Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 19

“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia te­lah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha. Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam nintnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.
“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.
“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar un­tuk melakukan penyelidikan, melaksana­kan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak ber­keliaran orang jahat.”
Mereka memilih sebuah rumah penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi meme­san kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya ce­pat. “Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”
Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
“Ah, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” tanya pemimpin rumah makan itu.
“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.
Pemilik rumah makan itu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagi­an belakang rumah makan itu yang meru­pakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.
“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lasha ini, walaupun barn sekali kita bertemu yaitu ke­tika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?”
Pcmilik rumah makan itu mengang­guk, dan semakin heran.
“Ia adalah seorang sahabat baik­ku, akan tetapi ia yatim piatu dan hi­dup sebatangkara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksana­kan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kauli­hat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih da­hulu, toako. Namaku Sie Liong dan se­perti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Adapun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berepa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demiki­anlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”
Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti ju­ga Ling Ling. Dia menarik napas panjang. “Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi.... setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”
Sie Liong menghela napas. Dia da­pat mengerti alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu.
“Tentu saja kami tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu....”
Pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pende­kar itu dengan senyum cerah. “Ah, me­mang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap dan boleh percaya!”
Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”
Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengun­jungi janda Cili dan benar saja seper­ti yang dikatakan pemilik restoran i­tu. Janda itu dengan senang hati mene­rima kehadiran Ling Ling di rumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.
Malam itu juga Sie Liong mangajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.
“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”
Tangan yang tadinya sibuk menge­masi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak mena­tap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau....?”
“Aku harus melakukan penyelidikan melaksanakan tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan....”
“Tidak, Liong-ko, tidak..... Aku tidak mau berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke manapun engkau pergi....!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.
Sie Liong tersenyum dan memegang tangannya, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.
“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mung­kin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya. Apalagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh....”
“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga, anal kita jangan saling berpisah....”
“Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi a­pa-apa denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah untuk se­mentara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau ha­run dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul....”
“Liong-koko.... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan aku, koko....” Dan Ling Ling menangis!
Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.
“Ling-moi! Apakah engkau mulai sekarang membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?”
Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.
“Maaf.... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu....” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menu­tupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.
Sie Liong membiarkan gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.
“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia i­ni, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya wak­tu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengam­bil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya kare­na aku ingin melihat engkau berada da­lam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.”
“Tapi.... tapi.... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Ka­lau sudah selesai tugasmu, engkau ten­tu akan menjemputku, bukan? Dan memperbolehkan aku hidup di sampingmu?”
Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.
“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu a­kan menjemputmu di rumah bibi Cili.”
Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi a­gak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari sete­lah awan gelap tercurah menjadi hujan. “Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”
Pertanyaen ini tidak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyeleaaikan tu­gas itu. Dia hanya mendengar pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw, lima orang yang harus diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!
Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampak ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. “Bagaima­na, koko? Berapa lama aku harus menan­ti engkau datang menjemputku? Seming­gu?”
“Aih, Ling-moi, urusan yang kuha­dapi ini bukan mudah, membutuhkan wak­tu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu....”
“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan amat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”
Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk me­ngecewakan hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum sele­sai. Maka diapun mengangguk.
“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”
Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?
“Aku akan sabar menanti, koko.”
Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memi­sahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka­ saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu. Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada “adik angkatnya” itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan membuat perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali.

***

Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga. Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagai­kan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya! Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu ti­dak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencin­tanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyen­tuhpun tidak berani. Sama halnya de­ngan seorang kelaparan melihat dan men­cium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota La­sha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di ba­lik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah i­tu dan tidak nampak oleh orang lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik per­hatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata se­perti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran.
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang, “Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kauceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu can­tik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih da­hulu melarikan diri sebelum sempat ki­ta temui.”
Bi Sian menarik napas panjang. “Ah, engkau benar, sute. Betapa cero­bohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahu­lu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyo­lok, juga tidak nampak dari pintu de­pan karena terhalang tihang. Tanpa ba­nyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu. Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, make Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum. Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Bong Gan tadinya menyapu para ta­mu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudlan pandang matanya mele­kat pada seseorang yang baru saja me­langkah masuk. Jantungnya superti ber­henti berdetak untuk beberapa saat la­manya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu yang dapat menarik perha­tian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih daripada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya bar­bentuk bulat telur, kulitnya putih mu­lus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit pu­tih halus, dengan bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersen­tuhan. Pakaiannya ketat sekali, membu­at lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika memasuki restoran itu bar­sama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan i­tu. Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi keme­rahan, bibirnya yang merah dan berben­tuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat! Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk mengha­dap ke arah Bong Gan. Temannya, pende­ta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya, membela­kangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesua­tu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar mi­ring dan iapun mengerling ke arah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wa­nita kang-ouw yang sudah biasa melaku­kan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang i­tu memang amat menarik perhatian. Melihat betapi Bi Sian melirik ke arah wa­nita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu sa­ja amat menarik dan memiliki daya ta­rik yang amat kuat karena ia bukan la­in adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantik­an istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah men­jadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai im­balannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang Suhu menda­pat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai “siluman merah” dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw. Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya. Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari ke­sempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.
Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah engkau barang­kali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?” Bi Sign tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar perta­nyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
“Dia....? Ah, saya tidak tahu, kongcu....” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu....” Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil mumbawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.
Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik ke­pada Bong Gan. “Mari kita bertanya ke­pada pemilik rumah makan....” Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ke­tika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti. Melihat ini, Bong Gan ter­senyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat!
Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pela­yan bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok. Kini, meli­hat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk ga­dis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar Bongkok.
“Apa yang dapat saya lakukan un­tuk ji-wi (kalian bordua)?” tanyanya ramah.
Bi Sian yang sudah tidak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung berka­ta, “Kami ingin mengetahui tentang se­orang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, maka kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!”
Bagaimanapun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pen­dekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun merasa ragu apakah benar kalau dia bi­cara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maknud mereka mencari Pendekar Bongkok.
“Maaf, kalau boleh saya mengeta­hui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie Taihiap?”
Kini Bi Sian sudah tidak ragu la­gi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
“Krekk! Krekkk!” Sumpit-sumpit i­tu patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit ha­lus lunak itu!
“Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!” kata Bi Sian, lirih dan wa­jah pemilik rumah makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!
“Saya.... saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk....”
Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bang­kok pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku seba­gai adik angkatnya, di rumah makan it­u. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.
“Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Se­jak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.”
“Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di sini?” tanya Bi Sian.
Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya. “Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua minggu sejak ia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana karena repotnya pekerjaan.”
“Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang juga!” kata Bi Sian dan pan­dang matanya penuh kepastian. Pemilik rumah makan itu tidak berani memban­tah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari ru­mah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itupun “ada hati” kepadanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!
Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi di situ!
“Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!” kata bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. “Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pa­mit.”
Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. “Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?”
Bibi Cili menggeleng kepalanya. “Mungkin karena ia hendak mencari ka­kak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap ber­janji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian, se­minggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa pamit.”
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?”
“Pendekar Bongkok....? Ah, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.”
“Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?” Bi Sian mendesak terus.
Wanita setengah tua itu mengerut­kan alis dan mengingat-ingat, “Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai....” menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut, juga pemi­lik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu ru­mah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
“Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?”
Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu....”
Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya. “Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu, nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya dapat memberitahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana....”
Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu, bahwa pemilik rumah makan dan bi­binya itu bicara sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yangg melarikan diri ke sana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diseli­diki Pendekar Bongkok itu! Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu.
“Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, a­gar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah mengenalnya.” Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya, karena kalau mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!
“Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak i­tu, dan aku khawatir sekali membayang­kan betapa ia melakukan perjalanan se­orang diri. Seorang gadis yang demiki­an manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya....”
Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu berahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!
“Apakah ia seorang gadis Tibet?” tanyanya.
“Ia peranakan Tibet Han,” jawab bibi Cili.
Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu. “Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!” kata Bi Sian penuh semangat.
Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus membayanginya. “Suci, kurasa ki­ta harus bertindak hati-hati. Kita se­lidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tiduk menguntungkan ka­lau kita meningialkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Baiklah, kita mencari rumah penginapan,” kata Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa “adik angkat” pamannya i­tu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka!
Di sebelah selatan kota Lasha terdapat sebuah telaga yang terkunung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga su­nyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang. Apalagi se­menjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-a­khir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) amat ditakuti.
Menurut kabar angin, Kim-sim-pat dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk perkum­pulan Kim-sim-pai yang berdiri sendi­ri, terlepas dari kekuasaan Dalai La­ma, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet. Karena tidak ada bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka pe­merintah Tibet tidak mengambil tindak­an apapun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya su­dah banyak. Kim Sim Lama merupakan seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama!
Kim Sim Lama merupakan orang ke dua paling berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia tidak me­miliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih. Dalai Lama yang baru itu seorang anak dusun saja yang memlilki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai La­ma. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk me­maksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan menga­muk dan membunuh mereka yang dianggap­nya memberontak. Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himala­ya menjadi marah. Malah Pek Thian Sian-su, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim Sian-su, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Sian-su berhasil merobohkan dan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Sian-su audah berusia hampir delapan puluh tahun, ma­ka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya tidak lagi terjadi keributan, akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai Lama sudah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap pa­ra tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para tosu itu segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Kim Sim La­ma memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pim­pinannya. Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang diang­gapnya tidak bijaksana! Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedu­dukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia la­lu mengundurkan diri dan membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilaku­kan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, de­ngan maksud menjatuhkan nama baik Da­lai Lama dan memancing agar para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah. Se­mentara itu, diam-diam Kim-sim-pai ju­ga mengadakan persekutuan dengan seo­rang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pa­ngeran itu dengan pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk ber­sama-sama mengusai Tibet dan Nepal.
Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu La­sha, dia akan mengalami kegagalan. Da­lai Lama memiliki pasukan yang amat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun tidak tergesa-gesa. Di samping usaha yang dilakukan anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus o­leh Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mu­lai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet. Pangeran Ne­pal itu sudah siap di perbatasan, su­dah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah berhasil menguasai Ti­bet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!Dalam kedudukannya yang bagaimana pun juga, manusia tidak akan dapat terlepas dari nafsunya sendiri. Dia boleh berusaha dengan cara bagaimanapun, bertapa, menjauhi keramaian dunia, menyendiri, berpuasa, berpantang apapun, namun tetap sekali waktu dia akan dicengkeram dan dikuasai nafsunya sendiri. Semua usahanya itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh akal pikirannya sendiri belaka, dan akal pikiran takkan mung­kin membebaskan batin dari cengkeraman nafsu. Nafsu sudah melekat kepada kita, merupakan alat yang amat penting bagi kita, namun juga merupakan penggoda yang paling berbahaya, yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan dan perbuatan yang tidak benar. Kalau sudah begitu, maka nafsu tidak lagi menjadi a­lat kita, bahkan kita diperalat oleh nafsu! Semua usaha untuk membebaskan diri dari nafsu digerakkan oleh nafsu itu sendiri yang sudah menjadi satu dengan hati dan akal pikiran, bersatu dengan panca indera kita. Apapun yang kita lakukan melalui pikirin, tentu berpamrih.
Nafsu selalu berpamrih, yaitu pamrihnya mencari senang atau yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan. Dan untuk semua perbuatan yang timbul dari dorongan nafsu, pikiran kita yang amat licik dan cerdik selalu sudah mempersiapkan diri menjadi pembela, dengan segala daya akan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita itu.
Nafsu memang penting bagi kita, sebagai pendorong agar kita dapat memenuhi semua keperluan hidup di dunia ini, keperluan jasmani kita, makan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan lain. Nafsu mutlak perlu untuk hidupnya jasmani kita, karena tanpa nafsu berarti mati. Akan tetapi, kalau nafsu sudah mencampuri urusan batin, maka nafsu hanya menjadi sebab timbul­nya duka dan sengsara, nafsu mendatangkan iri, marah, benci, cemburu, dengki takut, malu dan segala macam perasaan. Nafsu bagaikan api, kalau terkendali menjadi pelayan yang baik sekali, sebaliknya kalau liar tak terkendali, da­pat menimbulkan kebakaran dan kerusak­an.
Kim Sim Lama adalah seorang yang sejak kecil hidup sebagai pendeta. Dia sudah biasa berlatih mengendalikan dan menguanal nafsu-nafsu badannya sendi­ri. Namun, pengendalian yang dilakukannya adalah pengendalian yang dilakukan dengan akal pikiran, dengan kemauan yang bukan lain adalah daya rendah pu­la. Yang dikendalikan nafsu, yang me­ngendalikannya juga bergelimang naf­su. Oleh karena itu, walaupun nampak­nya dia hidup sebagai orang yang bebas dari cengkeraman nafsu, namun sesungguhnya nafsu masih menguasainya dan sekali waktu akan runtuh pertahanannya. Yang mendorong dia untuk menentang Dalai Lama, untuk dapat menguasai Tibet, apa lagi kalau bukan nafsu? Namun, tentu saja pikirannya dapat melakukan pembelaan secara cerdik sehingga dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suci murni, demi kebaikan, demi kesejahteraan rakyat, demi menentang pemerintah lalim dan sebagainya. Padahal, di dasar semua itu, mendekati nafsu ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap akan menyenangkan hatinya, dalam hal ini kekuasaan!
Lalu bagaimana sebaiknya bagi kita? Kalau dibiarkan, nafsu merajalela dan menguasai kita, bagaikan api membakar dan merusak. Kalau dikendalikan, tidak akan berhasil karena yang mengendalikan juga pikiran bergelimang nafsu sehingga selalu berpamrih. Kalau dimatikan, orangnya harus mati pula! Apa yang dapat kita lakukan? Tidak ada apa-apa yang dapat kita lakukan! Tidak ada apa-apa, karena yang dapat mengatur nafsu, yang dapat mengatur alat-alat bagi kehidupan kita adalah yang menciptakannya, yang membuatnya. Dan penciptanya adalah Tuhan! Oleh karena itu, kita hanya dapat menyerah, hanya dapat pasrah, kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah sepenuhnya, sebulatnya, selengkap­nya, penuh ketawakalan, kesabaran dan keikhlasan.
Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah. Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran yang merajale­la dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja. Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam di dalam badan. Kita tidak pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, kare­na dipermainkan nafsu yang selalu me­ngejar kesenangan dangkal.
Kim Sim Lama memiliki banyak pem­bantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Ha­rimau Tibet! Seperti sudah kita keta­hui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himala­ya yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi seka­li, sesosok tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah te­laga Yam-so menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan ter­bang itu, mudah diketahui bahwa dia a­dalah seorang yang memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. O­rang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, baru nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tu­buhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Setelah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lasha tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan nama Kim Sim Lama yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara Tibet Sam Sinto. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya. Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu orang ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibgntu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanyanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab. Yang berani menjawab mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so. Semakin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa orang men­daki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit dan kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan a­tau pendeta, melainkan penduduk biasa dan mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang. Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh di bela­kang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana du­duk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu sa­ja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat untuk bersembahyang, agaknya ke sebuah kuil.
Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok ben­teng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali. Terda­pat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi ba­ngunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan puntu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI EMAS.
Kim-sim-tang? Apakah ini pusat Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan me­rupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun un­tuk bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera teringat bahwa andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pom­berontak biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan luar kuil. Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul ke­luar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mere­ka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu penuh tumu dengan berba­gai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya sseorangpun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia teringat bahwa kehi­dupan seorang pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siawu-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil, terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu. Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan pintu itu dengan keperluan sembahyang. Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di situ terdapat se­dikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan me­auk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lo­rong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
“Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perleng­kapan? Kami dapat membantumu.” Sie Liong membalikkdn tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Mendaki bukit berkunjung ke kuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk a­kal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya berte­mu dengan Tibet Ngo-houw.
“Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,” jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk bersembab­yang. Tadi dia melihat bagian kiri ru­angan itu dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
“Ah, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasibpun harus melakukan sembah­yang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal daripada kalau membeli di toko.” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima kasih,” kata Sie Liong dan diapun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersem­bahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor. Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, di­haruskan memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bam­bu yang menjadi jawaban pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulis­an BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan memilih lagi. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.
Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu ke­pada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu memberinya sehelai kertas yang sudah ada tulisannya. Biasanya, kertas ini berisi­kan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang ber­sembahyang dan minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung perumpa­maan dan maksud tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun baru sekarang dia sendiri mengocok ba­tang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya. Akan tetapi, ketika dia mem­buka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!

KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK SE­LATAN PINTU PAGAR BELAKANG.

Sie Liong mengangkat muka meman­dang kepada pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangan depan dada dan me­nundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan mengambil jalan memu­tar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah ta­hu akan keadaan dirinya, bahkan mung­kin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak perlu berpura-pura lagi. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.
Dengan sikap tenang dan hati ta­bah Sie Liong menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, seperti sebuah perkampungan saja. Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Llong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh tahun.
“Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu telah menan­ti di dalam,” kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.

No comments:

Post a Comment