt....!” Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!
“Hemm, keji sekali....!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya mela­yang ke belakang. Tendangan itupun luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu berka­ta dengan nada suara mengejek. “Bagus sekali, kiranya selain kejam dan mela­kukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!”
Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pende­kar Bongkok sedemiktan lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga ti­dak mudah ditipu dengan pura-pura ja­tuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
“Bagaimana.... kau bisa tahu?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.”
“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!” Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Meli­hat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula. Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan ju­ga amat jahat. Maka, diapun cepat me­ngerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, dia­pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang amat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dah­syat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tu­langnya serasa retak dan tubuhnya ter­getar hebat! Dan kalau pemuda itu mem­balas, angin pukulannya menyambar se­perti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia me­nangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat. Juga penggunaan hawa bera­cun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi se­macam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan ilmu si­hir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil si­buk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”
Sie Liong terkejut sekali, ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk me­nyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat. Dia­pun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan se­nyum dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya benar-benar ber­lutut, Pek Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh ke­cantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka iapun lalu me­nubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar hari­mau, menyambar ke arah ubun-ubun kepa­la Pendekar Bongkok.
“Haiiiittt....!” Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tu­buh Pek Lan melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pende­kar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya yang montok itu terasa nyeri bukan main. Ia melon­cat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia ti­dak bermaksud membunuh orang. Bagaima­napun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik ga­dis-gadis itu. Kini, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan me­nyerangnya dengan pedang, dengan perma­inan pedang yang cukup berbahaya, dia­pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia me­rasa seolah melawan bayangan saja, de­mikian cepatnya gerakan Pendekar Bong­kok.
“Hentikan seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kauculik, dan aku akan memaafkanmu!” Pendekar Bong­kok berseru beberapa kali, namun seba­gai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok me­ngelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu ta­ngannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.
“Tukkk!” Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan gerakan memutar, ia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu men­cengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!
“Ihh....!” Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sa­ma sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena malu. Namun baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat me­rampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh a­mat lihai. Namun, ia masih merasa penasaran, apalagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantu­nya.
Benar saja, ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak tadi hanya mengintai sambil menonton saja dan ba­ru mereka muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini ti­dak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihai­an Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto untuk maju membantu.

Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakan mereka aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin dan juga Pek-sim Sian-su tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh. Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana dia tadi mendengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak ta­ngannya. Orang itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan la­in adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.
“Dukk!” Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon. Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar sebatang ranting sebesar lengannya dan ranting itu pa­tah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong setelah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjang­nya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur. Di lain pihak, Thai-yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika dia menangkis, ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun pemuda bongkok itu terpaksa meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengan­nya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa pemuda i­tu tadi mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sin-kang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw, dan me­ngertilah dia kini mengapa gadis can­tik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mende­ngar tentang sepak terjang aliran aga­ma sesat Pek-lian-kauw yang bersembu­nyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana o­rang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu berahi. Dia se­ring kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
“Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!” kata Sie Liong sambil berdi­ri tegak dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, de­ngan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai-yang Suhu yang kini tidak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menu­dingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang ber­wibawa.
“Orang muda, siapakah engkau se­sungguhnya? Selamanya belum pernah ka­mi mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerja­an kami! Bicaralah, orang muda. Pin­ceng adalah Thai-yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih da­ri Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?”
Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya dan sepasang mata­nya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!
“Thai-yang Suhu, engkau seorang yang berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata kependetaanmu itu hanya kedok saja, seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!”
“Bocah bongkok keparat sombong! Toasuhu, kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!” bentak seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga sudah ma­rah sekali, sudah siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai-yang Suhu membe­ri isarat agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, me­lontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sam­bil membentak lebih dulu dengan suara parau.
“Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!”
Sungguh hebat! Benda yang dilon­tarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong!
Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas den mengerahkan tenaga khi-kang, lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. “Kekuasaan iblis takkan pernah mampu mengalahkan kekuasaan Tuhan lewat manusia!” Dan tangan kirinya itupun dengan pengerahan sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan naga itupun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai-yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah teng­korak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja!
Thai-yang Suhu terbelalak, menyam­bar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak maka ke­tika dipungut oleh pemiliknya, hancur berantakan.
Thai-yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan diapun menggerakkan sepa­sang pedangnya, menyerang ke arah Pen­dekar Bongkok. Pada saat itu, Pek Lan juga menggerakkan pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam Sinto yang sudah pula menggerakkan golok mereka.
Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya! Lima orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan sudah menggerakkan senjata, terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia. Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata “senjata rahasia” itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal seba­tang tongkat. Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan amat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar memiliki kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung dan mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan lima o­rang yang semua memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan dia sudah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun menyambar-nyambar dahsyat bagaikan badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang bagaikan kilat cepatnya menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai-yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang amat hebat! Biarpun dia sendiri maju dibantu Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus secara bergantian, dan seti­ap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.
Thai-yang suhu adalah seorang to­koh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang amat lihai di samping ilmu sihir­nya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, ten­tu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, diapun membentak agar para pembantunya minggir.
“Minggir semua, biar pinceng sendiri menghadapi Pendekar Bongkok!” bentaknya. Mendengar ini, Pek Lan den Ti­bet Sam Sinto berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga pende­ta gundul tinggi besar itu kini berha­dapan sendirian saja dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.
“Thai-yang Suhu, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan de­ngan siapapun juga. Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian membebas­kan gadis-gadis yang telah kalian ta­wan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang perbuatan jahat itu.”
“Pendekar Bongkok, kaukira pinceng takut padamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir agar pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!”
“Hemm, Thai-yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su,” jawab Sie Liong sejujurnya.
“Wah! Kiranya murid para tosu pe­larian dari Himalaya!” seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai-yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Hima­laya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Sian-su membuat dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan telah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga, Thai-yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jerih.
“Bagus, sekarang bersiaplah eng­kau untuk mampus!” Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Li­ong. Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecu­rangan para tokoh Pek-lian-kauw. Begi­tu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya dan semua ja­rum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
“Pendeta palsu yang licik dan cu­rang!” bentak Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanan menyambar dari atas ke arah kepala Sie Liong sedangkan pedang kiri me­nangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas de­ngan serangan yang tak kalah dahsyat­nya. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Akan tetapi dua gulungan sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang bermain di ang­kasa. Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok merupakan ilmu tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Pula, pendeta itu kalah cepat gerakannya dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta itu juga kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman bertanding sa­ja, dan di samping itu, Sie Liong ber­sikap hati-hati sekali, karena dia ta­hu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak dan hal ini membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.
Betapapun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sinto yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sukar sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar Bongkok. Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal ini membuat Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri. Hal ini, sama sekali tak disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu, dia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang, dan dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan segera me­ngerahkan daya serangan tongkatnya ke­pada Pek Lan.
“Trang....! Trangggg....!” Bunga api berpijar ketika dua kali pe­dang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.
“Ihhh....!” Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pe­dang tergetar hebat, hampir saja pe­dangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai-yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan se­hingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nya­ring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja a­mat berbahaya bagi Pendekar Bongkok! Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia ce­pat memutar tongkatnya sehingga tong­kat itu membentuk bayangan seperti pa­yung yang melindungi tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, a­kan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sinto roboh!

No comments:

Post a Comment