Tuesday, May 10, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 6

“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!” Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit. Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, ja­raknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak me­ronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
“Siancai.... siancai.... siancai....!” Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”
Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini....” kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terke­jut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemi­kian hebatnya sehingga portemuan anta­ra dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
“Siancai.... Bukan main hebatnya susiok....” kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali....!”
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau be­nar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Ke­kuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, ten­tu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cin­jin.
Pek-sim Sian-su tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan ma­sih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup seka­rang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seo­rang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana datang dari manapun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe.... harap suka tolong saya....”
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”
Sie Liong maraca tersikea sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seper­ti tidak ada rasanya lagi, mukanya te­rasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seo­rang murid, apakah supek maksudkan dia itu?” Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan mu­rid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan ha­rapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum meme­riksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Sian-su. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewa­an anak itu sehingga dia mau turun ta­ngan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu ha­nya merusak bentuknya saja, tidak mem­pengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan ta­hun yang lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu berti­ga benar, memang tentu ada hal-hal a­neh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa men­diang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya.” kata Pek In Tosu.
“Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih con­dong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahu­lu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawan­an mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi pe­nyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bu­kanlah pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-a­pa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
Gadis cilik itu membalapkan kuda­nya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang ku­da membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga see­kor kuda yang baik sekali, dengan tu­buh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan menda­ki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit di mana terdapat ba­nyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar de­ngan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau bu­rung menambah semarak suasana. Bebera­pa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan le­lah dan memejamkan mata. Alangkah nik­matnya telentang di atas rumput seper­ti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.
Akan tetapi seekor semut yang a­gaknya tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk se­mut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut. “Semut jahil kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rum­put dengan lahapnya, nampak enak seka­li dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.
Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggal­nya banyak terdapat penduduk aseli Su­ku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan se­ekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya per­gi seorang diri ke lembah-lembah dan padang‑padang rumput.
Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga saha­bat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ke­tika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong.
Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang di­ri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Di­rangkulnya leher kudanya. Kuda itu de­ngan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.
“Hayo kita pulang, hari telah so­re,” bisik Bi Sian dan iapun memasang­kan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian menge­rutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat ga­dis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan meram­pas kendali kuda dari tangan Bi Sian.
“Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!” katanya.
Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama se­kali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima o­rang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka o­rang yang merampas kudanya.
“Siapa kalian? Berani kalian me­ngambil kudaku?” bentaknya.
“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang a­da padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu i­tu.”
Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.
“Bukkk!” Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, a­kan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.
“Lepaskan ia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun le­bih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayah­nya dicalonkan menjadi suaminya!
Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepas­kan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang. “Hemm, bocah lancang, siapa kau?” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.
Akan tetapi pemuda remaja itu ti­dak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, “Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keaman­an di Sung-jan!”
“Ahhh....!” Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.
“Maaf.... maafkan kami.... kongcu....” Si brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong melanpkah maju lagi. “Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tu­nanganku, mengerti?”
“Maaf.... maaf....” Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.
“Kalian patut dihajar!” Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.
Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangka­nya pemuda yang nakal itu memiliki ke­beranian dan kegagahan!
“Terima kasih....” katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tu­nangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. “Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?” Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.
“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.
“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah se­tuju akan perjodohan kita....”
“Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.
“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. “Jangan menghina pa­man Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agak­nya tidak mendatangkan perasaan berte­rima kasih dan bersukur dari gadis ci­lik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku su­dah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!” Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua perge­langan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari mu­ka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membu­ang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memu­kul kepala penuda remaja itu.
“Tokk!” Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepa­lanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau.... kau berani nemukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mende­kati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian me­ngemplang kepala Ki Cong dengan tong­katnya. Kini dia tertawa terkekeh-ke­keh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kaupu­kulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!” Ki Cong berteriak kesa­kitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia­pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pan­tatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa se­nang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tong­kat pusaka, tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
“Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja....”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat bi­asa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tong­kat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tong­kat ini terbang dan memukuli orang ku­rang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”
“Sie Liong.... anak.... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali pada­nya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasuk­kan kutu itu ke bibirnya. “Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpela­jari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di du­nia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
“Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau ha­rus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” ja­wab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedi­kit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha....” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya me­nengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. “Hu-hu huuhhh....”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan be­ngong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak me­rasa takut, melainkan geli.
“Kek, kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-bu­at, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, mene­tes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan berta­nya.
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. “Jangan menghina pa­man Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agak­nya tidak mendatangkan perasaan berte­rima kasih dan bersukur dari gadis ci­lik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku su­dah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!” Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua perge­langan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari mu­ka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membu­ang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memu­kul kepala penuda remaja itu.
“Tokk!” Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepa­lanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau.... kau berani nemukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mende­kati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian me­ngemplang kepala Ki Cong dengan tong­katnya. Kini dia tertawa terkekeh-ke­keh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kaupu­kulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!” Ki Cong berteriak kesa­kitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia­pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pan­tatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa se­nang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tong­kat pusaka, tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
“Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja....”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat bi­asa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tong­kat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tong­kat ini terbang dan memukuli orang ku­rang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”
“Sie Liong.... anak.... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali pada­nya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasuk­kan kutu itu ke bibirnya. “Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpela­jari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di du­nia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
“Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau ha­rus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” ja­wab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedi­kit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha....” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya me­nengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. “Hu-hu huuhhh....”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan be­ngong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak me­rasa takut, melainkan geli.
“Kek, kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-bu­at, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, mene­tes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan berta­nya.
“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!”
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela. “Kenapa kita tidak boleh ter­tawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mu­lut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?”
“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Bi­asanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang mi­ring otaknya, dan aku yakin engkau bu­kan orang sinting.”
“Ha-ha-ha-ha, kaukira orang sin­ting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seo­rang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh....” Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”
“Apa?” Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada sera­tus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi i­ngat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati....”
“Hemm, engkau takut mati, kek?”
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah keta­kutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”
Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura. “Kenapa aku harus ta­kut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menja­tuhkan diri berlutut di depan Bi si­an. “Kau pantas menjadi guruku! Ajari­lah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu....”
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sin­ting! “Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatut­nya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hor­mat kepadamu.”
“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersi­keras. “Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut ma­ti, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”
Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin da­pat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seo­rang anak yang masih belum dewasa, ma­sih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpeman­dangan polos dan sederhana, tidak se­perti orang dewasa yang suka mengerah­kan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya ber­pikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
“Gampang saja, kek. Jangan pikir­kan tentang mati karena kita tidak me­ngerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!”
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan “mengolahnya” di dalam be­naknya.
“Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apa­kah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah il­munya!” Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuh­nya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa se­perti menjadi seekor burung yang ter­bang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.
“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak de­ngan gembira dan kakek itu agaknya ju­ga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia se­makin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membu­tuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melem­parkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.
“Heiii....!” Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin yang sudah tiba di ba­wah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.
“Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”
“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”
Mendengar suara anak perempuan i­tu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!” Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.
“Suhu nakal.”
“Suhu....? Siapa suhu (guru)?”
Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”
“O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku na­kal?”
“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”
Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di a­tas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?”
“Wah, sudah sering!”
“Bagaimana rasanya, suhu?”
“Wah, geli! Kumisnya yang kaku i­tu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan na­pasnya yang berbau amis!”
“Kenapa dia tidak langsung mener­kam, pakai cium-cium segala, suhu?”
“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk me­nikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku un­tuk menghajarnya sampai dia lari ter­pincang-pincang dan berkaing-kaing!” Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah, aku lu­pa! Muridku, engkau harus mulai berla­tih mengumpulkan hawa sakti, membang­kitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi bi­ngung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”
Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu se­hingga kedua kaki Bi Sian kini tergan­tung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
“Pertahankan keadaan begini seku­atmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mung­kin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”
“Bagaimana kalau kakiku tidak ku­at dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”
“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!” Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”
“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”
“Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, da­tang dari Himalaya akan tetapi seka­rang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”
“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya.”
“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”
“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”
“Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!” Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”
Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”
“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid ka­lau bukan gurunya?”
“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”
“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Ka­lau tidak, aku akan berlutut....”
“....sampai dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegi­laan suhunya sudah menular padanya?
“Katakan apa tuntutanmu!”
“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”
“Hemm, setuju! Akan tetapi seben­tar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi de­ngan aku.”
“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.”
“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”
“Dan ke tiga....”
“Banyak amat!”
“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi a­ku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”
“Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”
“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”
“Tentu saja?”
“Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku butub sekali minum kare­na haus, dapatkah suhu mengadakan se­mangkuk air jernih?”
“Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”
Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan ta­ngan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu mi­num air itu dengan segarnya.
“Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jer­nih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangan­nya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!
“Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!”
Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, e­mas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal i­tu, kita akan menjadi kaya raya!”
“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”
“Mengapa tidak boleh?”
“Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, ma­ri kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka.”
“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda!”
“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”
“Tapi sayang kalau kuda itu di­tinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”
“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tong­katku, kiranya tidak akan kalah mela­wan kuda yang berkaki empat itu.”
“Mana mungkin, suhu?”
“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaura­sakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti a­ngin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja! Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak melihat suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga gi­rang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterima­nya dari kakek aneh ini. Akan tetapi suhunya sudah begitu tua. Rasa iba me­nyelinap di dalam hati Bi Sian dan ki­ni ia membiarkan kudanya berlari lam­bat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-he­ran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi lima orang “perampok” itu dimaki dan diha­jar oleh Lu Ki Cong?
“Heh-heh-heh, sahabatmu yang ku­rang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”
Bi Sian terkejut.
“Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”
“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”
“Kalian mau apa menghadang perjalananku?” bentak Bi Sian kepada lima orang itu. “Minggir!”
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap ga­dis itu untukku!”

No comments:

Post a Comment