Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 22

Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hor­mat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. A­kan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendi­ri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesa­baran, keagungan dan kebesaran hati.
Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah dise­diakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bah­wa di belakang Dalai Lama terdapat se­helai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagai­kan arca-arca mati saja. Bouw Tok mak­lum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan o­rang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.
“Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, ma­ka katakanlah semua keperluanmu ber­kunjung ke sini, taihiap.”
Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu. “Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas sa­ya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi ka­rena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya lang­sung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.”
Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar dise­butnya nama Tibet Ngo-houw tadi.
“Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?”
Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada di balik sutera putih di bela­kang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai La­ma masih bertanya lagi?
“Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu.”
Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. ­“Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?” Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan mun­cullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lem­but. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.
“Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang a­kan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama.” Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu.
Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan ta­ngan menunjuk pintu samping dan berkata, “Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah.”
Mereka bertiga keluar dari ruang­an itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang ti­dak begitu besar. Ruangan inipun ko­song dan hanya ada sebuah meja dan be­berapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun duduk menghadapi mereka.
Tentu saja Lie Bouw Tek masih i­ngat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan ke­luar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itu­lah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat dibayangkan keli­haiannya.
“Taihiap, pinceng (saya) meme­nuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada tai­hiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Da­lai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pandeta Lama yang ketika itu di­pimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai La­ma baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehing­ga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menja­di Dalai Lama.”
Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia menolongnya babe­rapa tahun yang lalu bahwa Dalai Lama ketika kecilnya menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet sehingga timbul pertem­puran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang mempertahankan­nya.
“Itulah yang aneh, lo-suhu,” katanya. “Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa membela Dalai Lama ketika masih kecil, kenapa sekarang Dalai Lama yang mulia dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari Himalaya, bahkan memusuhi para tosu Kun-lun-pai?”
Kong Ka Lama menarik napas panjang. “Omitohud.... memang demikianlan agaknya yang dikehendaki mereka yang hendak merusak nama baik yang mu­lia Dalai Lama. Dengarkah, taihiap, akan pinceng lanjutkan penjelasan itu.” Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu melanjutkan ceritanya.
“Karena ketika diangkat menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama ketika terjadi pertempuran memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya banyak yang mengungsi ke Kun-lun­-san.”
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan plhak Kun-lun-pai, lo-suhu.”
“Omitohud, memang tidak ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, nanti taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil, juga pembimbingnya ketika beliau masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja beliau tidak suka mendengar tentang permusuhan, apalagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apalagi yang dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara mereka pernah membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim Sim Lama tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah bentrokan!”
“Hemm, terjadi pemberontakan, begitukah maksud lo-suhu?”
Pendeta Lama itu mengangguk. “Se­macam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia pun meninggalkan Lasha, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat di sekitar Tela­ga Yam-so, sebelah selatan Lasha. Akan tetapi, karena sampai sekarang mereka tidak pernah melakukan gerakan pembe­rontakan, Dalai Lama mendiamkan saja, bahkan memesan kepada kami semua agar tidak membuat keributan dengan Kim-sim-pai, apalagi mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua di sini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?”
“Omitohud....! Sungguh hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui banwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, bukan lagi uutuk membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, memusuhi Dalai Lama.”
“Ah, betapa liciknya!” Bouw Tek berseru. “Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang teramat pen­ting ini.”
“Omitohud, sukurlah kalau taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai dan para tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka memberitahukan keadaan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, sejak dahu­lu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama.”
“Akan tetapi, apakah perbuatan i­tu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama....”
“Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil kebijaksanaan dan apapun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap agar taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”
Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong bangkit berdiri. “Maaf, lo-suhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami.”
“Hemm, urusan apakah itu, taihiap?”
“Sie-toanio ini datang ke Lasha untuk mencari dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang ga­dis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang berna­ma Sie Liong dan terKenal dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha. Kalau ba­rangkali lo-sunu dapat memberi keterangan tentang mereka....”
Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.
“Hemm, jadi, toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio ini, ka­mi tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok.... hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lasha, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pu­la menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta Kim-sim-pai.”
“Aih, terima kasih, lo-suhu. Dapatkah lo-suhu memberitahu, di mana dia sekarang?” tanya Lan Hong yang se­jak tadi tidak pernah ikut bicara.
“Menurut penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lasha, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak bush kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam urusan Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka kamipun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio.”
Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi dan diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung kekhawatiran.
“Aih, toako. Apa yang hurus kulakukan sekarang? Aku ingin cepat menyu­sul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku memba­yangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku....”
“Tenanglah, Hong-moi. Biar aku akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok dan aku akan mengajaknya ke sini menemuimu.”
“Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga.”
“Akan tetap hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Da­erah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari adikmu di sana.”
“Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang susah payah menempuh bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!”
“Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagaimana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aih, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi....” Suara pendekar perkasa itu tiba-tipa agak gemetar. “.... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau terancam bahaya. Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!”
Melihat pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja tidak sedang meng­hadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walaupun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.
“Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu de­ngan dirimu, maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja....”
Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu, biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, namun keduanya merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan, saling manyayang, saling mencinta dan merasa ngeri ka­lau-kalau saling kehilangan!
“Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berha­ti-hati dan membuat persiapan. Aku a­kan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga Yam-so.”
“Terima kasih, toako. Selama hi­dupku, aku tidak akan pernah dapat me­lupakan semua budi kebaikanmu ini,” kata Lan Hong lirih dengan suara mengan­dung isak haru.

***

Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Te­laga Yamso). Letaknya di sebelah sela­tan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di sepan­jang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi, penuh de­ngan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India. Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hi­dup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini ber­munculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Ne­pal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, se­dangkan pihak Kim-sim-pai juga berjan­ji bahwa kelak, kalau mereka telah me­nguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Ka­lau mereka itu kadang hanya minta de­ngan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena i­tu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari da­erah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
“Sute, berhenti dulu!” kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.
“Ada apakah, suci?” tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
“Lihat, sute, betapa indahnya pe­mandangan di sini. Lihat telaga di ba­wah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah se­kali!”
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau suci­nya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang me­mang amat indah itu.
“Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!”
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua le­ngannya sambil menghirup udara yang a­mat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
“Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?”
“Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian me­nyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempu­nyai banyak waktu untuk menikmati tem­pat indah ini.”
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayang­an orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak o­rang di sekitar tempat itu.
“Ada orang....!” bisiknya.
“Mereka mengepung kita!” Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka te­lah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula o­rang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.
“Mereka orang-orang asing....” kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, “Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!”
Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiapsiagaan, ka­kak adik seperguruan ini berdiri de­ngan saling membelakangi.
“Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,” bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tigapuluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu a­gak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
“Hei, kalian dengarlah baik-baik!” Bi Sian berseru dengan suara lan­tang. “Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?”
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya a­neh dan lucu. “Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah ka­lian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!”
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penja­hat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang. “Maafkan kalau tanpa disenga­ja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.”
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, “Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan da­mai!”
“Kalau kami tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
“Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!”
“Singg....!” Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). “Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!”
Bong Gan juga sudah menyambar se­batang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
“Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!” Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan su­cinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
“Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!” bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
“Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian. Dara itu menganggap mereka i­tu bukan orang jahat, hanya akan me­nangkap dan tidak membunuh, oleh kare­na itu iapun tidak ingin sutenya mela­kukan pembunuhan sehingga menanam per­musuhan yang semakin dalam.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah ma­kin dekat dan dua orang murid Koay To­jin itu siap bergerak menyerang penge­royok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
“Tahan....! Jangan bertempur!”
Para pengepung itu menahan senja­ta mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.
Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-o­rang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya.
“Hemm, kiranya kalian berdua, se­orang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Su­hu mengamati pedang di tangan gadis i­tu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari per­kumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Aga­ma Teratai Putih), sekiranya pedang i­tu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.
Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ke­tika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian a­mat manis, namun ia tidak mampu berga­ya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya un­tuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan a­dalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang se­tia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
“Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terja­di karena kalian telah melanggar wila­yah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang ga­gah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-o­rang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini,” katanya kepada Thai-yang Suhu. Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi dibandingkan pemu­da itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah! Maka ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main tidak bertanding sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itu­pun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.
Thai-yang Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik me­lihat pedang di tangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mengu­ji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pe­dang biasa saja. Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pe­dangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di tangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka diapun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.
“Siancai.... harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya i­ngin menguji, karena hanya melalui pertandingan silat maka perkenalan menja­di erat. Nah, silakan, nona!”
Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biarpun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan.
“Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja melanggar wilayah siapapun juga. Wilayah ini bukan peka­rangan, tidak dipagari, melainkan pe­gunungan dan telaga. Bagaimana aku ta­hu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!”
“Siancai....! Nona memang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!” kata Thai-yang Suhu sambil menggerak­kan pedang pinjamannya, mengirim se­rangan gertakan ke arah kepala gadis itu. Bi Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah menyambar ke depan, menusuk ke arah dada merupakan sinar pu­tih berkelebat.
Thai-yang Suhu terkejut dan cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.
Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan menyerang Pek Lan yang menyambut dengan pedangnya. Merekapun bertan­ding dengan seru, tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertan­ding.
Thai-yang Suhu mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya dan mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.
“Trangggg....!” Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan pendeta Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang perajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.
Thai-yang Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan diapun melempar gagang pe­dangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. “Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”
Pada saat itu, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan iapun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. “Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali. Per­kenalkanlah, kami berdua adalah saha­bat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?”
Sebelum Bi Sian menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan sudah menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, melainkan hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Li­ong dan berjuluk Pendekar Bongkok....!”
Bi Sian memberi isyarat kepada sutenya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah memperke­nalkan nama mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, a­lis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.
“Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat karena kamipun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”
Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.
“Enci Pek Lan,” kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?” Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. “Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya ka­lau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita su­dah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.”
Bong Gan menoleh kepada sucinya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, “Suci, kita ti­dak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati un­tuk menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?”
Bi Sian tidak melihat pilihan la­in kecuali mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga seba­tang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona.”
Bi Sian merasa bangga dengan pe­dangnya. Ia menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, “Totiang (bapak pendeta), pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.”
Makin giranglah rasa hati Thai-yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bah­kan menjadi lambang dari perkumpulan­nya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimanapun juga, pedang itu harus dapat menjadi milik­nya!
Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebu­ah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja maja layaknya. Dan di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya, karena telah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para perajurit anggauta pasukan pembe­rontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Slan dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka de­ngan ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian a­khirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepada­nya.
“Harap jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. “Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini telah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan da­pat menangkapnya.”
“Apa yang diucapkan Pangeran Ma­ranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,” kata Pek Lan. “Betapapun lihai­nya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apala­gi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pende­kar Bongkok!”
Mereka makan minum sambil berca­kap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemeribtah Da­lai Lama di Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Ne­pal itu maupun Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin meli­batkan diri dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemu­kan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
“Nona, cicipilah masakan ini!” kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya ti­dak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu. “Ini adalah masakan aseli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang dia­gungkan!”
Bi Sian tertarik, dan merasa ti­dak enak untuk tidak memperhatikan ka­rena dikatakan bahwa masakan itu ada­lah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
“Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?” tanyanya, masih merasa ra­gu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walaupun bau­nya sedap dan masih mengepul panas.
“Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung biruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan sebuah binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!” Pangeren itu mempergunakan sebuah sen­dok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”
Bong,Gan tersenyum. “Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, a­kan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”
Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
“Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan dan ragu. Ketahuilah bahwa Pa­ngeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat dan ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung biruang itu memang hebat dan aku sendiripun sudah mesana­kan khasiatnya!” kata Pek Lan.
“Siancai, memang benar sekali,” kata pula Thai-yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa seperti muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sin-kang!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun ti­dak berkeberatan lagi untuk makan ma­sakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak da­ri pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya­ pun hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.
“Suci, kau kenapakah....?” katanya lembut sambil menyentuh pundak ga­dis itu.
Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
“Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening....”
Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Stan mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”
Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang le­bar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemu­da ini mengerti.
“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”
“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Ka­mar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”
“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian bardua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.
“Aku.... aku pening.... mau tidur....!” katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
“Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!”
Bong Gan memapah suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika mera­sa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
“Sute.... kenapa.... kau di sini....? Aku mau tidur, pergilah....”
Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang. “Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”
Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
“.... kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku mau tidur....”
Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya di­belai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dun membelai ke­dua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.
“Sute.... jangan begitu....”
“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya. “Jangan, sute.... jangan....” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan gadis itu, di luar kesadaran­nya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya, ketika pe­ngaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bu­gil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil! Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara sucinya membentak dan jelas bah­wa sucinya marah bukan main.
“Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan ge­lisah.
“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. “Sudah.... sudah kupakai, suci....”
Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan sudah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
“Suci.... kenapa.... kau hendak membunuhku....?”
“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang telah kaulakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kaulakukan? Keparat engkau!”
“Suci! Apa.... apa yang kulakukan....? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku.... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita....” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “.... suci, sayup-sayup aku teringat.... bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?”
Wajah yang cantik itu menjadi me­rah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
“Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk....”
“Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak? Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci....”
“Jangan sentuh aku!” bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah. Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.
“Suci....!” Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang. Akan teta­pi Bi Sian tidak berhenti, tidak meno­leh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepa­gi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan mengenakan pa­kaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan ter­senyum dan wajahnya berseri.
“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi....!” katanya dengan suara merdu dan gembira.
“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian de­ngan pedang melintang di depan dada.
Pek Lan terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu i­ni?”
Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”
“Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukan­kah sejak saling berkenalan, aku sela­lu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kauundang un­tuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran....”
Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Pek Lan, eng­kau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus de­ngan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.
“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadar­an kalian ini? Jelas, yang memberi o­bat bius dan obat perangsang dalam me­kanan dan minuman kalian bukan kami.”
“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu iapun mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pange­ran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan....”
Pek Lan menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan ter­buru nafsu. Ingat, kita berada di da­lam benteng di mana terdapat ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ. Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. “Keta­huilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengan­dung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranzn. “Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan. “Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua mela­kukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil....”
“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. “Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung biruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”
“Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”
Pek Lan menggeleng kepalanya. “Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua o­rang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”
“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguru­an!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah....!”

No comments:

Post a Comment