Thursday, May 12, 2011

Kisah Pendekar Bongkok - Jilid 18

“Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?
“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”
“Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”
“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripadamu.”
“Ah, tidak, tidak!” jawab Lie Bo­uw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”
“Tantu engkau sudah mempunyai be­berapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”
“Ahh....!” Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan!
Kembali keduanya berdiam diri se­perti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie Bouw Tek soperti sadar kembali dari lamunan.
“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”
“Dia masih muda, toako, baru dua ­puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”
“Hemm, sudah demikian lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Ti­bet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”
“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berba­haya melakukan perjalanan ke daerah i­ni. Sedangkan untuk engkau sendiri sa­ja sudah amat berbahaya, apalagi un­tuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan. “Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh diban­dingkan Sie Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini. “Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?” Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pandekar itu terkejut. “Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Sian-su.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. “Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal da­lam usia yang masih muda? Apakah kare­na penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat men­jawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menja­wabnya.” Di dalam suara itu terkandung keluhan. Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia mengan­tar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian a­krab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukan­nya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku a­kan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan i­tu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya. “Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Kare­pa tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejar­an, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ah.... ahh....!” Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tar­lalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh, “Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malape­taka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembu­nuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduk­nya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu diling­kari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya. “Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan mence­ritakannya. Terserah kemudian bagaima­na tanggapanmu. Riwayatku dimulai de­ngan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan.” Ia her­henti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini meman­dang dengan terharu. Betepa buruk na­sibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” ko­mentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali. “Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. “Sebaiknya ku­lanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan di­sembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi teran­cam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”
“Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....”
“Hemm....” Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani mem­beri komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah monjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kan­dung puterinya? Keadaan menjadi sema­kin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih, “Hemm, dia telah menjadi seo­rang suami dan ayah yang baik....”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat ja­hat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut ka­lau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong be­lajar silat. Dan baru sekarang aku da­pat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh....! Hemmm....!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dima­ki itu suami wanita ini, dia tidak ja­di dan hanya menggeleng-geleng kepala­nya.
“Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ke­tika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, beru­bahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu....” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.
Tak lama kemudian Lan Hong menu­runkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menantl pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, mun­cullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjedi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah Sie Li­ong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu.”
“Dan adikmu tidak tahu bahwa sua­mimu itu yang membunuh ayah ibu kali­an?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan akupun tentu saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
“Dan ia telah menjadi seorang ga­dis yang sakti pula, murid Koay Tojin.” kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
“Benar, toako. Ia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kautahu, toako, diantara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan.” Wanita itu berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang menanti kelanjutan cerita itu karena dia merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membara pikiran pendekar itu dan menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.” Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak demikian berduka.
“Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”
Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. “Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku ti­dak berduka atas kematiannya. Akhir-a­khir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”
“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.
“Gadis itu puteriku, toako....”
“Ah, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”
“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak la­ma kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.”
“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, karena bagaima­napun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”
Lie Bouw Tek termenung. Memang serba salah dan serba susah bagi wani­ta yang malang ini, pikirnya. “Akan tetapi, tentu Pendekar Bongkok sudah me­ngetahui rahasia itu maka dia membunuh musuh besarnya.”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kucerita­kan, baru dia mangetahuinya! Dia me­nyanggal bahwa dia telah membunuh ka­kak iparnya, dan diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”
“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”
“Karena sebelumnya, ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong mmukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta agar Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bong­kok di taman, seorang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Karena itulah, maka aku nekat melaku­kan perjalantn ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong karena seka­rang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.”
“Eh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”
Lan Hong lalu menceritakan ten­tang penyelidikannya ke rumah pelesir­an, tentang segala keterangan yang diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya. Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.
“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak ipar­nya, toako. Kalau dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui ra­hasia itu sebelum mendengar dariku. Kalau bukan dia yang membunuhnya, berar­ti si pembunuh sengaja menyamar seba­gai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sukar menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, ting­gal mengganjalkan sesuatu di punggung­nya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunub dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidik­anku ke rumah pelacuran itu membukti­kan bahwa memang ada yang membunuh su­amiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.”
“Hemmm....” Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Ka­lau benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu yang baru dijum­painya?”
“Akupun sudah memikirkan hal itu dan menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walaupun dia sutenya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cin­tanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemu­da yang baik, bukan?”
Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walaupun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia melakukan pembunuhah itu dan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok dan mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?”
Lie Bouw Tek masih memandang de­ngan kagum dan mendengar pertanyaan i­tu dia mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa eng­kau melakukan pencarian ke daerah Ti­bet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari pute­rimu itu?”
“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini dan hen­dak pergi ke Lasha.”
Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menertma tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tu­gas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi Kun-lun-pai! Diapun pernah mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu ada hubungannya dangan hal itu.
“Setelah mendangar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dan puterimu. Akan tetapi menu­rut pengetahuanmu, siapa diantara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”
“Kukira Sie Liong lebih lihai, a­kan tetapi akupun yakin bahwa dia ti­dak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir se­kali, toako.”
“Kalau begitu, yang penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus menceritakan senua rahasia itu kepadanya, tentang pembu­nuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sutenya sendiri, bukan oleh pamannya.”
Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.”
Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha, dekat api unggun. Dia semakin tertarik kepa­da Lan Hong. Tak dapat dia menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandung­nya. Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu, akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia ma­ti terbunuh. Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin kagum kepa­da Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa de­ngan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk.... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!

***

Semua mata memandang, semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah sebrang gadis yang terlam­pau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga se­mua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan o­rang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bi­sik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi.... manisnya....!”
“Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!”
“Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya dipero­lok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersan­ding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar da­lam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau mela­kukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para ta­mu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pan­dang rendah dan hina itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar. Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mande­ngarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko, kedai di sini cukup e­nak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Di antara para tamu ada segerom­bolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-ka­ta pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara me­reka terkekeh.
“Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipi­nya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!” Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku ti­dak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga e­kor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur....!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan. “Hei, bung pelayan, ke sinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.
“Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibir­mu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancam­annya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begi­tu saja! Nona ini harus minta maaf ke­pada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sam­bil berlutut, tentu saja dia tidak su­di.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan la­wan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan ta­hun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakai­annya butut seperti pengemis, dan ta­ngan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini ada­lah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkan­nya. Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi ma­rah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!” Si baju kuning lang­sung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagi­an kiri atas telinga.
“Dukkkk!” Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kiri­nya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang go­lok di tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluar­kan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan ge­lisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh kete­gangan. Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga me­reka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut....!” Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg....!” Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para peme­gangnya. Tongkat itu masih terus me­nyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka ro­boh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai....!” terdengar orang berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang a­dalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pembe­rontak ini banyak, juga mereka mempu­nyai jagoan-jagoan yang berilmu ting­gi. Ketika mendengar bisikan itu, ti­ga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pu­cat dan nyali mereka terbang entah ke mana.
“Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
“Baik...., baik....” Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan u­ang itu ke dalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.
“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!”
“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.
“Sudahlah,” kata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”
Para tamu saling pandang dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabi­la permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya. Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanah, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu. Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar di depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menye­rahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?” Untuk melampiaskan kedongkolan hati­nya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.
Mendengar permintaan si baju ku­ning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua o­rang temannya segera mencari golok me­reka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.
Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu bahwa se­mua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali. Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Su­hu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama! Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak bush Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.
Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin me­ngambil hati si pemungut dana yang a­mat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu ber­loncatan.
“Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telinganu juga sudah tuli?”
Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia mejnoleh dan meman­dang kepada si baju kuning.
“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apa­kah masih juga belum jera dan masih i­ngin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”
“Keparat, kau berani melawanku?” Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat i­ni, Sie Liong menaanggalkan kesabaran­hya. Tangan kanan yang memegangi sum­pit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
“Tukkk!” Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si ba­ju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika. Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganyam, namun Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, “Liong-ko, awas.... dia datang....!”
Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertu­buh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat i­tu bahkan mendatangkan keseraman, seo­lah-olah ada seekor biruang besar da­tang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan a­gaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong hanya sejenak saja me­mandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-o­lah tidak terjadi sesuatu! Melihat i­ni, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jan­tungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok. Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena ha­jaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama se­orang gadis cantik! Kini, melihat o­rang Kim-sim-pai menghampiri si bong­kok, mereka mengharapkan agar si bong­kok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!
“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”
Mendengar perintah ini, tiga o­rang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-ta­wa menyeringai, membayangkan betapa a­kan senangnya melihat nona manis itu dipakna bertelanjang bulat di depan meraka, juga si bongkok! Akan tetapi ka­lau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, mengha­dapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya itu.
“Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”
Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ. “Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Biruang Hi­tam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian ti­dak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”
“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju ku­ning. “Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya a­kan patah-patah dan dia akan mampus!”
“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memelihara­nya!” kata yang lain.
Kedua pipi Sie Liong mulai beru­bah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti se­ekor domba berhadapan dengan seekor biruang! Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling Ling juga agak pucat, kha­watir kalau-kalau “jagonya” sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.
“Lo-suhu, sungguh aku merasa he­ran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang be­kerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan Tuhan dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu seperti ini? Se­banarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”
Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Biruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!” Berkata demikian, Si Biruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotok­an pada buku-buku jari tangan orang i­tu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu te­lah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupa­kan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilaku­kan oleh siapapun juga.”
“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.
“Hyaaaaahhhhh....!” Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.
Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkis­an lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Desss....!!” Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh le­ngan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia melon­cat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lu­cu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mende­ngar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak mene­lanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Li­ong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas! Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakut­an tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok i­tu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hi­tam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tong­kat itu berputar den lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Ma­ka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gu­lungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!” Tongkat itu patah-pa­tah menjadi tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya de­ngan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!” Nampaknya tidak terla­lu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, na­mun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia me­rangkak bangun, wajahnya pucat dan tu­buhnya menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Kalau dia menggunakan selu­ruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu la­wannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia a­kan tewas seketika.
Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!” Akhirnya dia bertanya. Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela na­pas panjang.
“Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot ru­mah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak me­ja kursi patah-patah dan mangkok pi­ring pecah-pecah. Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Biruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Bi­ruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang Ritam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok....!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terke­na tusukan sumpit kemudian dihajar ke­pala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlu­tut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami....” katanya.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti....” kata yang ke dua.
“Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi....” kata pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekagum­an kepada semua orang. Kalau tadi se­mua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini se­mua mata memandang kagum dan juga gen­tar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Sele­bihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sum­bangan.” Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari si­tu. Dengan bangga sekali Ling Ling me­megang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling!
Hal itu sudah sejak lama dia pi­kirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.

No comments:

Post a Comment